Website counter

Sunday, December 30, 2012

Sanksi bagi Pemantau Pemilu


Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dikenakan sanksi yaitu pencabutan status dan haknya sebagai Pemantau Pemilu. Pelanggaran yang dilakukan oleh pemantau pemilu dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti. Laporan harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh pelapor dengan alamat yang jelas dan disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota.

Pemantau Dalam Negeri yang terbukti melanggar akan dilaporkan ke KPU oleh KPU Kabupaten/Kota agar dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu, apabila akreditasi diberikan oleh KPU.

Sedangkan jika pemberian akreditasi Pemantau Dalam Negeri yang melanggar diberikan oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota melaporkan kepada KPU Provinsi agar dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu, apabila akreditasi dan melaporkan kepada KPU.


Dan jika akreditasi diberikan oleh KPU Kabupaten/Kota, maka Pemantau Dalam Negeri yang melanggar dan terbukti, KPU Kabupaten/Kota mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu dan melaporkan kepada KPU melalui KPU Provinsi.

Pemantau asing yang melanggar ketentuan dan terbukti kebenarannya, KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu atas laporan dari KPU Kabupaten/Kota. Menteri hukum dan hak asasi manusia akan menindaklanjuti penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, pemantau Pemilu yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemantau Pemilu yang tidak melaporkan hasil akhir pemantauan kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, tidak diperbolehkan mengikuti pemantauan pada pemilu berikutnya.





Larangan bagi pemantau pemilu


Pemantau Pemilu dilarang : 
  1. melakukan kegiatan yang dapat mengganggu proses pelaksanaan Pemilu;
  2. mempengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih;
  3. mencampuri tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu; 
  4. memihak kepada peserta Pemilu tertentu; 
  5. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung peserta Pemilu; 
  6. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apapun dari atau kepada peserta Pemilu; 
  7. mencampuri dengan cara apapun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri Indonesia; 
  8. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama melakukan tugas pemantauan; 
  9. masuk ke dalam area TPS; 
  10. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau Pemilu.
Seorang anak sedang memperhatikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipasang di depan TPS.
A boy  is watching  voter registration list displayed in the front of a polling station.
Observers are not allowed:

  1. to do activities can disturb election process
  2. to influence voters when they cast their votes
  3. to intervene tasks and authority of election management bodies officers
  4. to identify with a contesting party
  5. to wear a uniform, a certain color, or other attribute that can give impression impartiality
  6. to have and to give any gift or any facility from any contesting party
  7. to intervene politics and internal affairs in Indonesia with any reason  
  8. to bring weapons, explosive material, or other dangerous material during observation 
  9. to enter polling station area
  10. to do another activities that’s not part of election observers’ tasks


Hak Pemantau Pemilu


Pemantau Pemilu mempunyai hak :
  1. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah Indonesia; 
  2. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan Pemilu; 
  3. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS; 
  4. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; 
  5. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu; 
  6. pemantau yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus diplomat, berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas sebagai Pemantau Pemilu; 
  7. menyampaikan temuan kepada Badan Pengawas Pemilu, Badan Pengawas Pemilu Provinsi, dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, apabila pelaksanaan proses tahapan Pemilu tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penghitungan suara di kelurahan. Lokasi: Kelurahan Kedoya Selatan, Jakarta Barat, Juli 2012.
Tallying Process in sub dictrict office. Location Kedoya Selatan, West Jakarta 2012.


Rights of Election Observers

Election observers have rights:
  1. to have law and security protection from Indonesian Government 
  2. to observe and collect data related on election process 
  3. to observe the process of voting day and counting, from outside of polling station 
  4. to have information from KPU, KPU Province and KPU Kabupaten/Kota 
  5. to use the gadgets to document the process of election observation 
  6. to have diplomatic immunity for diplomat observers from embassies during their election observation 
  7. to report their findings to Bawaslu (Election Supervisory Body) in all levels, if they find the implementation of the election process don’t follow the electoral laws and regulations.

Kewajiban Pemantau Pemilu


Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban :
  1. mematuhi peraturan perundang-undangan serta menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
  2. mematuhi Kode Etik Pemantau Pemilu; 
  3. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan; 
  4. melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah sebelum melaksanakan pemantauan; 
  5. menggunakan tanda pengenal selama dalam pemantauan; 
  6. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan; 
  7. melaporkan jumlah dan keberadaan personil Pemantau Pemilu serta tenaga pendukung administratif kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah pemantauan; 
  8. menghormati peran, kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu; 
  9. menghormati adat istiadat dan budaya setempat; 
  10. bersikap netral dan obyektif dalam melaksanakan pemantauan; 
  11. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan mengklarifikasi kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melalui kelompok kerja Pemantau Pemilu; 
  12. melaporkan hasil akhir pemantauan Pemilu kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan format laporan yang berisikan Pendahuluan, Latar Belakang, Tujuan, Pelaksanaan Kegiatan, Temuan Hasil Pemantauan, dan Rekomendasi.
Kotak Suara sebelum hari H, lokasi Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ballot boxes, distribution of material both sensitive and non sensitive materials. Location : Kebon Jeruk, West Jakarta.

Tanda Pengenal Pemantau Pemilu


Anggota Pemantau Pemilu menggunakan tanda pengenal pemantauan Pemilu selama melaksanakan tugas pemantauan yang dikeluarkan oleh KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota.

Tanda pengenal Pemantau Pemilu memuat informasi tentang :
a.  nama dan alamat lembaga Pemantau Pemilu yang memberi tugas;
b.  nama anggota pemantau yang bersangkutan;
c.  pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan ukuran 4 cm x 6 cm berwarna;
d.  wilayah kerja pemantauan;
e.  nomor dan tanggal akreditasi;
f.  masa berlaku akreditasi pemantau Pemilu.

Kartu Pemantau Pemilu milik saya sewaktu memantau Pemilukada DKI Jakarta, Juli dan September 2012.
My ID Card as election observer in Gubernatorial Election DKI Jakarta, July and September 2012.

Ketua KPU membubuhkan tanda tangan dan stempel Ketua KPU pada Tanda Pengenal yang diakreditasi oleh KPU;

Ketua KPU Provinsi membubuhkan tanda tangan dan stempel Ketua KPU Provinsi pada tanda pengenal yang diakreditasi oleh KPU Provinsi.

Ketua KPU Kabupaten/Kota membubuhkan tanda tangan dan stempel Ketua KPU Kabupaten/Kota pada tanda pengenal yang diakreditasi oleh di KPU Kabupaten/Kota.

Tanda pengenal Pemantau Pemilu terdiri atas Tanda Pengenal Pemantau Dalam Negeri, Tanda Pengenal Pemantau Asing Biasa dan Tanda Pengenal Pemantau Asing Diplomat.

Tanda Pengenal Pemantau Pemilu berukuran 10 cm x 5 cm, berwarna dasar biru tua untuk Pemantau Dalam Negeri, biru muda untuk Pemantau Asing Biasa, dan merah muda untuk Pemantau Asing Diplomat.

Petisi Bubarkan FPI segera!


Adalah mustahil mengingkari amanat konstitusi bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat merupakan hak azasi manusia yang dilindungi undang-undang.

Namun menjadi persoalan besar ketika hak azasi itu dipakai oleh Front Pembela Islam (FPI) untuk menekan hak azasi pihak lain, bahkan dalam jumlah yang mayoritas juga berkeinginan untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, bebas menganut agama serta beribadah sesuai ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing.

FPI dicegah oleh kepolisian.  Foto sepenuhnya milik www.change.org.
FPI in action. Picture courtessy of www.change.org

Sejak pertama beridri awal reformasi, rakyat menyaksikan dan media mencatat, FPI telah ratusan kali mengganggu keamanan / ketertiban, menyebarluaskan permusuhan dan kebencian antar suku, agama, ras, gender dan antar golongan bahkan perorangan.

“FPI punya Laskar Pembela Islam (LPI), sayap paramiliter yang bertugas melakukan aksi-aksi kekerasan FPI dan itu diketahui Pemerintah/Kepolisian”.

Meresahkannya perilaku FPI sudah berulangkali melahirkan tuntutan masyarakat agar Pemerintah membubarkan Ormas ini. Namun disinilah letak masalahnya. Negara/Polisi, termasuk Presiden seolah tidak punya wibawa menghadapi FPI. Seolah tidak punya kemauan membubarkannya, sampai-sampai kita merasa ada unsur kesengajaan atau pembiaran.

Berikut 3 (tiga) contoh dari ratusan perilaku FPI yang menunjukkan Ormas ini terang-terangan menghina negara. 
1. Saat Pembuatan Film Lastri di Solo (2008), FPI menginjak-injak izin Produksi yang dikeluarkan Mabes Polri, dilakukan di depan mata para anggota Polri, namun Polisi diam. 


2. FPI mengancam akan bikin rusuh apabila Konser Lady Gaga digelar, Juni 2012, Polisi diam. Padahal Ancaman/terror adalah tindak pidana. Mana mungkin hal sesederhana itu tidak dipahami Polri.

3. FPI mengancam akan menggagalkan Natal di Semarang, Desember 2012, Polri menghadapinya dengan mengerahkan pasukan, yang pasti menelan biaya mahal dan tetap meresahkan. Padahal ancaman FPI sudah jelas adalah pelanggaran Hukum.

Presiden SBY sendiri dua kali mengeluarkan pendapat mengenai ormas brutal.

Pertama, pada perayaan hari Pers Nasional di Kupang NTT, 2011. Meski tak menyebut nama organisasi, Presiden memerintahkan agar organisasi massa yang menciptakan keresahan ditindak tegas, jika perlu dibubarkan. Sayang, Presiden hanya berhenti di pernyataan. Tidak diikuti dengan pengawasan, apakah perintah dalam pernyataannya dipatuhi aparatnya. Padahal tahun 2011, Mabes Polri mencatat, FPI melakukan aksi kekerasan dan pelanggaran hukum sebanyak 29 kali dari total seluruhnya 51 kali pelanggaran yang dilakukan seluruh ormas di Indonesia.

Kedua, dilontarkan saat jumpa pers di Istana Negara, 13 Maret 2012. Presiden menyatakan ormas yang dianggap paling sering melakukan aksi kekerasan adalah Front Pembela Islam (FPI). Celakanya, Presiden hanya meminta FPI melakukan instrospeksi diri padahal introspersi diri adalah selemah-lemahnya gagasan dalam mengatasi kelompok sebrutal dan sesemena-mena FPI. Sialnya lagi, Presiden hanya meminta FPI melakukan introspeksi diri, tanpa meminta Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian untuk melakukan introspeksi diri. 

Karena perubahan tidak akan turun begitu saja dari langit kecuali rakyat bangkit merebutnya, maka masyarakat Indonesia seharusnya menuntut dengan tegas pembubaran Front Pembela Islam (FPI).
"Membiarkan brutalitas FPI sama artinya dengan menghancurkan ke-Indonesia-an, dan menghilangkan nilai-nilai keadaban yang terangkum dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika." 

Secara yuridis pembubaran ormas brutal dimungkinkan dengan UU No 8/1985 tentang Ormas dan PP No 18/1986. Alternatif lain, dapat ditempuh melalui jalur pertanggungjawaban pidana korporasi. Korporasi, termasuk Ormas, sebagai suatu sistem harus dapat dipertanggungjawabkan fungsi sosialnya. Cara lain, seperti pernah dilontarkan ketua MK, Mahfud MD, pembubaran FPI tidak membutuhkan pengadilan. Cukup aparat kepolisian menyatakan aktivitas FPI dihentikan. Cara ini lebih efektif karena efisien dalam proses, terutama karena FPI tidak pernah terdaftar berbadan hukum formal. Ratusan tindakan brutal FPI selama ini bisa dijadikan dasar untuk meminta FPI menghentikan aktivitasnya.

Beranjak dari pemikiran-pemikiran di atas, Ratna Sarumpaet Crisis Center melayangkan petisi ini pada seluruh rakyat / warga Negara Indonesia yang menghendaki pembubaran FPI, agar menandatanganininya untuk kemudian dilayangkan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, c.q Kapolri, "Agar segera membubarkan Front Pembela Islam (FPI) serta membebukakan aktivitas-aktivitas kriminalnya."

Kepada Bapak Presiden SBY dan jajarannya kami ingin mengingatkan agar tidak ragu. Seluruh rakyat menghendaki bangsa ini memiliki kehidupan yang wajar, memiliki hubungan antar masyarakat yang harmonis, saling menghormati dan damai, dan untuk kepentingan itu seluruh rakyat ada di belakang Bapak dan jajaran  Bapak.

Demikianlah petisi ini kami buat, dengan memohon pada Allah SWT agar melindungi bangsa ini untuk selamanya, amien. 

Ratna Sarumpaet

Klik Petisi di sini

Wilayah Kerja dan Pendaftaran Pemantau Pemilu


Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada suatu daerah tertentu sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.  Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU.


Briefing of Local election observer for Gubernatorial Election Jakarta, September 2012

Pemantau Pemilu dari dalam negeri yang mempunyai struktur organisasi berjenjang dari pusat sampai ke provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, yang akan melakukan pemantauan lebih dari 1 (satu) provinsi, mendaftarkan diri dan memperoleh akreditasi dari KPU serta wajib melapor kepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Pemantau Pemilu dari dalam negeri yang keberadaan organisasinya hanya ada di 1 (satu) provinsi, atau melakukan pemantauan lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi, mendaftarkan diri dan diakreditasi oleh KPU Provinsi, serta wajib melapor kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Pemantau Pemilu dari dalam negeri yang keberadaan organisasinya hanya ada di tingkat kabupaten/kota, mendaftarkan diri dan diakreditasi oleh KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib melaporkan akreditasi pemantau pemilu yang dilakukan sesuai dengan cakupan wilayahnya kepada KPU. 

Saturday, December 29, 2012

Pemberian Akreditasi kepada Pemantau Pemilu


Setelah pemantau pemilu memberikan sejumlah persyaratan yang diminta, maka, KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota meneliti kelengkapan administrasi pemantau Pemilu dan memberikan persetujuan kepada pemantau Pemilu dari dalam negeri dan luar negeri yang memenuhi persyaratan dengan memberikan sertifikat akreditasi. Dalam melaksanakan tugas tersebut, KPU, KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota membentuk panitia akreditasi.

KIPP Indonesia menyerahkan berkas pendaftaran pemantau kepada Komisioner KPU yaitu mas Ferry. KIPP Indonesia gives the registration documents to one of commissioners of KPU, Hon. Ferry


Akreditasi pemantau Pemilu berlaku sejak diterbitkannya sertifikat akreditasi sampai dengan tahap penetapan calon terpilih Anggota DPR dan DPD, apabila pemantauan diajukan untuk seluruh tahapan Pemilu.

Akreditasi pemantau Pemilu berlaku sejak diterbitkannya sertifikat akreditasi dan berlaku secara efektif mulai tahapan tertentu, apabila pemantauan diajukan tidak seluruh tahapan Pemilu. Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai Pemantau Pemilu serta mendapatkan sertifikat akreditasi dari KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan, Pemantau Pemilu yang tidak memenuhi kelengkapan persyaratan administrasi, tidak diberi tanda terdaftar sebagai Pemantau Pemilu.

KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menyampaikan nama dan jumlah pemantau Pemilu, alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah, rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang akan dipantau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d, kepada Badan Pengawas Pemilu, Badan Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota.

Sebelum melaksanakan pemantauan, Pemantau Pemilu wajib melapor kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat yang membawahi wilayah hukum daerah yang dipantau.

Tata Cara Akreditasi Pemantau Pemilu


Pemantauan pemilu merupakan hak warga negara. Meski demikian, penyelenggara pemilu memberikan sejumlah persyaratan dan prosedur pendaftaran bagi siapapun yang berminat menjadi pemantau pemilu.  

1. Pemantau Pemilu dari dalam negeri mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan Pemilu dengan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
2. Pemantau Pemilu yang berasal dari luar negeri mengisi formulir yang dapat diperoleh dari kantor KPU atau Kedutaan Besar/Konsulat Republik Indonesia di negara asal pemantau.
3. Pemantau Pemilu yang berasal dari perwakilan negara sahabat harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Luar Negeri.
4. Pendaftaran pemantau Pemilu dilaksanakan sebelum tahapan penyelenggaraan Pemilu sampai dengan 7 (hari) sebelum pelaksanaan hari pemungutan suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk pemilu legislatif 2014, pendaftaran pemantau pemilu dilaksanakan sejak tanggal 14 Agustus 2012 – 2 April 2014.

Seminar "Evaluasi Pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta 2012. Saya berada di tengah, sebelah Mulyana W. Kusumah.  I was in the centre on the stage. 


Kelengkapan administrasi Pemantau Pemilu dari dalam negeri dan luar negeri mengembalikan formulir pendaftaran kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota meliputi:


a.   profil organisasi/lembaga;
b.   nama dan jumlah anggota pemantau;
c.   alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;
d.   rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang akan dipantau;
e. nama, alamat dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang dilampiri 2 (dua) buah pas foto diri terbaru 4x6 berwarna;
f.  surat Pernyataan mengenai sumber dana yang ditandatangani oleh ketua lembaga Pemantau Pemilu;
g. surat pernyataan mengenai independensi lembaga pemantau yang ditandatangani oleh ketua lembaga Pemantau Pemilu;
h. surat pernyataan atau pengalaman dibidang pemantauan dari organisasi pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan bagi pemantau pemilu luar negeri;
i. surat pernyataan atau pengalaman di bidang pemantauan dari pemantau perseorangan yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan bagi pemantau pemilu perseorangan yang berasal dari luar negeri;
j. surat pernyataan mengenai independensi pemantau Pemilu perseorangan yang ditandatangani oleh pemantau Pemilu yang bersangkutan;
k.   Surat rekomendasi dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia bagi pemantau pemilu yang berasal dari perwakilan negara sahabat.

Penambahan nama, jumlah dan alokasi anggota pemantau serta penambahan daerah yang akan dipantau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d, dilaporkan kepada pemberi akreditasi. 

Friday, December 28, 2012

Mari Efektifkan Pemantauan!


oleh : Eep Syaifulloh Fatah
Madani, 22-28 April 1999

Setiap kali datang ke satu daerah untuk berdiskusi, saya selalu bertemu dengan peserta diskusi yang mengaku berasal dari lembaga pemantau pemilu. Nama lembaga yang disebut bukan saja KIPP, Forum Rektor, atau Unfrel - lembaga-lembaga pemantau pemilu yang paling beken - namun juga nama-nama baru yang asing bagi saya.

Every time I am invited to be speaker in a seminar in a certain place, I always meet discussion participants who come from election observation organization. The names of the organization were not only KIPP, Forum Rektor or Unfrel – famous and familiar names related on election monitoring organization – but new names for me.

Rupanya, sangat banyak lembaga pemantau pemilu yang berdiri di mana-mana dan sebagian besar di antaranya berskala lokal, memfokuskan diri pada kegiatan pemantauan di tingkat lokal. Saya menduga jumlah lembaga pemantau yang berdiri menjelang Pemilu 1999 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah partai politik peserta pemilu, atau setidak-tidaknya hampir sama banyak.





Seems, there were so many election monitoring organization grew everywhere and most of them were local, focused on local level observation. I assumed that the election monitoring organization were more than political parties who run for elections or at least almost the same. (Note: political parties who contested in election 1999 were 48.)

Maraknya lembaga pemantau pemilu itu merupakan sebuah gejala positif yang amat menggembirakan, baik lantaran alasan pengalaman negara lain maupun karena pertimbangan keharusan normatif demokrasi.


The growing number of election monitoring organization was a positive sign because of experience of other countries and because it is a normative rule of democracy. 

Dalam pengalaman banyak negara, kegiatan pemantauan telah menjadi salah satu pendorong peningkatan kualitas pemilu. Setidaknya itulah yang digambarkan dengan gamblang oleh buku Membuat Setiap Suara Punya Arti: Pemantauan Pemilihan Umum di Asia yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM (1997).


According to other countries experience, election observation is one tool to enhance the quality of election. This was the summary from the book Membuat Setiap Suara Punya Arti: Pemantauan Pemilihan Umum di Asia yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM (1997). Note : The book was translation from ‘Making Every Vote Count: Domestic Election Monitoring in Asia, NDI and NAMFREL (1996).

Pemantauan pemilu telah menjadikan pemilu di Bangladesh (1991), Filipina (1993), Korea Selatan (1993), dan Sri Lanka (1994) mengalami peningkatan kualitas yang bermakna, sekalipun cacat politik masih terjadi di sana-sini. Tentu saja orang masih ingat bahwa di balik penjungkiran Marcos di Filipina (1986) ada sumbangan yang sangat besar dari Namfrel, sebuah lembaga pemantau pemilu independen.


Election observation made the elections in Bangladesh (1991), The Philippines (1993), South Korea (1993), and Sri Lanka (1994) improved its quality, though the elections flawed everywhere. Of course, ever body still remembered, NAMFREL as an independent election monitoring organization, was behind the lost of Marcos.


Secara normatif, pemantauan pemilu bukan saja sesuatu yang penting melainkan harus. Pemilu yang demokratis sangat tidak mungkin bisa berjalan di satu negara yang masih tertatih-tatih mempelajari demokrasi tanpa adanya pemantauan atas seluruh prosesi pemilu. Boleh jadi hanya negara-negara yang sudah mapan tingkat demokrasinya saja - seperti Finlandia yang Pemilu Parlemennya (21 Maret 1999) sempat saya lihat langsung - yang tidak membutuhkan institusi dan kegiatan pemantau pemilu.

As normative principle, election observation is not only important but a must. It is not possible to have a democratic election without election observation in a learning-democratic country like Indonesia. In an established democratic country like Finland, I myself attended its Parliamentary Election on 21st March 1999, they need neither any election observation institution nor the activities.    

Bahkan menurut Guy S. Goodwin-Gill dalam Free and Fair Election: International Law and Practices(1994) - sekarang (1999) sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PIRAC dan The Asia Foundation -  pada hakikatnya semua negara tanpa kecuali harus menjamin transparansi seluruh proses pemilu melalui antara lain pemantau pemilu.

Guy S. Goodwin-Gill in Free and Fair Election: International Law and Practices(1994) – translated into Indonesian language by PIRAC and The Asia Foundation mentioned, every country should guarantee the transparency of the whole election process, one of them through election observers. 

Atas pertimbangan pengalaman empirik dan keharusan normatif itulah kehadiran dan kiprah lembaga-lembaga pemantau dalam Pemilu 1999 layak disambut gembira. Apalagi, inilah untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Indonesia merdeka, pemantauan pemilu menjadi bagian dari prosesi pemilu.

Based on empirical experience and the normative principle, the existence of election monitoring organizations in election 1999 should be appreciated and welcomed. This is the first time in Indonesia history that election observation is part of election process. 

Sebetulnya pada Pemilu 1997 juga sudah ada kegiatan pemantauan oleh KIPP, namun skala pemantauannya sangat terbatas dan kegiatannya sendiri ditolak sebagai bagian yang resmi dan sah dari Pemilu 1997. Bahkan waktu itu Orde Baru dengan terburu-buru mengeluarkan UU Statistik yang seolah-olah tidak berkait langsung dengan kegiatan pemilu namun memiliki substansi pengekangan atas "perhitungan kaki lima" - yakni pendataan alternatif dan independen yang tidak dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah - atas banyak hal yang bersifat resmi. Dan pemilu tentu saja dengan mudah masuk ke dalam kategori terakhir ini.

Actually in 1997, KIPP already did election observation, though the scope of observation was very limited and this activity was denied as part of election 1997. Even the New Order Regime launched Law on Statistics. This Law seems has no direct link with election activity, but its spirit to restraint a kind of “street survey” – alternative and independent way of data collecting.      

Saat ini, di tengah proses Pemilu 1999 yang sudah berjalan semenjak tahun lalu, kendala bagi pemantauan pemilu tidak lagi datang dari level perundang-undangan. UU No 3/1999 tentang Pemilu telah mengakomodasi lembaga dan kegiatan pemantauan sebagai bagian yang sah dari Pemilu 1999. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa kegiatan pemantauan akan berjalan secara efektif dalam Pemilu 1999. Saya memiliki beberapa argumen di balik pernyataan yang kelihatannya pesimistik ini.

For election 1999, there are no more obstacles for election observation. The Law 3/1999 on Election mentions that election observation and its institution are parts of election. However, there is no guarantee that the observation will work effectively in election 1999. I have some arguments for that.

Pertama, wilayah pemilihan yang luas dan jumlah pemilih yang sangat besar akan membuat kegiatan pemantauan pemilu sulit menjangkau seluruh wilayah. Eefektivitas pemantauan pemilu akan terkendala secara geografis. Makin ke pelosok kegiatan pemantauan yang efektif semakin sulit dilakukan; padahal kantong-kantong pelanggaran yang paling besar bukanlah di perkotaan melainkan di pelosok-pelosok desa.

First, it is difficult to observe the whole Indonesia due to geographic, because of broad and wide constituencies and big number of voters. The more remote an area, the more difficult the observation. And the most frauds happened in remote areas like villages than in cities or suburb.   

Kedua, lembaga-lembaga pemantau pemilu melakukan aktivitasnya secara sangat terlambat. Ini tentu bukan semata kekeliruan mereka mengingat keterlambatan itu banyak dilatari sangat terlambatnya kucuran bantuan dana untuk mereka. Keterlambatan ini berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas pemantauan. Ketika prosesi Pemilu 1999 sudah masuk ke tahap pendaftaran pemilih, lembaga-lembaga pemantau baru saja memulai pelatihan-pelatihan tingkat elementer untuk para relawannya.


Second, most of the election observation organizations were late to conduct their activities. It was not their own mistakes, but it was caused by the late of funds they got. And it related significantly into the effectively observation. While election process passed some steps, the organizations just started to train their volunteers.

Bahkan ketika pendaftaran calon anggota parlemen sudah usai nanti pada awal Mei, mereka masih tetap sibuk oleh pelatihan dan konsolidasi yang sangat awal. Boleh jadi baru pada pertengahan masa kampanye, lembaga-lembaga pemantau akan siap melakukan aktivitas pemantauan secara efektif. Dan pada tahap pemungutan suara mereka baru benar-benar siap.


E.g. the registration of parliamentary candidates would be already finished in the beginning of May, the organizations were still be busy with trainings and consolidation. It was possible that they would be ready to conduct their observation activities just in the middle of campaign period and on election day. 

Ketiga, efektivitas pemantauan juga potensial terkendala oleh banyaknya lembaga pemantau yang melakukan kegiatan pemantauan namun dengan koordinasi yang minim. Sebagian besar dari lembaga-lembaga pemantau itu tidak memperoleh kucuran dana yang cukup -- bahkan beberapa di antaranya tidak memperoleh sama sekali -- yang memungkinkan mereka melakukan kegiatan sejalan dengan standar pemantauan yang lazim digunakan secara internasional.


Third, some of the organizations had minimum coordination. Most of them were lack of funds, some of them didn’t have fund at all to conduct proper observation according to international standards.  


Pada saat yang sama komunikasi antarlembaga pemantau sangat sulit dilakukan dengan menjangkau seluruh lembaga pemantau yang ada. Selain itu, ada juga lembaga-lembaga pemantau yang berindikasi tidak bersedia melalui prosedur pendaftaran atau akreditasi ke KPU. Maka makin banyaklah kemungkinan ketidaksinkronan koordinasi atau setidaknya komunikasi lintaslembaga pemantau. Ini bisa mengurangi kredibilitas hasil dan efektivitas pemantauan.

At the same time, some of those organizations do not want to register themselves to have accreditation to the KPU (Election Commission Office). There is not synchronized coordination or at least not enough communication among election observation organizations. It can lessen the credibility of election observation result and effectiveness.  

Keempat, kegiatan dan lembaga pemantauan masih mungkin terkekang oleh aturan operasional yang telah dibuat KPU (Keputusan No 12/1999 tentang Lembaga Pemantau Pemilihan Umum dan Tata Cara Pemantauan Pemilihan Umum - untuk mudahnya saya sebut K-12). Keputusan ini mengidap sejumlah persoalan serius yang bisa mengganggu efektivitas pemantauan Pemilu 1999.


Fourth, the election observation organizations and its activity still face barriers of KPU regulation, Regulation Nr. 12/1999 on election observation organizations and Code of Conduct of Election Observers. Here I will short the regulation as K-12. This regulation has some serious problems that restrain the election observation.     

Ketika mengatur tentang hak lembaga pemantau (Pasal 3), K-12 tidak mencantumkan sebuah hak yang sangat fundamental: mempublikasikan hasil-hasil pemantauan secara independen dan bertanggungjawab. Sebaliknya, menurut aturan tentang kewajiban, pemantau harus melaporkan hasil pemantauannya ke KPU -- melalui berbagai tingkat kepanitiaan pemilu -- sebelum pengumuman hasil perolehan suara (Pasal 4 ayat 4).


K-12 does not mention a basic fundamental right of election observation organization (Article 3) : to publish the observation results independently with responsibility. In the opposite, the organizations should report its observation into KPU before the tallying result announced (Article 4 (4)).

K-12 juga mengatur adanya hak memperoleh pelindungan dari pemerintah bagi pemantau pemilu (Pasal 3 ayat 3) namun menegaskan bahwa setiap musibah -- tanpa penjelasan apa pun tentang apa yang dimaksud musibah ini -- menjadi tanggung jawab pemantau sendiri (Pasal 7 ayat 2).


K-12 mentioned that observers have rights to have protection from the government (Article 3 (3)), however, any accident, no further explanation for the type of accident, should be observers’ own risks. (Article 7 (2).

Selain itu, K-12 menyebutkan beberapa istilah - jangan lupa ketika ia dipakai dalam sebuah Keputusan maka istilah sudah memiliki konsekuensi politik dan hukum - yang "berbahaya" karena tidak diklarifikasi. Beberapa di antaranya dalam larangan (Pasal 5) untuk melakukan "provokasi" (ayat 1), dan "mengganggu" (ayat 2 dan 5) jalannya pemilu. Munculnya larangan "mengganggu" sampai dua kali bahkan mengesankan bahwa K-12 dibuat dengan asumsi pemantau pemilu adalah "pengganggu potensial" -- sebagaimana dulu Orde Baru mendefinisikannya.


K-12 is a product of law, it means this regulation has punishment impacts. Some article mention some terms that their meaning can be “dangerous” because they are no further clearly clarified. Some of them are “the observers are prohibited (article 5) “to provoke” (art. 5 (1)), and “to disturb” the election process, even it is mentioned two times. It seems that K-12 assumed that election observers are ‘potential intruders’, as similar as the assumption of The New Order Regime.

Dengan mencermati K-12 beserta lampirannya saya juga menangkap kesan bahwa pertanggungjawaban pemantau lebih banyak dibebankan secara individual ke para "pemohon kegiatan pemantauan", bukan ke lembaga secara individual, yakni dengan mengetahui hak-haknya secara persis lalu melakukan perlawanan ketika haknya dilanggar.

When I observed K-12 with its attachment, I got impression that the observers have more responsibility than its organization. It means, that any observer should know his or her rights precisely and then to fight, once his or her rights are violated.   

Inilah benteng terakhir pemantauan pemilu yang boleh jadi justru lebih efektif mendorong Pemilu 1999 menjadi lebih jurdil dan demokratis. Maka inilah salah satu kampanye yang sangat perlu kita suarakan secara keras dan terus menerus: Mari Efektifkan Pemantauan!

This is the strongest reason to campaign and conduct election observation in making election 1999 be free and democratic. Let’s observe election!!! 
   
Source:
http://eep.saefulloh.fatah.tripod.com/id145.htm
Mas Eep Saefulloh Fatah adalah dosen, penulis, akademisi dan penulis. 

Thursday, December 27, 2012

Persyaratan Menjadi Pemantau Pemilu


Proses pemilu yang transparan merupakan standar internasional yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis. Pemantauan pemilu berguna untuk mencegah kecurangan dalam pemilu, khususnya pada saat pemungutan suara. KIPP Indonesia hadir dalam suasana represif, di mana pemantauan pemilu merupakan hal yang dilarang.

Kotak suara dalam keadaan terkunci di kantor kelurahan. The locked ballot paper in Sub District Office in West Jakarta, 2012. 

Kini, kehadiran para pemantau pemilu dari dalam maupun luar negeri di negara-negara yang demokrasinya sedang berkembang, termasuk Indonesia, justru menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap proses pemilu yang dipantau.

Undang-undang pemilu Indonesia sudah mengatur keberadaan para pemantau, dan Peraturan KPU mengatur detil dan teknis keberadaan pemantau pemilu.

Pemantau Pemilu meliputi :
a.  Lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri;
b.  Pemantau Pemilu berbadan hukum dalam negeri;
c.  Lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;
d.  Lembaga pemilihan luar negeri; dan
e.  Pemantau Pemilu dari perwakilan negara lain.

Selain pemantau Pemilu dari lembaga, pemantau Pemilu dapat berasal dari perseorangan dalam negeri yang tidak berkedudukan sebagai pengurus dan/atau anggota partai politik, serta perseorangan dari luar negeri.

Pemantau Pemilu wajib memenuhi syarat :
a.  bersifat independen;
b.  mempunyai sumber dana yang jelas, dan
c.  terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.

Pemantau Pemilu luar negeri baik lembaga mapun perseorangan selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib memenuhi persyaratan khusus:
a.  mempunyai kompetensi dan pengalaman dalam bidang pemantauan pemilu di negara lain yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau yang bersangkutan, atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;
b.  memperoleh visa untuk menjadi Pemantau Pemilu dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri;
c.  memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemantau Pemilu dapat melaksanakan pemantauan setelah memperoleh akreditasi dari KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. 

Campaign media in Austria

Entah kemanapun saya pergi, sepertinya saya selalu dibayangi oleh pemilu. Bulan Oktober - November lalu saya mendapat beasiswa dari pemerintah Austria untuk mengikuti Electoral Assistance Training di Stadtschlaining, sebuah desa mungil yang cantik di provinsi Burgenland. Hari Sabtu merupakan Day Off Training, karena hari Minggu semua toko di Austria tutup. Jadi hari Sabtu kami libur, sedangkan hari Minggu kami justru masuk.

Sabtu pertama, kami ke Oberwart, kota kecil terdekat dari desa Stadtschlaining. Sepuluh menit naik mobil (taxi), tapi 3 jam berjalan kaki, karena kami berhenti di banyak tempat untuk berfoto-foto mengambil pemandangan Austria yang cantik.

Bahkan, saya mewawancara seorang wanita tua yang sedang menyapu jalan raya di halaman rumahnya. Saya bisa bahasa Jerman, tetapi ibu ini bicara dalam dialek setempat, jadi saya cuma paham separuhnya. 

Di desa St. Martin, ini adalah media kampanye salah satu kandidat yang kebetulan adalah incumbent  di daerah Oberwart dan sekitarnya. I was in village St. Martin, here was the media campaign of one candidate, who was the incumbent of Oberwart major. 

I am a real election watchdog. I smell election everywhere, even when we decided "just" to walk from Stadtschlaining to Oberwart, the closest small city from the small village but city Stadtschlaining. 10 minutes by car, but almost 3 hours by walk (we stopped everywhere to capture amazing landscape). 

I was in Stadtschlaining, Province Burgenland, Austria to attend Electoral Assistance Training. I was awarded scholarship from Austrian Government for this 4 week training. Saturday was our Day off training, because on Sunday all the shops are closed in Vienna. So, we can buy something for home. The first Saturday, we went to Oberwart just by walk, like Austrian like to do, "zu wandern" means "to hike". So lovely.

Even I interviewed a local woman, in German of course, though she spoke local dialect and I understood only the half. She spoke "jo jo" instead of "ja, ja".   

One campaign media in Graz. It was sooo big. 

Jalan-jalan ke Graz, kota terbesar kedua di Austria ketika Day Off Training ketiga, ternyata minggu depannya akan ada Bezirksratswahl (pemilu parlemen untuk Bezirk Steiermark). Media kampanyenya ukurannya bisa besar, bisa juga kecil, tapi ada ukurannya (sayang gak bawa meteran :D , jadi gak bisa ngukur persisnya) dan tertata rapi sehingga tidak merusak pemandangan kota. Tidak ada stiker. 

When I visited Graz, the second biggest city in Austria, on Saturday which was our day Off Training, the next week will be held local election for District Steiermark. There were two kinds of banner campaigns: big and small size. The placement of media campaign was well planned. No sticker.


Burned campaign media. Woowwww, it is in Austria!!!
Orang Austria ternyata hobi juga merusak media kampanye, ha ha ha. Dan ketika saya kasih tau kepada peserta training yang orang Austria bahwa kalau di Indonesia, pendukung partai dan kandidat yang tidak puas bisa jadi akan membakar gedung KPU, jadi mungkin beberapa tahun lagi akan kejadian juga seperti ini di Austria.

A destroyed campaign media in Graz..... There are always some uncivilized action, even in Austria......

Untuk pemilu Austria, khususnya Graz, saya akan menulis pada postingan berikutnya. I will write something about Election in Austria, especially in Graz, later.

Wednesday, December 26, 2012

Election Observers in Legal Framework


To ensure transparency and to increase credibility, the legal framework should   provide that election observers can observe all stages of election processes.

A transparent election process is an international standard necessary to ensure democratic elections. The presence of domestic and international election observers in the evolving democracies tends to bring credibility and legitimacy to the election process being observed and serves to deter overt acts of electoral fraud, especially during the polling. However, certain mature democracies, where there is public trust in the impartiality and neutrality of the election administration, such observation of elections may not be provided.

I was in the front of one polling station in Songkhla Province, southern Thailand.  Thailand Parliamentary Election, 3rd July 2011.

Many legal frameworks provide for the presence of observers, both domestic and foreign, in addition to representatives of the media, political parties and candidates, to ensure transparency. Essentially, election observation means the purposeful gathering of information regarding an electoral process, and making informed judgements on the conduct of such process on the basis of information collected, by persons who are not inherently authorized to intervene in the process and whose involvement in mediation or technical assistance activities should not jeopardize their main observation responsibilities.

Domestic election observers
There is now an increasing trend to permit domestic election observation. Election observers from civil society groups (such as various church groups, women's and youth organizations, and NGOs) can play an important role, and should have the right to be accredited to observe. All facilities should be afforded to these domestic observers to carry out their assigned duties. Any laws regulating NGOs and public associations should be reviewed to ensure that they do not unreasonably obstruct acquisition of the necessary legal status and accreditation as domestic election observers. The legal framework should provide clear and objective criteria for registration and accreditation as an observer and be clear as to the authority accrediting observers, the requirements for obtaining observer status and the circumstances in which observer status can be revoked.

The law should provide clear and precise provisions establishing the rights of observers to inspect documents, attend meetings, observe election activities at all levels and at all times, including counting and tabulation, and to obtain relevant certified copies of documents at all levels. The law should also establish an expedited process for observers to obtain corrective relief when an election management body refuses to accredit an observer or observer group.

The legal framework must also be clear and precise concerning what a domestic observer may not do, for instance, interfere with voting, take a direct part in the voting or counting processes, or attempt to determine how a voter will vote or has voted. It should strike a balance between the rights of observers and the orderly administration of the election processes. But in no case should it hinder legitimate observation, "muzzle" observers, or prevent them from reporting or releasing information that has been obtained through their observations.

International election observers
International election observation is neither a right, nor as yet an recognized international standard. State sovereignty still requires that there should be a formal invitation to foreign election observers, and there may be more stringent requirements for accreditation of international as opposed to domestic election observers. However, regional and similar international agreements may require countries to open their elections to international observers (for example, in the Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) countries); if this is the case the law must make appropriate provisions for observers. The law should also state when and by whom such election observers are to be invited.

International election observation may sometimes occur as part of a broader human rights observation process regarding minority rights or the rights of oppressed groups, without a formal invitation or accreditation.

Source: 
International Electoral Standards: Guidelines for reviewing the legal framework of elections