Namun, apa yang terjadi ketika kapitalisasi - yang tiga dekade ini masuk
dengan serakahnya memakan habis sendi-sendi ekonomi rakyat dan menerjang habis
keprihatinan ekonomi rakyat - berdasar pasal 33 UUD 45 di situ politik ekonomi pasar
kapitalis tidak satupun dilawan oleh negara hukum dan mengapa?
Sebab visi sosialisme keadilan dan sosialisme demokratis - yang merupakan
buah-buah pemikiran tajam baik dari bung Hatta maupun bung Sjahrir yang anti
kapitalistis - sejak tahun 66 dan sejak kita mengubur semua kritik sosialis
dalam menghadapi kapitalisme di sana, tidak ada lagi arus yang melawan meraja
lelanya kapitalisme serakah.
Fenomena kelima, kemajemukan agama, suku dan golongan yang merupakan
pluralitas kekayaan pembentuk ke-indonesiaan. Dalam tiga dekade ini nyaris
dipinggirkan oleh politik ketertiban dan keamanan yang menerapkan penyeragaman
dan univocitas serta pembungkaman suara kritis hingga yang terjadi paduan suara
seragam yang harus bersama-sama didirigeni dan dipimpin untuk tunduk tanpa
reserve dan tanpa kritik pada proses politik yang dicabut dari akar-akar rakyat.
Fenomena keenam, ketika proses politik dirampas dari tangan rakyat dan
dijadikan politik elite di panggung kepentingan ego baik ego sendiri maupun ego
kelompok, maka yang muncul segala-galanya dipolitisasi mulai dari agama,
kesenian, hingga kebudayaan. Dengan satu tujuan melayani kepentingan penguasa
dan status quo yang ada.
Melihat dan mengukur kenyataan sebagaimana termuat dalam paparan di atas
pertanyaan kita dan gugatannya menyimpulkan: sedang sakit apakah proses politik
kita? Sedang berada di mana roh kenegarawanan para pendiri RI yang berobsesi
berdaulatnya rakyat dan negara hukum sejahtera kini berada?
Sedang dalam keadaan sakit apa, manakala budaya paternalistik feodalistik
yang anti demokratik, ternyata lebih kita hidupi lantaran kolusi antara
kapitalisme dan politik kepentingan ketertiban serta politik mau mengontrol
segalanya, kini secara tata laksana telah membusukkan kelembagaan kita hingga
menjadi krisis?
Maukah dengan segala kerendahan hati mengembalikan proses politik di
tangan rakyat dengan tata karma hingga sebelum terlambat, kita masih bisa
membayar secara mahal perjuangan para pendiri RI, yaitu sebuah masyarakat yang berkeadilan, majemuk sejahtera dan
demokratis?
Sebab ada harga yang beda bayarannya untuk politik kekuasaan yang tanpa
etika dan politik sebagai proses konsensus-konsensus rakyat dalam menata hidup
bersama demi kesejahteraan orang banyak.
28 Oktober 1996
Ini bagian ketiga dan terakhir, yah.
Masih ada postingan
dan artikel lainnya.
Keep updated!
Note dari penulis :
Tertarik ingin punya bisnis sendiri???? Gampang caranya. Add akun Facebook saya yang ada di sebelah kanan atau kiri artikel ini.
Kalau sudah jadi friend saya di Facebook, nanti saya undang ke pertemuan bisnis kami. Tenang, kalau cuma hadir di pertemuan bisnis, gak perlu bayar. Pertemuannya juga online, lewat Facebook. Jadi gak perlu keluar rumah, dan kalau lagi di luar rumah, gak perlu batalin janji. Kan bisa lewat handphone. Asyik, kan. Yuk, gabung yuk.
No comments:
Post a Comment