Website counter

Tuesday, September 25, 2012

Berharap pada Pilkada langsung


oleh : Ray Rangkuti

Pilkada bukan pemilu. Begitulah UUD 1945 memandang proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sekalipun pilkada sama sekali tak berbeda dengan praktek pemilu lainnya – bahkan jika melihat redaksi susunan UUnya tak dapat dihindari kesan bahwa UU Pilkada hanya mengcopy UU Pemilu lainnya – tetapi pembuat UUD lebih merasa tepat menempatkan pilkada sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah.

Dan oleh karena itu, peraturan pilkadapun tidak lepas dari ketentuan yang digariskan oleh pemerintah yang akhirnya ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (PP). Tepatnya PP nomor 6 tahun 2005. Inilah sumber hukum kedua yang mengatur pelaksanaan pilkada setelah UU nomor 32 tahun 2004.

Karena paradigma pelaksanaan pilkada bukan bagian dari pemilu nasional, maka lembaga yang melaksanakan pilkada juga bukan merupakan lembaga yang selayaknya mengelola pemilu nasional.

Karena sifatnya yang lokal, maka sudah semestinya lembaga penyelenggara pilkada pun merupakan lembaga yang bersifat lokal. Maka dikenallah istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dalam hal ini diamanahkan oleh UU kepada KPU daerah yang dibentuk oleh UU no. 12 tahun 2003. Di sinilah awal kontradiksi terjadi.

Sekalipun upaya hukum untuk merevisi kejanggalan-kejanggalan UU ini telah dilakukan melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tetapi hasil yang diharapkan tidak memadai. Alih-alih membebaskan dan mempertegas status pilkada, putusan MK malah menimbulkan kebingungan baru.

Oleh dasar pandangan bahwa pilkada semestinya diselenggarakan oleh lembaga yang benar-benar independen, maka kewajiban KPUD untuk bertanggungjawab kepada DPRD – sebagaimana diatur dalam pasal 57 ayat (1) UU no. 32/2004 dihapuskan, tetapi tetap membiarkan pemerintah bercokol di dalam pilkada.

Lebih dari sekedar bercokol, pemerintah bahkan memiliki hak untuk mengatur, mengevaluasi dan memberi masukan atas pelaksanaan pilkada. Alasan MK membiarkannya karena dinyatakan sebagai “perintah UU”. Padahal keterlibatan DPRD dalam pilkada juga merupakan perintah UU. 

Mengapa ada dua kebijakan berbeda dalam satu keputusan dengan pertimbangan hukum yang sama. 


Note :
Ray Rangkuti adalah Direktur Eksekutif KIPP Indonesia 2004.
Makalah dibawakan pada seminar sehari, "Pilkada Langsung dan Momentum Perubahan di Daerah", Selasa 12 April 2005, di Ruang AJB, Gedung F Lt. 2, FISIP UI, Depok.

Bagian pertama ....
Bagian lainnya menyusul .....

No comments:

Post a Comment