Website counter

Wednesday, February 6, 2013

Gangguan Jiwa Paska Pemilu

Artikel lama tulisan Pak Wido, terbit tanggal 8 April 2009. 


Setelah sembilan bulan masa kampanye yang sangat melelahkan, para caleg dihadapkan pada penantian hasil pemilu yang menegangkan.
Hasil pemilu legislastif akan merupakan hasil akhir atas taruhan yang telah banyak dikeluarkan selama ini baik pikiran, fisik, harta bahkan keluarga.
Berbagai pihak akan menuai hasil selama kerja keras selama ini.
Sebagian kecil para caleg akan berhasil, tetapi sebagian besar akan gagal. Bila gagal pada sebagian individu yang tidak resisten akan beresiko mengalami gangguan keseimbangan dalam fisik dan mentalnya.
Maka sangatlah wajar bila sebagian besar rumah sakit jiwa di Indonesia telah mempersiapkan kejadian gangguan jiwa paska pemilu ini. Sebanyak 11.215 orang memperebutkan 560 kursi DPR dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi Dewan Perwakilan Daerah.
Sehingga, sekitar 112 ribu orang bertarung untuk mendapat 1.998 kursi di DPRD provinsi dan 1,5 juta orang bersaing merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten/kota.
Total caleg 1.624.324 orang dan total kursi yang diperebutkan 18.440 kursi. Sebagian besar dari total caleg 1.627.342 orang tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa 1.605.884 orang bakal gagal memperebutkan anggota legislatif. Sehingga jumlah manusia sebanyak itu sebagian beresiko terjadi gangguan jiwa.
Faktor resiko perhelatan pemilu bukanlah merupakan hajatan yang ringan. Seorang caleg untuk bisa terpilih harus menjalani berbagai tahapan yang membutuhkan pengorbanan besar baik fisik, materi dan kehidupan sosialnya.
Gemerlap seorang legislatif dapat menimbulkan berbagai harapan dan keinginan yang besar bagi semua orang. Harapan berupa status sosial, status ekonomi, idealisme, atau berbagai harapan besar lainnya tersebut kadang dapat membuat seseorang berani mempertaruhkan segalanya demi mencapai tujuan.
Seorang caleg saja bisa menghabiskan ratusan juta rupiah bahkan miliaran rupiah. Mereka tidak segan menghamburkan uang untuk memasang iklan televisi, poster, spanduk, baliho, dan foto di pinggir jalan. Juga untuk keperluan mencetak kaos, stiker, kalender yang dibubuhi tampang mereka.
Tak sedikit rupiah dibelanjakan sembako untuk dibagi-bagikan ke masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi secara diam-diam politik uang atau membagi-bagikan “amplop” pada kaum pemilih.
Kebutuhan dana yang sangat besar besar itu tak jarang sebagian caleg harus berkorban harta dan harga dirinya dengan menjual seluruh hartanya, berhutang bahkan meminta pada siapapun.
Dengan harapan yang begitu besar dan pengorbanan yang habis-habisan maka bila terjadi kegagalan akan dapat menimbulkan guncangan psikis yang tak kalah besar.
Bahkan seorang calon Bupati di Jawa Timur, beberapa waktu yang lalu mengalami gangguan jiwa karena kalah dalam pilkada tampaknya bukan isapan jempol belaka.
Dikabarkan sang calon bupati tersebut telah menghabiskan sekitar 3 miliar rupiah untuk mengejar jabatan bupati. Akhirnya seluruh hartanya ludes, utangnya menggunung, bisnisnya hancur, dan bercerai dengan istri.
Gangguan jiwa mencakup berbagai keadaan gangguan fungsi mental dan perilaku seseorang seperti psikosis fungsional termasuk skizofrenia, gangguan mood, efek gangguan waham dan sebagainya.
Demikian banyaknya jenis gangguan jiwa dan beragam manusia berbeda akibat reaksi secara holistik baik fisik, psikis dan sosial. Sehingga penyebab gangguan jiwa adalah multifaktorial atau multidimensional. Bahkan hingga saat ini belum ada kesepahaman definisi tentang gangguan jiwa.
Seseorang dikatakan mengalami gangguan jiwa bila terdapat gangguan pada unsur psikis berupa pikiran, perasaan, perilaku, dan dapat disertai gangguan fisik dan sosial. Penyebab gangguan jiwa biasanya tidak tunggal tetapi multiple. Berbagai beberapa penyebab baik fisik, psikis dan sosial sekaligus sebagai penyebab yang saling mempengaruhi.
Sehingga dalam membuat diagnosa biasanya dibuat diagnosa multiaksial (multifaktorial/multidimensional) seperti yang digunakan pada Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ( PPDGJ ) yang mengacu kepada The Diagnosis And Statistical Manual of Mental Disorder ( DSM ).
Tanda dan gejala gangguan jiwa sangat bervariasi tergantung jenis gangguan jiwa yang terjadi. Secara umum biasanya beberapa gejala yang muncul bersamaan, gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya atau bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-menerus.
Berbagai penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui tanda dan gejala fisik, psikis dan sosial. Banyak sekali gejala kejiwaan seperti sedih, marah, cemas yang langsung dapat mempengaruhi kondisi fisik orang yang bersangkutan.
Manifestasi ini yang seringkali disebut sebagai psikosomatis atau reaksi psikofisiologi, yaitu gangguan jiwa yang dapat menimbulkan manifestasi pada gangguan tubuh.
Penyakit-penyakit yang biasanya dapat terpicu oleh reaksi psikosomatis. antara lain: sakit kepala, insomnia, gangguan saluran cerna, diare atau asma. Gejala yang mungkin timbul adalah sakit kepala, nyeri perut, mual, muntah, sulit makan, diare, batuk, atau sesak.
Bila dikaitkan dengan psikosomatis, biasanya gejalanya berlangsung lama atau lebih dari 2 minggu hilang timbul. Sedangkan gejala psikis yang bisa timbul adalah persepsi yang kacau, pemikiran yang menyimpang dan kacau, ekpresi dari emosi yang keliru, depresi macam-macam pengekspresian emosi, reaksi emosi yang tidak tepat, activitas motorik yang tidak normal, atau aktivitas yang tidak terkendalikan.
Selain itu terdapat gejala dan tanda tanda lain yang dapat terjadi pada penderita gangguan jiwa. Tanda-tanda lain tersebut sering kali dapat diketemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang normal. Diantaranya adalah disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia berada, siapa dirinya, hari apa sekarang.
Tanda lain adalah menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain, kecurigaan dan kepekaan yang berlebih-lebihan, rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal atau lekanak-kanakan Tanda dan gejala gangguan sosial juga dapat menyertai gangguan jiwa.
Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup.
Manusia adalah makhluk sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Baru bisa mengenali adanya gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara tidak sadar bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya.
Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan, fanatisme tinggi atau malah sebaliknya keragu-raguan yang terus-menerus.
Untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa paska pemilu sebaiknya para caleg harus pasrah berserah diri pada Tuhan. Siap menang berarti harus siap untuk kalah. Siap kalah berarti harus menyiapkan mental dan jiwa menjadi lebih tegar.
Harapan yang demikian tinggi untuk meraih selebritas seorang caleg dengan pesona status sosial, status ekonomi hanyalah tertunda. Pengorbanan yang sangat besar baik harta dan harga diri tidak sia-sia setidaknya dapat dijadikan pelajaran bagi hidup ini.
Untuk mendapat status sosial yang tinggi, untuk mendapat status ekonomi yang besar dan untuk memperjuangkan idealisme tidak harus menjadi anggota legislatif.
Banyak cara dan tempat yang tidak kalah mulia dibandingkan seorang legislatif untuk mendapatkan itu semua.(wido25@hotmail.com)

http://ureport.news.viva.co.id/news/read/47719-gangguan_jiwa_paska_pemilu

No comments:

Post a Comment