Website counter

Saturday, July 14, 2012

Sejarah KIPP Indonesia


Ketika dibentuk pada awal tahun 1996, Komite Independen Pemantau Pemilu dipandang sebelah mata oleh banyak orang serta dicibir oleh pejabat pemerintah. Sebab, saat itu kontrol pemerintah amat dominan, dan pemilihan umum berlangsung hanya sebagai kosmetik politik belaka. Namun, kegigihan mereka mengatasi tekanan pemerintah, membuat KIPP kini menjadi organisasi swadaya masyarakat yang paling siap memantau pelaksanaan pemilihan umum mendatang.

Berdiri pada akhir bulan Januari 1996, KIPP merupakan gabungan dari sejumlah lembaga swadya masyarakat dan individu-individu yang menginginkan pelaksanaan pemilihan umum yang lebih bebas dan adil pada tahun 1997.

Aksi di depan Gedung DPR - MPR RI, Semanggi tahun 1999
Kehadirannya disambut positif oleh banyak kalangan, terutama kaum akademisi, serta pers. Cendekiawan Muslim Dr. Nurcholis Madjid (kini mengetuai Tim 11 yang menyeleksi partai-partai politik peserta pemilu) duduk sebagai ketua Badan Pertimbangan Nasional, bersama pengacara Dr. Adnan Buyung Nasution (yang belakangan menjadi konsultan hukum bagi IPTN dan kini duduk dalam Tim 11), mantan Gubernur DKI yang juga anggota Petisi 50 Ali Sadikin (kini aktif dalam Barisan Nasional), dosen FISIP UI Arbi Sanit serta Zumrotin, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Ditolak dan Diserang
Sayangnya, gagasan yang tumbuh dari bahwa ini ditolak oleh pemerintah. Kepala Staf Sosial Politik ABRI pada waktu itu, Letjen TNI Syarwan Hamid (kini Menteri Dalam Negeri), serta asistennya di bidang sosial politik, Mayjen TNI Suwarno Adiwidjojo (kini anggota Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional), menegaskan keberadaan KIPP tidak diperlukan. Sementara Menteri Pertahanan Keamanan waktu itu, Jenderal TNI Edy Sudradjat (kini Ketua Umum DPP Partai Keadilan dan Persatuan) menyebutnya sebagai tidak konstitusional. Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama K.H. Abdurahman Wahid (kini aktif berkampanye untuk Partai Kebangkitan Bangsa), menolak untuk bergabung karena, "hal ini sangat sensitif."

Tidak cukup dengan serangan melalui media massa, aparat keamanan juga menganggu sejumlah kegiatan KIPP, termasuk pembentukan cabang serta pelatihan di daerah-daerah. Sejumlah aktifisnya ditangkap dan dimintai keterangan oleh polisi. Namun demikian, KIPP berhasil merekrut 12 ribu relawan dan mendirikan cabang di 47 kota di 16 propinsi dan dua cabang di luar negeri, yaitu di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Berlin, Jerman.

Berkibar
Pada pemilihan umum 1997, KIPP memang tidak bisa melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana yang diharapkannya. Namun, kegigihan Mulyana Kusumah, Goenawan Muhammad, dan kawan-kawan mereka lainnya menjadikan KIPP sebagai monumen perlawanan bagi pelaksanaan pemilihan umum tahun 1997 yang tidak jujur dan tidak adil.

Dalam situasi yang jauh lebih kondusif seperti saat ini, KIPP dengan cepat meluaskan ruang geraknya dengan melatih ratusan ribu tenaga sukarela untuk mengawasi penghitungan suara di sekitar 300 ribu tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia. Masyarakat juga dididik untuk memandang pemilihan umum sebagai urusan mereka, bukan semata urusan pemerintah, sehingga bisa lebih proaktif dalam mencegah dan mengadukan segala kecurangan yang terjadi.

Deklarasi KIPP Kalimantan Tengah, Januari 1999

Berbeda dengan dua tahun lalu, kini KIPP berkibar sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang paling siap untuk memantau pemilihan umum mendatang, dengan ditopang dana oleh banyak sumber, termasuk dari United Nations Development Program. Sekjennya, Mulyana W. Kusumah, yang biasanya berdiri berseberangan dengan pemerintah, sekarang diminta oleh Ketua Lembaga Pemilihan Umum, yaitu Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, untuk duduk dalam Komite Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, atau yang juga dikenal sebagai Tim 11.

Jaringan yang telah dibuat KIPP sampai sat ini telah menjangkau 23 propinsi. Menurut Standarkiaa, salah seorang anggota presidium KIPP mengatakan bahwa mereka akan menerapkan sampling area serta merencanakan membuat penghitungan cepat, tabulasi suara secara paralel di wilayah Jawa dan Bali. KIPP merupakan satu-satunya lembaga yang berpengalaman melaksanakan pemantauan pemilu di Indonesia. Lembaga ini menyusun modul pelatihan untuk pemantauan pemilu, meskipun masih perlu disesuaikan dengan perkembangan terbaru. Menurutnya pula, diperlukan standar pemantauan yang sama di antara para lembaga pemantau pemilu yang sekarang banyak bermunculan. Wandy N Tuturoong, anggota presidium KIPP berpendapat, agar lembaga-lembaga pemantau pemilu bersama-sama membentuk semacam clearing house untuk menyatukan temuan mereka di lapangan, sebelum mengumumkan kepada masyarakat.

KIPP juga mengusulkan peradilan khusus untuk menyelesaikan secara hukum sengketa dan kasus-kasus pelanggaran pemilu seperti penyalahgunaan wewenang pejabat untuk kepentingan partai politik tertentu. Menurut Sirra Prayuna, salah seorang anggota presidium KIPP, peradilan khusus ini bahkan bisa diberi wewenang untuk memutuskan apakah pemilihan umum di suatu desa atau wilayah administratif pemerintahan di atasnya perlu diulang atau tidak. Karena lembaga independen pengawas pemilu secara formal tidak memiliki kewenangan menentukan absah-tidaknya pemilu.

Divisi advokasi KIPP telah memperoleh dukungan dari 70 advokat dan pengacara untuk menangani kasus-kasus legal dalam penyelenggaraan pemilu.

Dalam pelatihan training for trainers yang diselenggarakan KIPP pada hari Sabtu (13/2), mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmaja mengatakan perlunya kesamaan persepsi umum mengenai asas jujur dan adil dalam pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Perbedaan persepsi asas jujur dan adil ini akan menjadi ancaman tersendiri bagi pelaksanaan dan hasil-hasil pemilu. Pembentukan kesamaanpersepsi mengenai asas jurdil dapat dilakukan dengan menyusun data lengkap mengenai permasalahan yang terjadi dalam pemilu terdahulu. Anatomi permasalahan umum disusun dan antisipasi untuk menghadapinya.. Syaratnya harus ada pengertian dasar yang disepakati bersama serta ukuran etika yang jelas.

Dalam pernyataan sikapnya, KIPP menuntut pemerintah tidak membuat keputusan yang melawan arus dalam penyelenggaraan pemilu, dengan menempatkan orang-orang yang diragukan kredibilitasnya dan kapabilitasnya dalam KPU. Pemerintah juga didesak segera mengganti wakil pemerintah itu dengan orang yang memiliki kemampuan dan keberpihakan pada gerakan reformasi, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat serta membuka kases seluasnya kepada masyarakat untuk menentukan wakil pemerintah. Sementara untuk mendapatkan wakil parpol yang berkualitas dalam KPU, para parpol harus menetapkan mekanisme demokratis dalam menentukan wakilnya.

Tulisan ini dibuat oleh pengurus KIPP Nasional pada tahun 1999, menjelang pemilu pertama setelah masa reformasi. 

No comments:

Post a Comment