Berdasarkan UUD 45 semua warga negara memiliki hak yang sama, maka penyandang cacat juga memiliki hak yang sama dalam mengakses pemilu. Namun, masih banyak kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan pemilu apalagi terkait dengan pelaksanaan hak penyandang cacat atau difabilitas ini dalam pemilu.
Dari berbagai diskusi yang diselenggarakan oleh AGENDA (ASEAN General Election Network for Disabilities Access) berbagai kekurangan dalam pelaksanaan dikemukakan. Sejumlah usulan diajukan untuk perbaikan. Jelas, penyelenggara pemilu Indonesia selama ini sibuk dan terus berkutat pada masalah-masalah klasik seperti DPS, DPT, kampanye, pencalonan, dukungan, money politics dan sebagainya, sehingga keberadaan lembaga seperti AGENDA merupakan hal yang penting, untuk mendorong perbaikan dan hak para penyandang difabilitas dalam bidang politik.
Saya sendiri bergabung dalam organisasi pemantau pemilu sejak 1998, jujur saja selama ini tidak “ngeh” dengan hak para penyandang difabilitas ini. Begitu banyaknya permasalahan pemilu yang harus dipantau, diawasi dan dikawal, sehingga nyaris keberadaan mereka dalam peta kepemiluan terlupakan.
Ketika tahun 2009, saya memulai karir saya sebagai pemantau pemilu internasional, sejumlah pertanyaan yang disediakan oleh lembaga pengundang membuat saya menjadi aware, bahwa penyandang difabilitas juga punya hak sebagai warga negara. Apalagi jumlah mereka makin lama makin banyak, baik karena cacat lahir, cacat karena kecelakaan lalu lintas, atau cacat karena kecelakaan kerja.
Salah satu yang menjadi concern dalam akses pemilu bagi para penyandang difabilitas adalah akses masuk ke dalam TPS. UU kepemiluan dan Peraturan KPU telah menjelaskan mengenai lokasi TPS dan peralatan logistik kepemiluan. Tetapi dalam prakteknya ditafsirkan berbeda-beda oleh KPPS.
Dalam berbagai TPS yang saya pantau di beberapa kabupaten, banyak TPS tidak “ramah” dengan para penyandang difabilitas, khususnya pemakai kursi roda. Di daerah Ciledug, saat pemilukada Gubernur Kab. Banten beberapa waktu yang lalu lokasi TPS bervariasi. Ada sejumlah TPS dibuat di depan rumah warga yang merupakan anggota atau mungkin ketua KPPS. Kalau ini masih lumayan, karena pemakai kursi roda masih bisa masuk. Tetapi yang parah, ada TPS berada di dalam taman sebuah kompleks, dan bilik suara berada di lokasi yang tinggi dan berundak-undak. Lokasi tersebut bagus untuk pengunjung yang ingin melihat taman dan kompleks perumahan dari atas, tetapi menyulitkan penyandang difabilitas, baik pemakai kursi roda, pemakai kruk atau tuna netra, untuk masuk ke dalam TPS.
Di kabupaten Cianjur, saya menemukan sebuah TPS yang tersembunyi di belakang rumah-rumah penduduk. Untuk masuk ke dalamnya harus melewati banyak rumah orang, turun naik berkelok-kelok mengikuti gang sempit dan jalan tanah. Memang, TPS itu adalah sebuah sekolah, tetapi lokasi masuknya kalau hujan akan menyulitkan orang untuk datang, apalagi penyandang cacat.
Lokasi-lokasi yang menyulitkan pemilih apalagi pemilih penyandang cacat akan dapat menyurutkan minat masyarakat untuk turut serta memberikan suara dalam pemilu. Dan ini menurunkan tingkat partisipasi masyarakat. Padahal, legitimasi sebuah pemilu dan pemilukada juga diukur dari tingginya tingkat partisipasi masyarakat.
Untuk ke depannya, masih banyak kerja-kerja yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, organisasi pemantau pemilu, organisasi penyendang cacat khususnya yang bergerak di bidang akses pemilu bagi penyandang difabilitas.
Artikel-artikel lain mengenai hal ini akan menyusul. :D
Penulis adalah anggota Divisi Hubungan Luar Negeri, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. Pemantau pemilu Internasional di beberapa negara di Asia.
Artikel ini dimuat di :
http://politik.kompasiana.com/2012/04/18/mendorong-pemilu-yang-dapat-diakses-bagi-penyandang-cacat/
Note :
Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.
Artikel ini dimuat di :
http://politik.kompasiana.com/2012/04/18/mendorong-pemilu-yang-dapat-diakses-bagi-penyandang-cacat/
Note :
Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.
No comments:
Post a Comment