Website counter

Thursday, August 16, 2012

Audiensi Koalisi Amankan Pemilu 2014 dengan Bawaslu


Menjelang Pemilu 2014, Bawaslu akan disibukkan dengan agenda pengawasan pelaksanaan tahapan pemilu. Tahapan pertama yang mesti diawasi adalah proses verifikasi terhadap partai politik calon peserta Pemilu 2014. Mengingat sejak Jum’at, 10 Agustus 2012 KPU telah membuka pendaftaran bagi sejumlah partai politik yang akan berkompetisi dalam Pemilu.

Selain isu di atas, banyak isu yang mesti diawasi oleh Bawaslu di setiap tahapan. Tantangannya adalah mengikuti agenda di tahapan pemilu yang padat ditambah modus pelanggaran oleh peserta pemilu. Mengingat kondisi tersebut, mestinya Bawaslu bisa bekerja keras untuk megikuti perkembangan tahapan dan modus pelanggaran. Harapannya, Bawaslu bisa memainkan peran strategisnya dalam mengawasi dan mengawal penyelenggaraan pemilu agar lebih demokratis.



Berdasarkan hal itu maka Koalisi Amankan Pemilu 2014 memiliki beberapa catatan terhadap Bawaslu dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai berikut :

1. Menentukan Prioritas Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Bawaslu ke depan mesti membuat prioritas dalam menjalankan tugas dan wewenang. Prioritas ini akan bisa mendongkrak performa Bawaslu dalam berkontribusi mewujudkan pemilu yang demokratis. Sebagai contoh, terdapat tugas dan wewenang baru Bawaslu dalam melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan penyelesaian sengketa.
Oleh karena itu, maka kedua tugas dan wewenang di atas dapat menjadi prioritas karena menjadi wewenang otonom lembaga ini. Dalam artian, Bawaslu dapat menentukan apakah kewenangan ini berhasil dijalankan atau tidak, tergantung dari komitmen Bawaslu. Kondisi ini tentunya berbeda dengan wewenang yang lama dalam pengawasan di mana Bawaslu tidak memiliki kewenangan hingga menjatuhkan putusan terhadap suatu pelanggaran. Mengingat Bawaslu memiliki kewenangan terbatas hanya melakukan pengawasan dan meneruskan pelaporan pelanggaran.
Berdasarkan hal itu, maka Bawaslu mesti menyusun strategi lebih lanjut untuk bisa menjalankan tugas dan wewenang dalam pencegahan dan penyelesaian sengketa. Terhadap tugas pencegahan, Bawaslu mesti membangun komunikasi intensif dengan seluruh pemangku kepentingan. Tujuannya adalah membangun kesasdaran aktor dalam pemilu yang akan menjadi partner Bawaslu dalam melakukan pencegahan terhadap pelanggaran.

2. Menentukan Prioritas Isu
Objek pengawasan terhadap pelanggaran pemilu sangat besar ditambah dengan modus pelanggaran yang terus berkembang dari peserta pemilu. Mengingat hal itu, maka Bawaslu harus menentukan prioritas dalam melakukan pengawasan pelanggaran. Prioritas ini mesti didasarkan pada hasil kajian terhadap pemetaan pelanggaran sehingga bisa dilihat bentuk dan modus pelanggaran mana yang akan menjadi fokus Bawaslu baik dalam pencegahan maupun penindakan.

3. Problem komunikasi DPR dan Bawaslu dalam penyusunan Peraturan
Bawaslu mesti mampu mengendalikan proses penyusunan peraturan Bawaslu. Meskipun UU no. 8 tahun 2012 mengatur kewajiban untuk konsultasi dengan pemerintah dan DPR, namun sesungguhnya kewenangan untuk penyusunan peraturan adalah domain Bawaslu. Oleh karena itu, Bawaslu harus mampu mengendalikan proses penyusunan peraturan dengan menyesuaikan agenda Bawaslu, bukan agenda DPR dan Pemerintah.
4.  Dukungan untuk Bawaslu dalam melakukan Pengawasan terhadap verifikasi Parpol Peserta Pemilu
Pengalaman verifikasi parpol dalam pemilu sebelumnya dinilai tidak cukup berjalan efektif. Kondisi itu muncul diakibatkan lemahnya komitmen KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam melakukan verifikasi. Hal itu muncul mengingat dalam proses verifikasi akan muncul besarnya „godaan politik“ dari calon peserta pemilu.
Mengingat hal itu, maka Bawaslu harus memainkan peran strategisnya untuk melakukan pengawasan. Pengawasan oleh Bawaslu mesti dilakukan dengan melibatkan publik secara luas. Bawaslu bisa bekerja sama dengan publik secara luas. Bawaslu bisa bekerja sama dengan elemen masyarakat untuk bersama-sama melakukan pengawasan. Efektivitas komunikasi dan pengawasan oleh Bawaslu dan publik akan sangat membantu berjalannya verifikasi parpol dengan baik. Dengan demikian, akan dihasilkan partai politik peserta pemilu yang benar-benar layak ditetapkan sebagai peserta pemilu.
5. Transparansi dan Akuntabilitas Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bawaslu
Bawaslu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya ke depan mesti terbuka kepada publik. Akses informasi dan pelaksanaan tugas mesti dibangun untuk membangun kepercayaan publik. Publik mesti dilibatkan dalam pelaksanaan tugas sehingga akan mengefektifkan peran Bawaslu dalam Pemilu.

Berdasarkan catatan di atas, maka Koalisi Amankan Pemilu 2014 berharap Bawaslu dapat melaksanakan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemilu secara baik.

Jakarta, 14 Agustus 2012

Wednesday, August 15, 2012

Partisipasi Masyarakat dalam Tahapan Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu 2014


Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal verifikasi partai politik untuk Pemilu 2014 yang dituangkan dalam Peraturan KPU no. 8 tahun 2012. 

Di antara tahapan yang penting dalam verifikasi tersebut adalah verifikasi administratif yang dilakukan pada tanggal 11 Agustus sampai dengan 14 September 2012. 

Partai yang dinyatakan lolos verifikasi administratif, akan dilakukan verifikasi faktual yang dilakukan secara nasional, berlangsung antara tanggal 4 sampai dengan 26 Oktober 2012. Dan penetapan parpol peserta pemilu 2014 dilakukan antara tanggal 9 – 15 Desember 2012.
Papan pengumuman Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 di depan aula lantai 2, Gedung KPU Jakarta 


Aspek paling krusial dalam tahapan verifikasi adalah implementasi di lapangan terutama dalam hal pelaksanaan penelitian faktual terhadap kepengurusan partai politik sampai tingkat kecamatan, keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan dan keanggotaan Partai Politik di tingkat kabupaten/kota.

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dalam proses verifikasi ini melihat:

1. Tahapan verifikasi partai politik tidak hanya sekedar proses pemenuhan syarat administrasi dan faktual di lapangan, tetapi juga sebagai momentum konsolidasi internal partai politik agar sejak awal terdapat komunikasi intensif-organisatoris antar pengurus dan anggotanya untuk mempersiapkan kebutuhan partai politik di setiap tingkatannya. Di antara kebutuhan tersebut adalah sejak awal merumuskan program dan kebijakan partai dan mengkomunikasikannya ke masyarakat secara lebih luas. 

2. Banyaknya titik rawan dalam verifikasi misalnya ketidakpatuhan partai politik dalam penyerahan kelengkapan dokumen administrasi, adanya potensi konspirasi antara partai politik dengan penyelenggara, dualisme kepemimpinan di tubuh partai politik, kurangnya keterwakilan perempuan dalam komposisi kepengurusan, kebiasaan partai politik yang mendaftar di akhir waktu dan ketertutupan metode dan wilayah sampling saat verifikasi di kabupaten/kota.
3. Belum terbentuknya Bawaslu di 26 provinsi pada tahapan awal verifikasi ini. Hingga kini, rekrutmen Bawaslu provinsi rata-rata masih dalam tahap pendaftaran dan proses pemeriksaan berkas (www.bawaslu.go.id) sehingga hampir bisa dipastikan tahapan awal verifikasi akan terlewati. Padahal peranan Bawaslu sangat penting untuk memastikan apakah partai politik yang diverifikasi memang memenuhi syarat sebagai partai politik peserta pemilu atau justru sebaliknya. 

Oleh karena itu Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mendesak :

1. Kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera membuka Pendaftaran Pemantauan melalui keputusan resmi tentang pedoman teknis dan tata cara pemantauan pada Pemilu 2014. Peraturan Pemantauan ini untuk menjamin elemen masyarakat sipil dalam melakukan kerja-kerja pemantauan dan partisipasi aktif untuk ikut terlibat dalam proses dan tahapan verifikasi partai politik ini.
2. Kepada Bawaslu dan jajarannya untuk mengawasi dengan serius tahapan verifikasi partai politik dengan menggunakan strategi yang dapat mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi serta terkumpulnya data pembanding (second opinion) dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU beserta jajarannya.
3. KPU dan BAWASLU meningkatkan kepedulian publik (public awareness) yaitu mempermudah akses dengan membuka diri seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat yang ingin terlibat secara partisipatif melaporkan pelanggaran serta bersama-sama aktif melakukan pencegahan.

Jakarta, 12 Agustus 2012
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)


Tuesday, August 7, 2012

Perkembangan jumlah kursi Parlemen di Indonesia


1955      
257 dipilih (ditambah lagi dengan 15 anggota yang diangkat 
sebagai wakil Irian Barat, golongan kecil Eropa dan Tionghoa) total 272 orang

1971      
360 dipilih (ditambah 100 orang perwakilan unsur ABRI),
total 460 orang

1977      
360 dipilih (ditambah 100 orang perwakilan unsur ABRI),
total 460 orang

1982      
360 dipilih (ditambah 100 orang perwakilan unsur ABRI),
total 460 orang

1987      
400 dipilih (ditambah 100 orang perwakilan unsur ABRI),
total 500 orang

1992      
400 dipilih (ditambah 100 orang perwakilan unsur ABRI),
total 500 orang

1997      
425 dipilih (ditambah 75 orang perwakilan unsur ABRI),
total 500 orang

1999      
462 dipilih (ditambah 38 orang perwakilan unsur TNI/Polri),
total 500 orang

2004      
550 orang dipilih seluruhnya

2009      
560 orang dipilih seluruhnya


Jumlah anggota parlemen atau DPR Indonesia tidak statis tetapi selalu berubah-ubah dalam setiap periodenya. Perubahan tersebut disesuaikan dengan perubahan jaman, penduduk dan perkembangan politik.

The Role of KIPP in Indonesian Democratization


The Role of KIPP in Indonesian Democratization

by: Prof Yamada Mitsuru
Faculty of Social Sciences, Toyo Eiwa University, Japan


From the end of 1980s, new NGOs promoted Indonesian democratization, including “Free and Fair general elections.” KIPP was established on the fifteenth of March, in 1996 under the authoritarian Soeharto’s regime and was first election monitoring in Indonesia. KIPP was comprised of more than thirty NGOs that were in turn composed of independent journalists, activists for democratization, students, religious groups, laborers, and professionals. 

Prof. Yamada and me in the front of Capital Hotel Inn, Kabul, Afghanistan, August 2009.
We joined Election Observation Mission of Afghanistan Presidential Election 2009

KIPP has been against pro-Suharto organizations such as Golongan Karya (Functional Groups) from the military, bureaucrats, and others which had practiced the unjust, illegal and corrupt election. KIPP tried to realize “free and fair” elections by developing voter education nationwide. However, the democratization activities of KIPP were interrupted and restricted by the Soeharto government through unjust arrest and intimidation. That is why KIPP found it difficult to recruit election volunteers, just before the 1997 general election, the sociopolitical situations changed. Around 12,000 election volunteers participated in this election, from forty seven cities in sixteen provinces. As a result, KIPP became famous as election monitoring NGO in Indonesia. 

KIPP was supported by NAMFREL, AEC (Australian Election Committee), IFES, FES (Friedrich Ebert Stiftung in German), and other organizations with regard to election skills, election training, and so on. FNS (Friedrich Nauman Stiftung in German), NDI (National Democratic Institute), USAID, TAF (The Asia Foundation), and others supported with financial assistance and provided the opportunity for KIPP staff to participate in elections in Bangladesh, the Philippines, Cambodia, Thailand, Australia, US, Finland and the EU respectively.

KIPP members could learn about election systems, election procedures, democratic systems, voter education and other issues because they received many opportunities and forms of support from international NGOs and the international community. Therefore, KIPP became the core member of ANFREL in 1997 as mentioned above. 


The mission of KIPP was to ensure free, fair, and democratic elections in Indonesia. KIPP had three objectives in its election monitoring operation: firstly, to encourage large-scale participation of voters in the election: secondly, to detect election fraud, manipulations, and irregularities: and thirdly, to detect and report election fraud and irregularities, should they occur.

These missions and objectives were influenced by NAMFREL. KIPP prepared many volunteer election observers for the 1999 general election. At this time, it put their capacity training into practice for election procedures and skills nationwide. On the other hand, KIPP completed voter education in every district in cooperation with other domestic NGOs. As a result, 227 KIPP branches were established in 25 provinces and about 260,000 election volunteers were registered before the 1999 general election. Moreover, related organizations such as KIPP Students Branch, KIPP Campus Branch, KIPP Artist Branch, and Women Activist Group from 74 organizations under the Indonesian Women Congress were organized as election monitoring volunteers. In the end, KIPP even recruited volunteers from becak drivers, laborers, vendors, and villagers belonged to the marginal urban community.

Finally, many domestic and international observers besides KIPP participated in the 1999 Indonesian general election. But other big scale domestic organizations such as University President Forum (named Rector Forum), UNFREL (the University Network for Free and Fair Elections), and other small groups – encompassing around 300,000 observers – were permitted to be official election monitoring organizations. And around 600 international observers from international NGOs and foreign governments also participated in this Indonesian election.




Source:
http://ci.nii.ac.jp/els/110006996655.pdf?id=ART0008908221&type=pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_sw=&no=1344300390&cp=

Sunday, August 5, 2012

Sistem Pemilu dan daerah Pemilihan

Secara tradisional, ada tiga sistem pemilu yaitu pluralitas, mayoritas dan perwakilan proporsional. Sistem pemilu yang baru ditambahkan adalah sistem pemilu campuran yang  menggabungkan sistem pluralitas atau mayoritas dan perwakilan proporsional.  

Perbedaan mendasar yang membedakan antara sistem-sistem pemilu tersebut adalah cara mengalokasikan kursi di parlemen:
  • kandidat yang terpilih adalah yang memperoleh suara plural
  • kandidat yang terpilih adalah yang memperoleh suara mayoritas
  • kandidat atau partai politik yang terpilih dibagi secara proporsional berdasarkan banyaknya suara yang diperoleh 
Pembentukan Distrik dalam Sistem Pluralitas atau Mayoritas 
Pembentukan distrik daerah pemilihan biasanya selalu terkait dengan sistem pluralitas atau mayoritas.  Kedua sistem ini cenderung menggunakan distrik berwakil tunggal. 

Wawancara dengan dua orang kandidat di ECT provinsi Songkhla, Thailand Selatan, Juni 2011.
Thailand  menganut sistem FPTP dan dengan demikian distrik berwakil tunggal
Distrik-distrik ini harus dibentuk ulang secara periodik karena adanya perubahan jumlah penduduk. Kedua sistem ini juga memiliki satu elemen yang fundamental dari distrik berwakil tunggal – jumlah kursi yang diterima oleh partai politik tergantung tidak hanya dari proporsi suara yang didapatkan, tetapi juga dari mana suara didapatkan. 

Dalam sistem pluralitas dan mayoritas, partai politik kecil yang pendukungnya  secara geografis  biasanya mendapat kursi yang lebih sedikit daripada proporsi suara yang mereka dapatkan secara nasional. 

Pembentukan daerah pemilihan dalam sistem Perwakilan Proporsional 


Ada dua jenis sistem Perwakilan Proporsional – sistem daftar dan single transferable vote


Di negara yang menganut sistem daftar, tidak selalu membutuhkan adanya batasan daerah pemilihan. Contoh Belanda hanya punya satu dapil, yaitu satu negara.

Jika dibentuk daerah pemilihan, biasanya karena dapil tersebut merupakan distrik berwakil banyak dan batas-batasnya terkait langsung dengan pembagian wilayah administratif daerah tersebut. Contohnya Indonesia yang memiliki 77 dapil di 33 provinsi.

Untuk mengakomodasi perubahan penduduk, jumlah kursi yang dialokasikan untuk setiap dapil disesuaikan, bukan dengan membentuk ulang batas-batas dapil.



Di Indonesia, batas-batas dapil dibentuk ulang, karena ada beberapa dapil yang menyalahi prinsip-prinsip pembentukan dapil, antara lain karena lintas daerah administratif. Hal ini akan dijelaskan secara tersendiri.

Irlandia dan Malta menganut sistem single transferable vote.  Karena pemungutan suara berbasis kandidat dan bukannya partai, kedua negara ini menetapkan distrik berwakil banyak dengan kandidat 3 – 5 orang di setiap dapil. Di kedua negara ini, batasan daerah pemilihan harus diulang secara periodik yaitu dua tahun sekali.



Friday, August 3, 2012

Masalah yang menghalangi perempuan menjadi anggota parlemen


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif.

1. Konteks budaya Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkal. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki dan bahwa tidak pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen.

2. Proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara termasuk Indonesia, kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari parpol mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap parpol khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari parpol, karena struktur kepemimpinandidominasi oleh kaum laki-laki.

3. Berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen.

4. Tidak adanya jaringan antara ormas, LSM dan parpol yang memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan ormas wanita di Indonesia baru mulai memainkan peran penting sejak tahun 1999.

5. Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan wanita.  Sering dirasakan bahwa sungguh sulit merekrut perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik yang memadai cenderung terlibat dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran non partisan.

6. Faktor keluarga. Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan tertentu khususnya izin dari pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pangdangan mereka dan aktifitas tambahan mereka di luar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi dan mpenyediaan waktu dan uang yang besar. Dan banyak perempuan sering memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara financial. Pengecualian terjadi ketika perempuan mendapat jabatan yang dianggap menguntungkan secara financial, seperti terpilih sebagai anggota legislatif.

7. System multi partai. Besarnya jumlah parpol yang ikut bersaing di pemilihan untuk memenangkan kursi parlemen mempengaruhi tingkat represntasi wanita . karena setiap partai bisa berharap untuk memperoleh sejumlah kursi di parlemen. Ada kecenderungan untuk membagi jumlah kursi yang terbatas itu di antara laki-laki. Hal ini mempunyai pengaruh langsung terhadap tingkat representasi perempuan. 

Partisipasi Masyarakat dalam Pemantauan Pilkada DKI 2012 Putaran Kedua


Partisipasi Masyarakat dalam Pemantauan Pilkada DKI 2012 
Putaran Kedua

Oleh :Mulyana Wirakusumah
                 
1.   Partisipasi masyarakat dalam pemantauan pilkada pada dasarnya dapat terwujud sebagai partisipasi formal yang dijalankan melalui organisasi-organisasi pemantau pemilu yang memperoleh akreditasi dari KPUD, serta partisipasi ekstra formal yang merupakan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat atau ormas/LSM di luar akreditasi KPUD memonitor proses-proses elektoral.

Evaluasi Pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta 2012
Hotel Oasis Amir, Jakarta, Rabu, 1 Agustus 2012


2.   Partisipasi formal dalam pemantauan pilkada Jakarta putaran pertama telah dilaksanakan sejumlah organisasi pemantau termasuk KIPP Jakarta, sementara partisipasi ekstra formal pada umumnya berbentuk pernyataan publik dan pelaporan tentang penyimpangan atau pelanggaran dalam proses-proses elektoral, yang meliputi pula penyampaian kritik serta masukan kepada institusi penyelenggara pilkada.

3.   Selama tahap-tahap pelaksanaan pilkada Jakarta Putaran Pertama, kedua bentuk partisipasi tersebut di atas telah memberikan kontribusi politik signifikan dalam mengawal terselenggaranya pilkada yang efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

4.   Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua, Kamis 20 September 2012 jelas memerlukan pelaksanaan fungsi dan peran partisipasi formal serta ekstra formal dalam melakukan monitoring terhadap jalannya proses elektoral yang secara umum meliputi:

Pertama, pemenuhan hak politik rakyat untuk memilih, khususnya peningkatan partisipasi pemilih guna memperkuat legitimasi politik rakyat. Langkah  KPU Provinsi DKI Jakarta untuk terus menyempurnakan Daftar Pemilih Tetap Pilkada Jakarta 2012 Putaran Kedua harus didukung oleh segenap pemangku kepentingan pilkada.

Kedua, peningkatan kualitas partisipasi politik rakyat bukan hanya untuk menghasilkan terpilihnya calon Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai basis legitimasi politik kuat, akan tetapi mampu juga berjalan melalui proses politik rasional dan bertanggung jawab terhadap masa depan demokrasi.
Kelemahan hukum yang hanya mengatur sanksi terhadap pelanggaran larangan dalam kampanye, misalnya menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/Wakil Kepala Daerah dan/atau parpol tidak dapat dijadikan alasan bebasnya sikap dan tindakan itu dari jerat hukum pidana. Penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal KUHP mengenai penghinaan atau fitnah (310-311 KUHP) atau kejahatan terhadap ketertiban umum.

Ketiga, peningkatan kinerja jajaran penyelenggara dan pengawas pilkada dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UU no. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Secara khusus perlu dimonitor kemungkinan terjadinya ‚electoral fraud‘ yakni adanya perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perlehan suaranya berkurang.

Keempat, monitoring pilkada juga harus meliputi proses persidangan (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, mengingat kemungkinan besar diajukannya keberatan atas hasil-hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

Thursday, August 2, 2012

Kampanye Positif, Kampanye Negatif dan Kampanye Kotor

Kampanye merupakan suatu kegiatan yang bertujuan agar publik atau masyarakat pemilih mau memilih kandidat yang dikampanyekan. 

Secara garis besar, ada 3 jenis kampanye :
1. Kampanye positif : Jenis ini adalah kampanye yang umumnya dilakukan yaitu dengan memuji hal-hal positif dari kandidat atau partai politik. 
Contohnya : Kandidat mengeluarkan fakta bahwa dia pernah membangun jalan ini dan itu, melaksanakan proyek ini dan itu.

2. Kampanye negatif : 
Dalam kampanye ini, pihak lawan atau pihak ketiga mengeluarkan data-data dan fakta negatif mengenai salah satu kandidat dalam pemilu. Data dan fakta tersebut setelah diselidiki benar adanya, dan disebarkan dengan tujuan menegatifkan dan menjatuhkan salah satu kandidat tersebut.
Contohnya : Tersebarnya foto salah satu kandidat dalam pemilukada Sumatera Selatan sedang bermain judi di Genting, Malaysia. Foto tersebut sebenarnya diambil beberapa tahun yang lalu, namun efeknya masyarakat mengalihkan pilihannya ke kandidat lain. Kandidat tersebutpun kalah.

Kampanye anti Black Campaign dari KIPP Jakarta.
Catatan penulis: Harusnya istilahnya adalah Black Campaign, bukannya Dirty Campaign.

3. Kampanye kotor (Black campaign) 
Kelihatannya mirip dengan kampanye negatif. Tetapi dalam kampanye  kotor atau Black campaign, data-data dan fakta yang disajikan setelah diselidiki merupakan data dan fakta yang salah dan menyesatkan. 
Contohnya : Si A melakukan suatu tindakan negatif. Setelah diselidiki, ternyata hal tersebut tidak benar. Tujuan penyebaran informasi ini adalah menyesatkan pemilih mengenai kandidat A.