Ketika berbincang-bincang dengan seorang teman yang pengetahuan agamanya cukup dalam dan fanatik, saya agak dikejutkan dengan pernyataannya terkait pemilu.
Dia dan kelompoknya menolak untuk ikut pemilu atau menjadi golput karena jargon pemilu “satu orang, satu suara” Menurutnya, mana mungkin suara seorang kyai atau ustad disamakan atau setara dengan, mohon maaf, jablay di pinggir jalan. Padahal dalam kitab sucinya, jelas-jelas disebutkan bahwa orang bertakwa mempunyai nilai lebih dari orang yang biasa-biasa saja, apalagi orang dengan kategori jablay.
Saya cukup tercenung, betul juga pendapatnya. Apalagi saya termasuk pengusung jargon ‘satu orang, satu suara’, karena di sanalah semangat demokrasi berada yaitu semua orang sama di mata hukum dan pemerintah.
Sejak beberapa tahun ini, jargon tersebut ditambah lagi dengan ‘satu orang, satu suara, satu nilai’ atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah OPOVOV yaitu ‘one person, one vote, one value’.
Dalam sejarah pilih memilih, nilai suara dalam pemilihan apalagi pemilihan di luar konteks politik dan kenegaraan tidak selalu harus satu orang, satu suara apalagi satu nilai.
Dalam pemilihan di perusahaan, misalnya, biasanya nilai suara adalah berdasarkan saham yang dimiliki oleh setiap pihak yang memiliki hak suara di perusahaan tersebut. Jargon di perusahaan biasanya “satu saham, satu suara”.
Nilai suara juga bisa berdasarkan alasan lain, misalnya suara dari anggota yang memiliki kedudukan tinggi di sebuah organisasi atau masyarakat biasanya lebih didengar atau mempunyai bobot yang lebih daripada suara orang kebanyakan.
Tahun 1918, negara-negara berbahasa Jerman seperti Prusia dan Sachsen menggunakan sistem nilai suara yang dikenal dengan Prussian three-class franchise. Dalam sistem ini pemilih dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan besarnya pajak yang mereka bayar.
Salah satu prinsip pemilu demokratis adalah equality, yaitu kesetaraan suara. UUD ’45 menjamin kesetaraan suara sebagaimana diatur oleh pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Menurut saya, jika teman saya ini dan kelompoknya ingin suaranya bernilai lebih adalah dengan menggunakan voting power. Voting power atau kekuasaan pemilih adalah kemampuan sekelompok orang untuk mengubah hasil pemilihan. Kelompok ini mungkin harus membentuk koalisi untuk memaksimalkan kekuasaan suara, alias mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya untuk mengikuti pilihan kelompok ini.
Lho, jadi bikin partai dong ya. Yuuukk.
Artikel dimuat di : http://politik.kompasiana.com/2012/03/18/nilai-suara-dalam-pemilu/
No comments:
Post a Comment