Website counter

Wednesday, January 2, 2013

Perempuan di Parlemen? Ya... tapi ....


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif.

1.  Konteks budaya Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkal. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki dan bahwa tidak pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Kebanyakan anggota DPR, DPRD ternyata mempunyai hubungan kekeluargaan dengan anggota DPR dan DPRD yang laki-laki. Jadi alasan masuknya mereka ke dalam parlemen adalah karena hubungan kekeluargaan, belum karena kemampuan mereka sendiri.   

2.  Proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara termasuk Indonesia, kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari parpol mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap parpol khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari parpol, karena struktur kepemimpinan didominasi oleh kaum laki-laki. Paksaan UU Pemilu terutama UU no. 8/2012 mengenai bahwa 30% pengurus partai mulai nasional hingga kecamatan, memaksa para pengurus partai untuk memberikan posisi kepengurusan kepada perempuan. Saya sendiri beberapa kali ditawari menjadi pengurus partai, bukan karena kemampuan saya selama ini dalam kepemiluan atau organisasi, tetapi karena saya perempuan, dan mereka butuh untuk mengisi posisi yang harus diisi. 

I was one of contributors for this important Declaration of Asian people. The Declaration is now known as Bangkok Declaration and launched on 11th December 2012 in Bangkok. 


3.  Tidak adanya jaringan antara ormas, LSM dan parpol yang memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan ormas wanita di Indonesia baru mulai memainkan peran penting sejak tahun 1999. Ini baru mulai disadari ketika beberapa aktivis perempuan mulai memasuki DPR, posisi tawar mereka lemah, dengan membangun jaringan, maka posisi tawar mereka menjadi lebih kuat. 

4.  Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan wanita.  Sering dirasakan bahwa sungguh sulit merekrut perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik yang memadai cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran non partisan. Perempuan Indonesia tidak dibiasakan untuk tampil menonjol, bahkan cenderung menutupi pengetahuannya. Cara mudah misalnya jika anda bertanya mengenai lokasi suatu jalan, perempuan cenderung tidak menjawab, dan misalnya pun tahu akan menolak menjawabnya.

5.  Faktor keluarga. Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan tertentu khususnya izin dari pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pangdangan mereka dan aktifitas tambahan mereka di luar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi dan mpenyediaan waktu dan uang yang besar. Dan banyak perempuan sering memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara financial. Pengecualian terjadi ketika perempuan mendapat jabatan yang dianggap menguntungkan secara financial, seperti terpilih sebagai anggota legislatif.

6.  System multi partai. Besarnya jumlah parpol yang ikut bersaing di pemilihan untuk memenangkan kursi parlemen mempengaruhi tingkat representasi wanita. Karena setiap partai bisa berharap untuk memperoleh sejumlah kursi di parlemen. Ada kecenderungan untuk membagi jumlah kursi yang terbatas itu di antara laki-laki. Hal ini mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkat representasi perempuan. Untuk pemilu 2014, para aktivis pejuang keterwakilan perempuan Indonesia mengusulkan sistem zipper, artinya 3 dari kandidat yang diusulkan 1 adalah kandidat perempuan dan susunannya ada di posisi ke 3. Sehingga kemungkinan terpilih menjadi lebih tinggi. Kita lihat saja prakteknya. 

7.  Kurangnya berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Aktivis keterwakilan perempuan dan kandidat perempuan harus mulai dari sekarang mempromosikan diri dan keterampilannya.

No comments:

Post a Comment