Di Indonesia, Thailand, dan Afghanistan penghitungan dilakukan di TPS. Sehingga
saksi partai dan pemantau bisa menyaksikan langsung penghitungan dan mengetahui
siapa pemenang di TPS tersebut. Ini lebih “menyenangkan” hati pemilih, karena
bisa melihat hasil dari suara yang baru saja dipilih. Meski hal ini tidak
menjamin bahwa suara mereka akan diubah di tingkat yang lebih tinggi, sehingga
suara harus dikawal di setiap tingkatan penghitungan.
Yang berbeda adalah dalam penghitungan kemenangan dan pengubahan suara
atau konversi suara menjadi kursi. Di Thailand dan Myanmar, pemenang dan
pemilik kursi di parlemen dapat diketahui secepat mungkin, karena sistem pemilu
mereka adalah sistem pemilu First Past The Post atau pluralitas mayoritas. Dalam
system ini, dalam satu distrik atau satu dapil hanya akan ada satu pemenang
saja. Konsekuensinya, dapil banyak dan kecil.
Karena itulah, ketika pemilu Thailand Juli 2011 yang lalu, pemenang
pemilu dengan cepat diketahui dan PM Yingluck Sinawatra dapat dilantik pada
bulan Agustus 2011. Hanya satu bulan sejak pemilu!! Demikian juga dengan pemilu
Myanmar, hanya beberapa hari sudah diketahui siapa pemenang pemilu, di
antaranya Aung San Suu Kyi.
Di Indonesia, pemenang pemilu di TPS setempat dapat diketahui masyarakat
dengan segera. Tetapi final hasil penghitungan suara nasional lama sekali baru
bisa diketahui. Apalagi konversi perolehan suara menjadi kursi di parlemen. Bahkan pemilu 2009 dipenuhi dengan
kekacauan yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi.
Pertama, adalah harus diakui masih sulitnya transportasi dan komunikasi di
banyak wilayah di Indonesia. Kedua,
ditengarai adanya kecurangan jual beli suara. Ketiga, sistem pemilu Indonesia.
Sistem pemilu Indonesia adalah sistem perwakilan proporsional dengan
besaran dapil 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD. Artinya, setiap provinsi akan
diwakili oleh minimal 3 wakil di DPR, maksimal 10 wakil. Konsekuensinya, dalam
setiap dapil akan berkompetisi dan memunculkan beberapa wakil yang akan
mendapat kursi di DPR atau DPRD.
Kerumitan penghitungan di tingkat TPS ditambah lagi dengan sistem daftar
terbuka seperti pemilu di tahun 2009. Setiap partai menempatkan begitu banyak
kandidat di setiap dapil. Sehingga dalam penghitungan suara menyulitkan petugas
KPPS dan hingga penyelenggara pemilu
level ke atasnya.
Saya berharap, kiranya Pansus DPR memperhitungkan hal-hal seperti ini.
Sehingga pemilu tidak membebani masyarakat dan petugas penyelenggara pemilu,
serta memungkinkan terjadinya jual beli suara.
No comments:
Post a Comment