Website counter

Tuesday, September 25, 2012

Makalah - Berharap pada Pilkada langsung, Bagian Kedua


Jika ditimbang mudharatnya, jelas keterlibatan pemerintah dalam pilkada jauh lebih mudharat daripada keterlibatan DPRD. Bagi pilkada sendiri, keterlibatan pemerintah jauh lebih mudharat daripada manfaatnya.

Beberapa kasus berikut ini menjelaskan hal itu.
1.  Keterlambatan penetapan PP berakibat keterlambatan pelaksanaan tahapan pilkada di seluruh Indonesia. UU no. 32/2004 disahkan oleh presiden tanggal 13 Oktober 2004. Jika pilkada pertama dilaksanakan pada bulan Juni 2005, maka terdapat tujuh bulan untuk persiapan dan pelaksanaan pilkada.
Waktu yang sesungguhnya tidak terlalu ideal untuk eksperimen pertama sistem pemilu langsung daerah di Indonesia. Waktu tujuh bulan itupun terpotong drastis disebabkan PP yang mengatur pilkada baru ditandatangani presiden pada bulan Januari 2005.
Praktis hampir 3 bulan waktu terbuang begitu saja. Dan dengan sendirinya hanya ada empat bulan waktu yang tersisa untuk melaksanakan pilkada.
Pemerintah tetap mendesak pelaksanaannya, sekalipun beberapa KPUD mulai mencuatkan isu kelayakan waktu pelaksanaan ini, termasuk KIPP Indonesia, telah menyatakan dengan tegas agar seluruh pihak mendiskusikan dengan serius waktu pelaksanaan pilkada tersebut.
Untuk mendesakkan pemikiran itu, KIPP Indonesia melakukan audiensi dengan Komisi II – langsung dipimpin oleh ketua Komisi II Fery Mursyidan Baldan – dengan menggambarkan skema dan alur pelaksanaan pilkada dengan waktu yang sangat mepet. Amat sangat tidak memadai.

2. Alih-alih mendengar kritikan masyarakat, pemerintah malah membentuk desk pilkada. Melalui Surat Ketetapan Menteri no. 120.05-110 tahun 2005, desk ini dinyatakan bertangung jawab atas pelaksanaan pilkada, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Pendirian desk inipun mendapat tentangan keras dari masyarakat. KIPP Indonesia menyatakan hal itu sebagai badan tumpang tindih dengan KPUD dan dapat berpotensi meningkatkan ketegangan psikologis antara Pemda dengan KPUD, inefisiensi, pemborosan anggaran dan berpotensi melanggar undang-undang.
Dan memang seperti dikhawatirkan, desk ini pada akhirnya tidka berfungsi banyak. Hatta sekarang, tak jelas benar apa yang telah dilakukan oleh desk ini, kecuali mendata daerah yang siap pilkada bulan Juni, atau yang akan menunda.

3.  Dana bantuan pemerintah khusus pelaksanaan pilkada bulan Juni, hingga sampai sekarang bulan sebelum jelas nasibnya. Setelah melulu menurunkan nilai bantuan, dari asumsi pertama 70%-30% pemerintah dan daerah menjadi 50%-50%, untuk akhirnya menjadi hanya sekitar Rp 400juta per daerah. Seluruh kebijakan berlangsung sampai menjelang dua bulan sebelum pelaksanaan pilkada.

4. Kegiatan sosialisasi yang diambil alih oleh desk pilkadapun belum dilaksanakan. Padahal, seperti dalam laporan Kompas, kenyataannya masih ada masyarakat tak dapat membedakan antara pilkada dan pilkabe. Jelas sosialisasi yang tidak massif dan merata akan berdampak terhadap pengetahuan masyarakat, dan akan dapat berujung pada partisipasi mereka dalam melaksanakan pilkada atau memberi suara. 

Note :
Ray Rangkuti adalah Direktur Eksekutif KIPP Indonesia 2004.
Makalah dibawakan pada seminar sehari, "Pilkada Langsung dan Momentum Perubahan di Daerah", Selasa 12 April 2005, di Ruang AJB, Gedung F Lt. 2, FISIP UI, Depok.

Bagian kedua....
Bagian lainnya menyusul....



No comments:

Post a Comment