Dengan pengantar seperti itu, tugas untuk membicarakan posisi agama sebagai pemberi panduan etis bagi kehidupan sosial-politik suatu negara menjadi tidak mudah.
Pertama, adanya isyarat yang tegas bahwa meskipun agama bersifat omnipresence dan berwatak holistik, hal itu tidak serta merta menisbatkan adanya „otomatisasi“ hubungan atau korelasi antara etika agama dengan masalah sosial-politik.
Artinya, sebagai suatu ide, watak omnipresence dan holistik agama tidak lagi memiliki „kaki“. Ia membutuhkan instrument yang sesuai yang dapat merealisasikan watak omnipresence dan holistic agama.
Kedua, karena agama berhubungan dengan masalah-masalah yang konkrit dan empiric, tentu artikulasi dari sifat omnipresence agama tadi tidak berada dalam sesuatu yang vakum.
Artinya, ia pasti bergesekan dengan struktur sosial-politik yang sudah ada. Situasi seperti ini sebenarnya bukan merupakan suatu masalah jika ada uniformitas dalam diri warga Negara untuk menerima kenyataan yang ada (uniformly accepted).
Akan tetapi, karena adanya heterogenitas kepentingan, maka dengan sendirinya kita dapat mengatakan bahwa (1) sifat, (2) lingkup, (3) model, atau (4) intensitas hubungan antara agama dan masalah-masalah sosial-politik – sebagai realisasi dari sifat omnipresence agama – juga mempunyai dinamika dan gesekan-gesekannya sendiri.
Artinya, dalam hal seperti inipun akan selalu kita temui pandangan-pandangan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan. Hal ini terutama disebabkan oleh karena interest atau kepentingan yang berbeda dari para pelaku dan aktor sosial-politik beserta konstituen yang mendukungnya.
Berkembangnya diskursus tentang akomodasi negara terhadap Islam dalam lima tahun terakhir ini, baik yang diwakili oleh mereka yang secara langsung terlibat di dalamnya atau mereka yang menempatkan diri sebagai penonton (bystander), menunjukkan kompleksitas persoalan di atas.
Hal ini diperburuk oleh situasi di mana kita – dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan sosial politik kita yang sifatnya relatif – tidak bisa sampai pada suatu kesimpulan yang lugas dan pasti, sehingga dapat mengatakan bahwa yang salah satu salah (karena itu harus diingatkan) dan yang lain benar (karenanya layak memperoleh dukungan).
berlanjut .....
Makalah ini disampaikan oleh Bahtiar Effendy pada Seminar Agama dan Etika Politik, diselenggarakan oleh Yayasan Paramadina, Masyarakat Dialog Antar Agama, dan Institut Studi Arus Informasi, di RNI, Jakarta, 27 September 1996
Note dari penulis :
Tertarik ingin punya bisnis sendiri???? Gampang caranya. Add akun Facebook saya yang ada di sebelah kanan atau kiri artikel ini.
Kalau sudah jadi friend saya di Facebook, nanti saya undang ke pertemuan bisnis kami. Tenang, kalau cuma hadir di pertemuan bisnis, gak perlu bayar. Pertemuannya juga online, lewat Facebook. Jadi gak perlu keluar rumah, dan kalau lagi di luar rumah, gak perlu batalin janji. Kan bisa lewat handphone. Asyik, kan. Yuk, gabung yuk.
No comments:
Post a Comment