Website counter

Thursday, October 25, 2012

SIPOL, Teknologi IT, dan Gagap Teknologi

Ide awal SIPOL (Sistem Informasi Partai Politik) sebenarnya baik, tapi infra strukturnya termasuk software dan human resourcesnya belum baik. Jadinya hasilnya gak baik atau belum baik. SIPOL harus diuji coba dulu berkali-kali, supaya beres dan bisa diterima umum.

Terkait IT atau yang serba pakai komputer, sudah ada yang mengusulkan e-voting di Indonesia. Alamak, SIPOL aja tidak beres, penghitungan suara pemilu lalu tidak beres, DPT aja masih jauh dari beres, mau tambah masalah lagi dengan e-voting. Saya tidak anti e-voting, tetapi dua puluh tahun lagi deh bicara e-voting di Indonesia. 

Saya kira, langkah KPU sudah bagus idan bijak dengan memutus kerja sama dengan IFES dalam pengadaan SIPOL ini, win-win solution tanpa perlu ada yang kehilangan muka. Kalau kasus yang terdahulu mau dibuka, yuk, seret komisioner KPU lama untuk buka-bukaan soal mesin IT penghitungan suara. Mesin tabulasi sebesar lemari, juga "katanya" entah di mana.

Lagipula Indonesia ribet amat ya, menghitung suara saja mesti khusus memakai dan membeli alat dari Amerika. Waktu penghitungannya juga lama. Tempat menghitungnya mesti menyewa hotel Borobudur. Menjadikan biaya semakin membengkak.

Pada pemilu parlemen Thailand 2011, Thailand cuma memakai Excel, Fax dan Handy Talkie! Tidak sampai dua minggu, penghitungan suara nasional sudah keluar dan tidak ada protes. Yang penting niatnya lurus, supaya pemilu berjalan lancar dan bersih. Apakah di Indonesia begitu penuh dengan orang tidak beres? 

Gagap teknologi
Orang Indonesia masih gatek (gagap teknologi) sekaligus gegar budaya. Meski banyak orang membawa ke sana kemari 2-3 smartphone, cuma untuk BBM (BlackBerry Messenger), karena murah meriah, SMS, menelpon atau Facebook dan men-tweet. Buka email jarang, bahkan banyak yang lupa nama email apalagi passwordnya. Jadi cuma bisa FB-an di HP saja.

Blackberry bukan barang mewah lagi. Satpam hotel saja memiliki Blackberry. Tukang sayur keliling depan rumah demikian juga. Fungsi yang digunakan baik kalangan menengah yang kerja kantoran maupun Satpam dan tukang sayur ini ternyata sama saja. Anak balita di Jakarta menenteng Ipad, (serius IPad beneran dan asli), cuma buat main game, dan supaya ibu bapaknya bisa asyik ngobrol dengan temannya di mall.

Satu lagi, saya pernah dihubungi untuk mencari orang yang paham smartphone dan gadget terbaru lainnya untuk mengajari para pejabat pakai gadget-gadget tersebut. Nah, mau bukti apa lagi.

Wednesday, October 17, 2012

Keterbukaan informasi versus kekerasan terhadap wartawan


Sebagai orang yang pernah 'turun' di beberapa daerah konflik dan pasca konflik, memang ada aturan untuk TIDAK memotret tentara, bangunan milik tentara dan kegiatan apapun terkait tentara. Jadi banyak banget momen-momen yang ada tentara atau pihak keamanan yang gak dipotret. Beberapa kali ketauan motret langsung disamperin tentara dan polisi, mereka minta dengan baik-baik agar potret tersebut dihap
us. 


Indonesia sebagai negara yang tidak konflik, kecuali konflik internal terkait kepercayaan atau agama di tempat-tempat tertentu, sepertinya bebas-bebas saja memotret tentara, kecuali dalam situasi tertentu. 


Kejadian kekerasan oleh 'oknum' tentara AURI terkait jatuhnya pesawat Hawk di Riau terhadap wartawan, harusnya menjadi satu momen 'keterbukaan informasi' dari pihak TNI dan Kepolisian, terutama dari pihak AURI kepada pihak media massa. Momen mana yang boleh disorot kamera, mana yang boleh dipublikasi dan mana yang tidak boleh dipublikasi. 



Wartawan juga jangan ngeyel. Ikutin kode etik. Kalau memang dilarang, yah ngambil gambarnya jangan provokatif. Kadang-kadang wartawan demi mengejar berita, apa aja dilanggar. Akhirnya kejadian kayak begini. Jadi, dua pihak mesti berkoordinasi dan disosialisasikan ke level paling bawah.

Monday, October 15, 2012

Why all the Political Parties didn’t meet Administrative Verification Requirements


Two parties (Golkar and Nasdem) who want to contest in upcoming General Election 2014 blamed Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) or Information System for Political Party launched by KPU that none of 34 parties that submitted the administrative documents to KPU was eligible to take part in upcoming General Election, this was one of the resumes of the discussion held by The Indonesian Institute, Jakarta, October 11 2012.

Left to Right: Indra J. Pilliang, Endang Tirtana, Ghazali, Hanta Yudha, Hadar Gumay

The speakers in this discussion were Mr. Indra J. Piliang from Golkar, Mr. Endang Tirtana from Nasdem, Mr. Hadar Gumay from KPU and Mr. Hanta Yudha AR researcher of TII. The discussion was chaired by Mr. Abdul Rohim Ghazali, board member of TII.

According to the speakers of parties, SIPOL is planned to ease the administrative verification, however in the implementation SIPOL caused some problems. 

First, The column for date of birth. When the data was uploaded, the output of the birth year of any party member was 2012 (0 year old). It means, the system denied this person being a party member

Second, The Electoral Law determines that a party should have 1,000 members in any Kabupaten. In SIPOL, the address should mention very clearly with Kecamatan and RT/RW. In the reality, not all places in Indonesia have the same structure like that. In some provinces in Indonesia, they use dusun, kampong etc. instead of Kelurahan. Not all dusun and kampong has RT/RW. And if they don’t input RT/RW, the data will be denied by SIPOL.
Note :
Administrative in Indonesis is : Country >>> Province >>> Kabupaten/Kotamadya >>> Kecamatan >>> Kelurahan >>> RW >>> RT

Third, every party should show the letter of rent, letter of property’s belonging, etc for the party office. Most of the office party in kabupaten and other level below is the house of the party officer as well. 

Fourth, output of SIPOL is different with the input data uploaded before. Some numbers are too much, and in the other data is too less.

Fifth, SIPOL was just socialized to political parties just a couple days prior to registration date. Many political parties are not ready for that.

Sixth, the skill of KPUD officers who uploaded the data into SIPOL should be improved. Because some data changed each other.

According to Nasdem, it’s better not use SIPOL as verification tool, because the law doesn’t mention that. It is better to use hardcopy and softcopy as mentioned in Electoral Law No. 8/2012.

Sunday, October 14, 2012

Catatan Partai Politik dibalik Ketidaklolosan Parpol Dalam Verifikasi Administrasi

Dua partai calon peserta pemilu 2014 menyalahkan Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang dikeluarkan oleh KPU atas tidak lolosnya satupun parpol dalam verifikasi administrasi, demikian salah satu kesimpulan diskusi yang diselenggarakan oleh The Indonesian Institute, 11 Oktober 2012 lalu.

Diskusi 

Narasumber diskusi adalah Indra J. Piliang dari Golkar, Endang Tirtana dari Nasdem. Sedangkan narasumber dari KPU adalah Hadar Gumay, narasumber lain adalah Hanta Yudha AR peneliti TII. Diskusi dimoderatori oleh Abdul Rohim Ghazali, Anggota Dewan Penasehat TII

Menurut kedua narasumber dari partai politik, SIPOL yang awalnya ditujukan untuk memudahkan pemverifikasian, ternyata bermasalah. 

Pertama, kolom tanggal lahir. Ketika data dimasukkan, outputnya adalah anggota partai lahir tahun 2012, sehingga tidak mungkin menjadi anggota partai. 

Kedua, dalam UU disebutkan persyaratan keharusan adanya 1000 (seribu) anggota di setiap kabupaten. Tetapi di dalam SIPOL dimasukkan data alamat anggota perkecamatan bahkan RT/RW, padahal tidak semua wilayah di Indonesia memiliki RT/RW. Dan adanya perbedaan pencatatan administrasi alamat misalnya dusun, kampung dsb. RT/RW jika tidak dimasukkan, maka outputnya akan bermasalah.

Ketiga, keharusan menunjukkan surat sewa, surat milik dan sebagainya untuk kantor partai. Kebanyakan kantor partai terutama di daerah adalah sekaligus tempat tinggal pengurusnya. 

Keempat, data output SIPOL ternyata berbeda dengan input yang dimasukkan sebelumnya. Ada sejumlah angka menggelembung, dan ada sejumlah data justru menciut. 

Kelima, SIPOL baru disosialisasikan beberapa hari menjelang pendaftaran partai politik, sehingga parpol tidak siap.

Keenam, kemampuan petugas KPUD yang bertugas menginput data ke SIPOL. Kadang-kadang ada data tertukar antara satu kabupaten dengan kabupaten lain.

Menurut partai Nasdem adalah SIPOL sebaiknya tidak digunakan sebagai alat verifikasi, karena tidak ada dasar hukumnya. Ssebaiknya verifikasi berupa hardcopy dan softcopy saja, sebagaimana tertulis dalam UU Pemilu.       

Thursday, October 11, 2012

Menyoal Presidential Threshold

Rupanya, regulasi seperti ambang batas parlemen dan rumitnya persyaratan parpol untuk mengikuti pemilu tidak cukup mampu 'mengerem' jumlah parpol, sehingga diperlukan adanya presidential threshold yang memunculkan hanya parpol terkuat dalam koalisi yang berhak mengajukan calon.

Presidential Threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden. 

Menurut pasal 6A ayat 3 dan 4 UUD '45: Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. 

Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Jadi, sebenarnya 'presidential threshold' di Indonesia, salah kaprah karena diartikan seperti 'electoral threshold'.

Tuesday, October 9, 2012

Tantangan Profesionalisme KPU dan Partai Politik dalam Proses Verifikasi Peserta Pemilu 2014


Tahapan verifikasi partai politik mendekati verifikasi faktual. KPU dan Kemendagri memastikan akan memakai data kependudukan yang baru. Dengan data kependudukan yang diperbarui diharapkan akan mendorong KPU menyesuaikan dengan syarat keanggotaan faktual bagi tiap parpol di tingkat daerah yang mengacu jumlah penduduk di tiap kecamatan dan kabupaten. 

KPU telah mengantisipasi celah dimana parpol calon peserta pemilu hanya memaksimalkan dokumen faktual di daerah, termasuk 10 persen sampling objek verifikasi faktual, sehingga 90 persen lainnya tidak disiapkan. Dengan data kependudukan yang baru, KPU berkesempatan mempertegas proses verifikasi karena tak ada celah bagi parpol untuk berkelit dengan data kependudukan yang lama.



Tantangan selanjutnya yang harus dihadapi KPU dalam proses verifikasi parpol peserta pemilu ialah sikap bersikukuh DPR membentuk tim terpisah untuk pemantauan proses verifikasi yang dijalankan KPU. Pembentukan tim ini justru menimbulkan kontraproduktif. Bukan menjadi lebih terawasi proses verifikasi yang dijalankan KPU, tapi justru proses tersebut rentan intervensi parpol-parpol di DPR yang berusaha mengamankan posisi untuk lolos. 

Bisa jadi, beberapa parpol di DPR ternyata benar-benar kesulitan memenuhi syarat verifikasi, misalnya jumlah keanggotaan di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota. Maka tim pemantau DPR ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, utamanya bagi parpol-parpol di DPR yang secara teknis terancam tak lolos verifikasi.

Tantangan lainnya bagi KPU dalam proses verifikasi parpol peserta pemilu 2014 ialah banyaknya partai-partai dalam 34 daftar partai peserta verifikasi, yang ternyata beririsan keanggotaan kader atau konstituen potensial mereka, dengan kader dan konstituen potensial dari partai-partai yang sudah ada atau partai sempalan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan adanya tarik menarik kader, terutama pada struktur kecamatan dan kelurahan. 

Pada tahap verifikasi ini, untuk konteks kuantitas kelengkapan berkas saja, sudah 12 parpol yang gagal, dan itu pun kebanyakan adalah sempalan beberapa partai yang sudah lama eksis. Dengan begitu ketatnya aturan syarat dalam tahap verifikasi selanjutnya, akan sangat berpotensi terjadinya perebutan kader.

Kemungkinan lainnya, celah baru modus “jual-beli” kader dari parpol baru yang sebetulnya tak berharap banyak lolos ke pemilu 2014, tapi kebetulan lolos dalam kelengkapan jumlah item berkas yang harus diserahkan. 

Dimana partai-partai yang peluangnya amat kecil lolos pemilu 2014, kemudian berpotensi membantu memuluskan partai tertentu yang masih kesulitan memenuhi aturan verifikasi, asalkan dengan kontrak politik tertentu. Hal ini tentu harus ditindak tegas oleh KPU jika nantinya menimbulkan kejadian atas hal itu. 

Jika ditemukan kepengurusan ganda dalam satu partai misalnya, tentu KPU akan menghitung satu keanggotaan saja. Adapun jika ditemukan kepengurusan ganda satu orang di beberapa KTA parpol, maka akan diberikan datanya pada verifikasi faktual di kabupaten/kota.Temuan inilah nantinya akan diserahkan KPU ke kabupaten/kota untuk dilakukan pencocokan antara soft file denganhard file pengurus kabupaten/kota berikut KTA dari anggota tersebut. 

Disinilah KPU diharap benar-benar melakukan ketegasan aturan dalam proses pengecekan silang. Pada proses verifikasi peserta pemilu sebelum-sebelumnyanya (2004 dan 2009), KPU belum cukup ketat memberi ketegasan dalam pengecekan silang semacam ini.

Karena itu pula, KPU mestinya berani memberi catatan negatif atau peringatan keras, jika perlu mengeliminasi partai yang sudah diberikan berulang kali kelonggaran kelengkapan berkas (sesuai perubahan aturan KPU), tetapi tetap tak mampu memenuhi syarat. Selain itu, KPU juga diharapkan tegas dan profesional menindak oknum tertentu yang mengatasnamakan penyelenggara pemilu dan petugas verifikasi di lapangan, jika didapati oknum-oknum tersebut “bermain mata” dengan memberikan standar ganda atau kemudahan khusus bagi partai tertentu selama proses verifikasi.

Berangkat dari beberapa problem diatas, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan:
1. Bagaimana mendorong KPU menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang profesional dan konsisten terhadap aturan yang telah dibuat KPU sendiri?
2. Bagaimana strategi dan upaya partai politik dalam konteks kesiapan parpol mengikuti proses verifikasi?
3. Bagaimana memperbaiki tingkat kepatuhan dari tiap parpol terkait aturan kepemiluan, baik dalam proses verifikasi maupun saat pemilu nantinya dan bagaimana sistem pengawasan yang paling tepat?


The Indonesian Institute, Jl. Wahid Hasyim no. 194 Jakarta 

Afghanistan after 2014?


The International Crisis Group has issued recently a report warning that the NATO troop exit in 2014 could be followed by collapse and a civil war. 

ICG atau The International Crisis Group telah menerbitkan sebuah laporan yang memperingatkan bahwa penarikan pasukan NATO dapat diikuti dengan munculnya perang sipil. 

Though the Afghan government dismissed the claims, ICG warns that Afghanistan could be headed towards “a devastating political crisis after 2014.” 

Walaupun pemerintah Afghanistan menolak klaim tersebut, ICG memperingatkan bahwa Afghanistan mungkin akan menghadapi "krisis politik yang menghancurkan pasca 2014." 

The group cites the potential for fraud and vote-rigging in the next election, as well as an unprepared police force and army if adequate preparation for the transition is not taken. The report’s release was released a day after the 11th anniversary of the war in Afghanistan.

ICG mengutip bahaya potensial akan terjadinya kecurangan dan pelanggaran pemilu pada pemilu yang akan datang, seperti juga polisi dan tentara yang belum siap. Laporan tersebut dikeluarkan setelah perayaan 11 tahun selesainya perang di Afghanistan.

Some people think it is good that NATO expels their soldiers from Afghanistan soon, or at least 2014 and let Afghanistan's army guards their own country. 

Sejumlah orang berpendapat, ada baiknya jika NATO menarik mundur pasukannya dari Afghanistan sesegera mungkin dan membiarkan tentara dan polisi Afghanistan menjaga sendiri negara mereka.

I used to be in Afghanistan in 2009 and 2010. I like to be in Afghanistan, and the people there are nice and friendly like Indonesians. I feel at second home. However, I agree with ICG and am pessimistic with that situation regarding that the quality of human resources in Afghanistan.

Sebagai seseorang yang pernah di Afghanistan pada tahun 2009 dan 2010, saya mempunyai pandangan yang serupa dengan ICG. Keramahan orang Afghanistan serupa dengan orang Indonesia, sehingga membuat saya suka berada di Afghanistan. Tetapi kualitas sumber daya manusia Afghanistan meragukan, jika pasukan NATO ditarik secepat itu.

The illiteracy there is so high, only 60% men and 20% women can read and write. The school buildings were empty and the classes open in the open air, sometimes under the tree or in the tents. Not enough book to read. 

Tingkat buta huruf di sana cukup tinggi, hanya 60% pria dan 20% wanita bisa baca tulis. gedung sekolah banyak yang rusak dan kosong. Kelas dibuka di udara terbuka, kadang di bawah pohon atau di dalam tenda. Buku bacaan kurang sekali.

A police who deployed in a poll station in Pule Khumri, Baghlan province, North Afghanistan, 18 September 2010
Even the German troops there who has to train Afghan police gives up. The training should take 3 years, and then reduce into 2 years, reduce many times until only 2 months. What quality we can expect from the very short course like that? How can they protect their own country?

Bahkan Jerman yang bertugas untuk mentraining polisi Afghanistan sepertinya menyerah. Jerman adalah negara yang sangat ketat tradisi pendidikannya. Mereka sudah membuat Lehrplan atau jadwal pengajaran yaitu 3 tahun untuk mendidik dan melatih polisi yang profesional. Tetapi training kemudian di persingkat menjadi 2 tahun, dipersingkat lagi hingga hanya 2 bulan. Kualitas apa yang bisa diharapkan dari polisi yang mengikuti training sesingkat itu? Bagaimana mereka bisa menjaga negaranya sendiri?

I saw young policemen everywhere with long weapons, they are young, 15 or 17 years old. Their eyes reflect fear. They don't hold weapon correctly, no wonder that many victims of bombs were young policemen like those who guarded the gate or front of buildings. They are inexperienced and unskilled. 

Saya melihat banyak polisi muda dengan senjata laras panjang di mana-mana. Mereka masih muda, usia sekitar 15-17 tahun. Mata mereka memancarkan ketakutan. Cara mereka memegang senjata tidak mantap, belum terbiasa dan tidak profesional. Tidak heran jika kebanyakan korban bom adalah polisi yang menjaga di gardu depan, karena mereka belum berpengalaman dan tidak terlatih.

Besides, there are still many warlords who are ready to fight each others.

Selain itu, masih banyak warlords (mujahidin) yang siap bertempur satu sama lain. 

Tuesday, October 2, 2012

Press Release : Gazipur 4 By-election held on 30 September 2012


Interim Statement
Gazipur 4 By-election held on 30 September 2012
FUNDAMENTALLY FLAWED, LOW VOTER TURNOUT BUT PEACEFUL

Kapasia, September 30, 2012: The Gazipur - 4 by-elections was fundamentally flawed but peaceful and well administered. It is flawed as the election did not fully comply with international standards for democratic elections as well as the national election laws. However, the election was generally peaceful with massive presence of security personnel, and well administered as the Election Commission (EC) deployed some if it’s highly experienced officials to administer the by-election which was marked by a very low turnout of voters compared to previous elections.

The by-election breached globally accepted standards for democratic elections as it is not fully participatory. The opposition parties including the main opposition party stayed away from the polls making the election non-competitive. This “not-fully-participatory” election deprived the voters of Kapasia of a wider choice of candidates and parties to choose from.

The election did not fully comply with the national election laws as Article 90B (b) (iv) of the RPO states that the political party has “to finalise nomination of candidate by central parliamentary board of the party from the panels prepared by the members of the Ward, Union, Thana, Upazila or District committee, as the case may be, of concerned constituency”. The EC did not enforce this law in connection with nomination of the two political parties - Awami League (AL) and Communist Party of Bangladesh (CPB) - nominated candidates in the by-election which calls the candidacy of the political party nominated candidates into question. The political parties in question have said nothing about compliance of this law. The people are not aware of any such nomination process being followed. Apparently, the EC overlooked this violation. The penalty for this violation [RPO Article 90H (d)] may lead to the cancellation of registration of the offending political party.

The election campaign did not generate much enthusiasm among the voters consequently voter turnout was remarkably low compared to previous elections. According to FEMA observation voter turnout ranged between 5 to 20% at 12 noon in different polling stations. FEMA observers saw no queue of waiting voters at the polling stations except in a couple of cases where less than 10 voters were seen waiting to cast their vote. It seemed that election officials, security personnel, media men and domestic observers together far outnumbered the voters. The absence of opposition participation and the fact that none of the three candidates reside in the constituency are likely reasons for the low level of enthusiasm and low turnout of voters.

The election-day was mainly peaceful. Large numbers of security personnel were present in the polling stations and in the constituency. No incidents of violence or clashes were observed on the election-day.

The election was generally well administered at the field level. The Returning Officer and Assistant Returning Officer are Election Commission (EC) officials. Recent experience with EC official administered elections (Narayanganj and Chittagong Mayoral polls) is positive.

The polling stations FEMA observers visited were located in neutral locations. The polling officials were present. Required election materials were available at the polling stations. Polling agents of all candidates were not present in all the polling stations FEMA observed. Polling agent of only AL candidate was seen in all polling booths.

FEMA observed the following irregularities during the voting process. At the Char Khamer Govt. Primary School and Raniganj High School polling stations more than one polling agent of AL candidate were present in each booth. Article 22 of the RPO allows only one polling agent per candidate per polling booth. At some polling stations the polling officials were seen to have stamped full ballot books and signed the reverse side of the ballot papers thus validating them well in advance. The reverse side of the ballot paper should be stamped and signed only before handing out the ballot paper to the voter, not in advance.

FEMA observed the Gazipur 4 by-polls by deploying 3 mobile teams comprising 13 observers from its central leadership and the Gazipur district committee to observe the voting process. The teams visited 20 polling stations spending about an hour at each polling station. FEMA Observation team included its Vice President Adv. Salma Ali, Secretary General Tarikul Ghani, Chair of the Media Committee Prof. Showkat Ara Hossein, Joint Secretary General Emam Hasnath, member Nazma Choudhury, President of the Gazipur chapter Dr. Md. Eunus Ali and others. Earlier, FEMA observed the nomination process and the campaign period.

This is an interim statement of the observation of the Gazipur – 4 by-election released after the voting process was over. More information is coming in from our observers. FEMA will release a detail report with its recommendations shortly.


For further information:
Ferozul Alam,
Program Manager, FEMA                                                                                     Cell: 01819938757