oleh : Eep
Syaifulloh Fatah
Madani, 22-28 April 1999
Setiap kali datang ke satu
daerah untuk berdiskusi, saya selalu bertemu dengan peserta diskusi yang
mengaku berasal dari lembaga pemantau pemilu. Nama lembaga yang disebut bukan
saja KIPP, Forum Rektor, atau Unfrel - lembaga-lembaga pemantau pemilu yang
paling beken - namun juga nama-nama baru yang asing bagi saya.
Every time I am invited to be speaker in a seminar in a certain place, I always meet
discussion participants who come from election observation organization. The
names of the organization were not only KIPP, Forum Rektor or Unfrel – famous and familiar names related on election monitoring organization – but new names for me.
Rupanya, sangat banyak lembaga
pemantau pemilu yang berdiri di mana-mana dan sebagian besar di antaranya
berskala lokal, memfokuskan diri pada kegiatan pemantauan di tingkat lokal.
Saya menduga jumlah lembaga pemantau yang berdiri menjelang Pemilu 1999 lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah partai politik peserta pemilu, atau setidak-tidaknya
hampir sama banyak.
Seems, there were so many election monitoring organization grew
everywhere and most of them were local, focused on local level observation. I
assumed that the election monitoring organization were more than political parties who run for elections or at least almost the same. (Note: political parties who contested in election 1999 were 48.)
Maraknya lembaga pemantau
pemilu itu merupakan sebuah gejala positif yang amat menggembirakan, baik
lantaran alasan pengalaman negara lain maupun karena pertimbangan keharusan
normatif demokrasi.
The growing number of election monitoring organization was a
positive sign because of experience of other countries and because it is a
normative rule of democracy.
Dalam pengalaman banyak negara,
kegiatan pemantauan telah menjadi salah satu pendorong peningkatan kualitas
pemilu. Setidaknya itulah yang digambarkan dengan gamblang oleh buku Membuat
Setiap Suara Punya Arti: Pemantauan Pemilihan Umum di Asia yang
diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM (1997).
According to other countries experience, election observation is
one tool to enhance the quality of election. This was the summary from the book
Membuat Setiap Suara Punya Arti:
Pemantauan Pemilihan Umum di Asia yang diterbitkan oleh Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM (1997). Note : The
book was translation from ‘Making Every Vote Count: Domestic Election
Monitoring in Asia, NDI and NAMFREL (1996).
Pemantauan pemilu telah
menjadikan pemilu di Bangladesh (1991), Filipina (1993), Korea Selatan (1993),
dan Sri Lanka (1994) mengalami peningkatan kualitas yang bermakna, sekalipun
cacat politik masih terjadi di sana-sini. Tentu saja orang masih ingat bahwa di
balik penjungkiran Marcos di Filipina (1986) ada sumbangan yang sangat besar
dari Namfrel, sebuah lembaga pemantau pemilu independen.
Election
observation made the elections in Bangladesh (1991),
The Philippines (1993), South Korea (1993), and Sri Lanka (1994) improved its
quality, though the elections flawed everywhere. Of course, ever body still
remembered, NAMFREL as an independent election monitoring organization, was
behind the lost of Marcos.
Secara normatif, pemantauan pemilu bukan saja sesuatu yang penting melainkan harus. Pemilu yang demokratis sangat tidak mungkin bisa berjalan di satu negara yang masih tertatih-tatih mempelajari demokrasi tanpa adanya pemantauan atas seluruh prosesi pemilu. Boleh jadi hanya negara-negara yang sudah mapan tingkat demokrasinya saja - seperti Finlandia yang Pemilu Parlemennya (21 Maret 1999) sempat saya lihat langsung - yang tidak membutuhkan institusi dan kegiatan pemantau pemilu.
As normative principle, election observation is not only important
but a must. It is not possible to have a democratic election without election
observation in a learning-democratic country like Indonesia. In an established
democratic country like Finland, I myself attended its Parliamentary Election
on 21st March 1999, they need neither any election observation
institution nor the activities.
Bahkan menurut Guy S. Goodwin-Gill dalam Free and Fair Election: International Law and Practices(1994) - sekarang (1999) sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PIRAC dan The Asia Foundation - pada hakikatnya semua negara tanpa kecuali harus menjamin transparansi seluruh proses pemilu melalui antara lain pemantau pemilu.
Bahkan menurut Guy S. Goodwin-Gill dalam Free and Fair Election: International Law and Practices(1994) - sekarang (1999) sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PIRAC dan The Asia Foundation - pada hakikatnya semua negara tanpa kecuali harus menjamin transparansi seluruh proses pemilu melalui antara lain pemantau pemilu.
Guy S. Goodwin-Gill in Free
and Fair Election: International Law and Practices(1994) – translated
into Indonesian language by PIRAC and The Asia Foundation mentioned, every
country should guarantee the transparency of the whole election process, one of
them through election observers.
Atas pertimbangan pengalaman empirik dan keharusan normatif itulah kehadiran dan kiprah lembaga-lembaga pemantau dalam Pemilu 1999 layak disambut gembira. Apalagi, inilah untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Indonesia merdeka, pemantauan pemilu menjadi bagian dari prosesi pemilu.
Atas pertimbangan pengalaman empirik dan keharusan normatif itulah kehadiran dan kiprah lembaga-lembaga pemantau dalam Pemilu 1999 layak disambut gembira. Apalagi, inilah untuk pertama kalinya sepanjang sejarah Indonesia merdeka, pemantauan pemilu menjadi bagian dari prosesi pemilu.
Based on empirical experience and the normative principle, the
existence of election monitoring organizations in election 1999 should be
appreciated and welcomed. This is the first time in Indonesia history that
election observation is part of election process.
Sebetulnya pada Pemilu 1997 juga sudah ada kegiatan pemantauan oleh KIPP, namun skala pemantauannya sangat terbatas dan kegiatannya sendiri ditolak sebagai bagian yang resmi dan sah dari Pemilu 1997. Bahkan waktu itu Orde Baru dengan terburu-buru mengeluarkan UU Statistik yang seolah-olah tidak berkait langsung dengan kegiatan pemilu namun memiliki substansi pengekangan atas "perhitungan kaki lima" - yakni pendataan alternatif dan independen yang tidak dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah - atas banyak hal yang bersifat resmi. Dan pemilu tentu saja dengan mudah masuk ke dalam kategori terakhir ini.
Sebetulnya pada Pemilu 1997 juga sudah ada kegiatan pemantauan oleh KIPP, namun skala pemantauannya sangat terbatas dan kegiatannya sendiri ditolak sebagai bagian yang resmi dan sah dari Pemilu 1997. Bahkan waktu itu Orde Baru dengan terburu-buru mengeluarkan UU Statistik yang seolah-olah tidak berkait langsung dengan kegiatan pemilu namun memiliki substansi pengekangan atas "perhitungan kaki lima" - yakni pendataan alternatif dan independen yang tidak dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah - atas banyak hal yang bersifat resmi. Dan pemilu tentu saja dengan mudah masuk ke dalam kategori terakhir ini.
Actually in 1997, KIPP already did election observation, though
the scope of observation was very limited and this activity was denied as part
of election 1997. Even the New Order Regime launched Law on Statistics. This
Law seems has no direct link with election activity, but its spirit to
restraint a kind of “street survey” – alternative and independent way of data
collecting.
Saat ini, di tengah proses Pemilu 1999 yang sudah berjalan semenjak tahun lalu, kendala bagi pemantauan pemilu tidak lagi datang dari level perundang-undangan. UU No 3/1999 tentang Pemilu telah mengakomodasi lembaga dan kegiatan pemantauan sebagai bagian yang sah dari Pemilu 1999. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa kegiatan pemantauan akan berjalan secara efektif dalam Pemilu 1999. Saya memiliki beberapa argumen di balik pernyataan yang kelihatannya pesimistik ini.
Saat ini, di tengah proses Pemilu 1999 yang sudah berjalan semenjak tahun lalu, kendala bagi pemantauan pemilu tidak lagi datang dari level perundang-undangan. UU No 3/1999 tentang Pemilu telah mengakomodasi lembaga dan kegiatan pemantauan sebagai bagian yang sah dari Pemilu 1999. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa kegiatan pemantauan akan berjalan secara efektif dalam Pemilu 1999. Saya memiliki beberapa argumen di balik pernyataan yang kelihatannya pesimistik ini.
For election 1999, there are no more obstacles for election observation. The Law 3/1999 on Election mentions that election observation and its institution are parts of election. However, there is no guarantee that the observation will work effectively in election 1999. I have some arguments for that.
Pertama, wilayah pemilihan yang luas dan jumlah pemilih yang sangat besar akan membuat kegiatan pemantauan pemilu sulit menjangkau seluruh wilayah. Eefektivitas pemantauan pemilu akan terkendala secara geografis. Makin ke pelosok kegiatan pemantauan yang efektif semakin sulit dilakukan; padahal kantong-kantong pelanggaran yang paling besar bukanlah di perkotaan melainkan di pelosok-pelosok desa.
First, it is difficult to observe the whole Indonesia due to geographic, because of broad and wide constituencies and big number of voters. The more remote an area, the more difficult the observation. And the most frauds happened in remote areas like villages than in cities or suburb.
Pertama, wilayah pemilihan yang luas dan jumlah pemilih yang sangat besar akan membuat kegiatan pemantauan pemilu sulit menjangkau seluruh wilayah. Eefektivitas pemantauan pemilu akan terkendala secara geografis. Makin ke pelosok kegiatan pemantauan yang efektif semakin sulit dilakukan; padahal kantong-kantong pelanggaran yang paling besar bukanlah di perkotaan melainkan di pelosok-pelosok desa.
First, it is difficult to observe the whole Indonesia due to geographic, because of broad and wide constituencies and big number of voters. The more remote an area, the more difficult the observation. And the most frauds happened in remote areas like villages than in cities or suburb.
Kedua, lembaga-lembaga pemantau pemilu melakukan aktivitasnya secara
sangat terlambat. Ini tentu bukan semata kekeliruan mereka mengingat
keterlambatan itu banyak dilatari sangat terlambatnya kucuran bantuan dana
untuk mereka. Keterlambatan ini berpengaruh secara signifikan terhadap
efektivitas pemantauan. Ketika prosesi Pemilu 1999 sudah masuk ke tahap
pendaftaran pemilih, lembaga-lembaga pemantau baru saja memulai
pelatihan-pelatihan tingkat elementer untuk para relawannya.
Second, most of the election observation organizations were late
to conduct their activities. It was not their own mistakes, but it was caused
by the late of funds they got. And it related significantly into the
effectively observation. While election process passed some steps, the
organizations just started to train their volunteers.
Bahkan ketika pendaftaran calon
anggota parlemen sudah usai nanti pada awal Mei, mereka masih tetap sibuk oleh
pelatihan dan konsolidasi yang sangat awal. Boleh jadi baru pada pertengahan
masa kampanye, lembaga-lembaga pemantau akan siap melakukan aktivitas
pemantauan secara efektif. Dan pada tahap pemungutan suara mereka baru benar-benar siap.
E.g. the registration of
parliamentary candidates would be already finished in the beginning of May, the
organizations were still be busy with trainings and consolidation. It was
possible that they would be ready to conduct their observation activities just
in the middle of campaign period and on election day.
Ketiga,
efektivitas pemantauan juga potensial terkendala oleh banyaknya lembaga
pemantau yang melakukan kegiatan pemantauan namun dengan koordinasi yang minim.
Sebagian besar dari lembaga-lembaga pemantau itu tidak memperoleh kucuran dana
yang cukup -- bahkan beberapa di antaranya tidak memperoleh sama sekali -- yang
memungkinkan mereka melakukan kegiatan sejalan dengan standar pemantauan yang
lazim digunakan secara internasional.
Third, some of the organizations had minimum coordination. Most of
them were lack of funds, some of them didn’t have fund at all to conduct proper
observation according to international standards.
Pada saat yang sama komunikasi antarlembaga pemantau sangat sulit dilakukan dengan menjangkau seluruh lembaga pemantau yang ada. Selain itu, ada juga lembaga-lembaga pemantau yang berindikasi tidak bersedia melalui prosedur pendaftaran atau akreditasi ke KPU. Maka makin banyaklah kemungkinan ketidaksinkronan koordinasi atau setidaknya komunikasi lintaslembaga pemantau. Ini bisa mengurangi kredibilitas hasil dan efektivitas pemantauan.
At the same time, some of those organizations do not want to register themselves to have accreditation to the KPU (Election Commission Office). There is not synchronized coordination or at least not enough communication among election observation organizations. It can lessen the credibility of election observation result and effectiveness.
Keempat, kegiatan
dan lembaga pemantauan masih mungkin terkekang oleh aturan operasional yang
telah dibuat KPU (Keputusan No 12/1999 tentang Lembaga Pemantau Pemilihan Umum
dan Tata Cara Pemantauan Pemilihan Umum - untuk mudahnya saya sebut K-12).
Keputusan ini mengidap sejumlah persoalan serius yang bisa mengganggu
efektivitas pemantauan Pemilu 1999.
Fourth, the election observation organizations and its activity
still face barriers of KPU regulation, Regulation Nr. 12/1999 on election
observation organizations and Code of Conduct of Election Observers. Here I
will short the regulation as K-12. This regulation has some serious problems
that restrain the election observation.
Ketika
mengatur tentang hak lembaga pemantau (Pasal 3), K-12 tidak mencantumkan sebuah
hak yang sangat fundamental: mempublikasikan hasil-hasil pemantauan secara
independen dan bertanggungjawab. Sebaliknya, menurut aturan tentang kewajiban,
pemantau harus melaporkan hasil pemantauannya ke KPU -- melalui berbagai
tingkat kepanitiaan pemilu -- sebelum pengumuman hasil perolehan suara (Pasal 4
ayat 4).
K-12 does not mention a basic fundamental right of election
observation organization (Article 3) : to publish the observation results
independently with responsibility. In the opposite, the organizations should
report its observation into KPU before the tallying result announced (Article 4
(4)).
K-12 juga
mengatur adanya hak memperoleh pelindungan dari pemerintah bagi pemantau pemilu
(Pasal 3 ayat 3) namun menegaskan bahwa setiap musibah -- tanpa penjelasan apa
pun tentang apa yang dimaksud musibah ini -- menjadi tanggung jawab pemantau
sendiri (Pasal 7 ayat 2).
K-12 mentioned that observers have rights to have protection from
the government (Article 3 (3)), however, any accident, no further explanation for
the type of accident, should be observers’ own risks. (Article 7 (2).
Selain
itu, K-12 menyebutkan beberapa istilah - jangan lupa ketika ia dipakai dalam
sebuah Keputusan maka istilah sudah memiliki konsekuensi politik dan hukum -
yang "berbahaya" karena tidak diklarifikasi. Beberapa di antaranya
dalam larangan (Pasal 5) untuk melakukan "provokasi" (ayat 1), dan
"mengganggu" (ayat 2 dan 5) jalannya pemilu. Munculnya larangan
"mengganggu" sampai dua kali bahkan mengesankan bahwa K-12 dibuat
dengan asumsi pemantau pemilu adalah "pengganggu potensial" --
sebagaimana dulu Orde Baru mendefinisikannya.
K-12 is a product of law, it means this regulation has
punishment impacts. Some article mention some terms that their meaning can be “dangerous”
because they are no further clearly clarified. Some of them are “the observers
are prohibited (article 5) “to provoke” (art. 5 (1)), and “to disturb” the
election process, even it is mentioned two times. It seems that K-12 assumed
that election observers are ‘potential intruders’, as similar as the assumption
of The New Order Regime.
Dengan mencermati K-12 beserta
lampirannya saya juga menangkap kesan bahwa pertanggungjawaban pemantau lebih
banyak dibebankan secara individual ke para "pemohon kegiatan
pemantauan", bukan ke lembaga secara individual, yakni dengan mengetahui
hak-haknya secara persis lalu melakukan perlawanan ketika haknya dilanggar.
When I observed K-12 with its attachment, I got impression that the observers have more responsibility than its organization. It means, that any observer should know his or her rights precisely and then to fight, once his or her rights are violated.
When I observed K-12 with its attachment, I got impression that the observers have more responsibility than its organization. It means, that any observer should know his or her rights precisely and then to fight, once his or her rights are violated.
Inilah benteng terakhir
pemantauan pemilu yang boleh jadi justru lebih efektif mendorong Pemilu 1999
menjadi lebih jurdil dan demokratis. Maka inilah salah satu kampanye yang
sangat perlu kita suarakan secara keras dan terus menerus: Mari Efektifkan
Pemantauan!
This is the strongest reason to campaign and conduct election observation in making election 1999 be free and democratic. Let’s observe election!!!
This is the strongest reason to campaign and conduct election observation in making election 1999 be free and democratic. Let’s observe election!!!
Source:
http://eep.saefulloh.fatah.tripod.com/id145.htm
Mas Eep Saefulloh Fatah adalah dosen, penulis, akademisi dan penulis.
Mas Eep Saefulloh Fatah adalah dosen, penulis, akademisi dan penulis.
No comments:
Post a Comment