Website counter

Friday, June 21, 2013

Sebuah cerita dari Thailand tentang kedekatan Caleg dan Konstituennya

Saya selalu ingin menulis cerita ini, cerita sederhana ketika memantau di Pemilu Parlemen Thailand 2011 lalu. Tetapi baru hari ini saya sempat.

Membaca dan mengamati Daftar Calon Sementara (DCS) yang diumumkan oleh KPU pada 13 Juni 2013 lalu, yang pertama diperhatikan oleh saya adalah persentase keterwakilan caleg perempuan dalam daftar tersebut. KPU betul-betul tegas menerapkan aturan tersebut, sehingga perlu menuliskannya di bawah daftar bacaleg setiap partai.

Yang kedua adalah alamat dari para bacaleg tersebut. Secara sepintas, terlihat begitu jelas bahwa banyak caleg yang tidak beralamat di dapilnya sendiri. Menurut perhitungan JPPR, 2.301 bacaleg atau 35% dari 6.550 bacaleg bertempat tinggal di Jakarta. Hal ini patut menjadi pertanyaan, bagaimana kedekatan bacaleg dengan konstituen yang akan diwakilinya di parlemen nanti. 

Di beberapa tempat dan provinsi yang saya pantau di Thailand dan tempat-tempat lainnya, saya selalu bertanya mengenai seberapa jauh konstituen mengenal caleg. 

Di provinsi Trang, saya bertanya kepada seorang ibu mengenai seorang caleg dari partai Phue Thai yang sedang berkampanye door to door. 

Saya :Apakah ibu mengenal caleg X?
Ibu A : Siapa? Oh, si Y? 

Saya heran yang ditanya X, kenapa dijawab Y. Penerjemah saya menjelaskan bahwa Y adalah nama panggilan dari Mr. X. Ini menunjukkan bahwa X cukup dikenal di dapil tersebut, terbukti si ibu ingat nama panggilannya termasuk kelakuan Mr. X semasa kecilnya. Dan ini yang membuat dia berpikir, apakah dia akan memilih Mr. X atau tidak dalam pemilu nanti. 

Catatan: 
1. Provinsi Trang merupakan basis partai Demokrat.
2. Semua orang Thailand memiliki nama panggilan yang berbeda dengan nama sebenarnya, dan sudah disiapkan oleh orang tuanya sejak lahir)

Para pengunjung pasar duduk menyaksikan kandidat yang sedang berkampanye di sebuah pasar di tengah hutan karet provinsi Satun. Kursi plastik warna biru disediakan oleh Partai Demokrat atau Prachatipat.

Di provinsi Satun, seorang caleg sedang berkampanye di sebuah pasar  desa di tengah hutan karet. Pedagang dan pembeli tetap melakukan aktivitas jual belinya. Sejumlah orang yang sudah selesai berbelanja duduk nongkrong menonton kampanye tersebut dengan keranjang belanjaannya. 

Saya : Bapak tidak duduk dekat panggung untuk mendengarkan kampanye?
Pedagang : Dari sini kedengaran juga, kok. Dan itu biasa di sini, caleg berkampanye dan kita tetap jualan.
Saya : Bapak kenal dengan caleg yang sedang berkampanye ini?
Pedagang : Ya, kenal dong. Dia kan yang mewakili kami di parlemen. Dan dia sering berkunjung ke daerah ini sebelum masa kampanye. 

Wow, padahal daerah tersebut jauh dari jalan raya, 10 km dari jalan utama, dan 20 km dari hotel saya. 

Saya tidak yakin apakah caleg di Indonesia juga melakukan hal yang sama, melakukan pendekatan kepada pemilih sejak jauh hari sebelum masa pemilihan dan masa kampanye. Bahkan untuk pemilukada saja, banyak pemilih yang masih bingung untuk memilih siapa yang akan menjadi pilihannya, padahal kandidatnya hanya beberapa pasangan saja. Misalnya dalam pemilukada bupati Sukabumi. Karena kandidat merupakan kandidat cabutan yang baru muncul. 

Maka tak heran jika muncul pameo negatif, "siapa yang membina konstituen, siapa yang menjaring suaranya". Maksudnya, banyak para caleg yang sudah bertahun-tahun menjaga pemilihnya, tetapi para pemilihnya kemudian memberikan suara kepada caleg lain baik dari partainya sendiri atau partai lain, hanya karena guyuran uang sesaat namun dalam jumlah yang besar (bagi para pemilih). Mungkin ini yang menyebabkan banyak caleg yang enggan untuk membina konstituen. Partai sendiri tidak mendukung upaya pembinaan konstituen yang dilakukan oleh para caleg dan anggota legislatif. Para Caleg dan Aleg harus membina konstituen dengan biaya sendiri dengan resiko yang harus ditanggung sendiri. Sedangkan pemilih kemudian bersikap pragmatis dan oportunis, siapa yang butuh, siapa yang berani membayar suara mereka itulah yang akan mereka pilih.   

Argumen tentu saja ada mengingat beda sistem pemilu antara Indonesia dan Thailand. Tetapi yang saya soroti adalah kebanyakan caleg di Thailand berasal dari dapil tersebut, sehingga ada ikatan emosional antara caleg dan konstituennya.

Besaran dapil dan sistem pemilu Thailand berbeda dengan Indonesia. Sistem pemilu Thailand adalah First Past The Post atau sistem distril berwakil tunggal. Jadi dari satu dapil hanya akan ada satu wakil yaitu suara terbanyak. Dan satu dapil dibentuk berdasarkan jumlah pemilih sebanyak 125.000 orang. Sehingga caleg di Thailand harus "memperkenalkan diri" kepada 125.000 orang saja.

Sedangkan Indonesia yang menganut sistem proporsional daftar terbuka. Sistem ini berarti sistem distrik berwakil banyak. Artinya, dalam setiap dapil akan muncul beberapa pemenang atau wakil dari distrik tersebut. Misalnya dapil DKI I Jakarta Timur terdapat 6 kursi. Caleg harus berkampanye dan memperkenalkan diri kepada lebih dari 2 juta penduduk di dapil DKI I.

No comments:

Post a Comment