Website counter

Tuesday, June 19, 2012

Agama dan dan Etika Sosial - Politik (Bagian kelima)

Dalam konteks seperti itu, semakin terlihat betapa sulitnya kita untuk mendapatkan suatu rumusan yang memadai dan dapat diterima secara bersama-sama tentang (1) posisi agama dalam negara; (2) hubungan antara agama dan masalah sosial-politik; dan (3) kaitan etis dan profetis agama dalam kehidupan sosial-politik kita.
Kita menyadari akan fungsi direktif, korektif dan transformatif agama dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Hal ini tentu saja sebagai konsekuensi logis dari watak holistik dan omnipresence agama sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi, diletakkan dalam konteks heterogenitas – bahkan mungkin parokialisme – kepentingan sosial-politik warga negara, sebuah rumusan sikap etis-profetis agama yang tunggal dan monolitik dalam memberikan respons terhadap perkembangan sosial-politik suatu negara, menjadi sulit untuk dilakukan.
Pluralitas dalam memberikan interpretasi kontekstual terhadap doktrin-doktrin universal agama semakin menambah kompleksitas persoalan.
Dalam konteks umat beragama secara keseluruhan, hegemoni negara, marjinalisasi peran serta masyarakat, dan sebagainya, selalu berdimensi ganda.

Karena Orde Baru mewarisi unfavorable memory (ingatan yang kurang menyenangkan) terhadap pemerintahan sebelumnya, khususnya dalam konteks destabilisasi politik dan stagnasi pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan tertib politik dan ekonomi sebagaimana yang nampak dewasa ini, dengan segala implikasinya tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Di dalam setting seperti itu, selalu ada segmen-segmen warga negara yang terlibat (participant) dan ada yang tidak terlibat (subject).

Dalam kerangka seperti ini yang diperlukan adalah merumuskan potensi etis-profetis agama untuk menyeimbangkan kontruksi negara yang kuat di satu pihak dan masyarakat yang empowered di pihak lain; menyeimbangkan tertib politik yang telah berhasil di satu sisi dan meningkatkan partisipasi masyarakat di sisi lain.
Bersandar hanya pada nilai-nilai universal agama yang memberikan panduan-panduan etis bagi kehidupan manusia (i.e. keadilan, persamaan, musyarah – atau prinsip-prinsip dasar sosial-politik lainnya) tidaklah memadai.
Karena prinsip-prinsip itu harus diletakkan dalam setting dan konteks sosial-politik yang empirik, maka nilai-nilai itu harus di-juktaposisikan secara komplementer dengan struktur sosial-politik yang ada dengan seluruh variasi dan perbedaan kepentingan pelaku-pelaku sosial-politik yang tersedia.
SELESAI  .....

Makalah ini disampaikan oleh Bahtiar Effendy pada Seminar Agama dan Etika Politik, diselenggarakan oleh Yayasan Paramadina, Masyarakat Dialog Antar Agama, dan Institut Studi Arus Informasi, di RNI, Jakarta, 27 September 1996

Note dari penulis :

Tertarik ingin punya bisnis sendiri???? Gampang caranya. Add akun Facebook saya yang ada di sebelah kanan atau kiri artikel ini.  


Kalau sudah jadi friend saya di Facebook, nanti saya undang ke pertemuan bisnis kami. Tenang, kalau cuma hadir di pertemuan bisnis, gak perlu bayar. Pertemuannya juga online, lewat Facebook. Jadi gak perlu keluar rumah, dan kalau lagi di luar rumah, gak perlu batalin janji. Kan bisa lewat handphone. Asyik, kan. Yuk, gabung yuk.

No comments:

Post a Comment