Jika ditimbang mudharatnya, jelas keterlibatan pemerintah dalam pilkada
jauh lebih mudharat daripada keterlibatan DPRD. Bagi pilkada sendiri,
keterlibatan pemerintah jauh lebih mudharat daripada manfaatnya.
Beberapa kasus berikut ini menjelaskan hal itu.
1. Keterlambatan
penetapan PP berakibat keterlambatan pelaksanaan tahapan pilkada di seluruh
Indonesia. UU no. 32/2004 disahkan oleh presiden tanggal 13 Oktober 2004. Jika
pilkada pertama dilaksanakan pada bulan Juni 2005, maka terdapat tujuh bulan
untuk persiapan dan pelaksanaan pilkada.
Waktu yang
sesungguhnya tidak terlalu ideal untuk eksperimen pertama sistem pemilu
langsung daerah di Indonesia. Waktu tujuh bulan itupun terpotong drastis
disebabkan PP yang mengatur pilkada baru ditandatangani presiden pada bulan
Januari 2005.
Praktis
hampir 3 bulan waktu terbuang begitu saja. Dan dengan sendirinya hanya ada
empat bulan waktu yang tersisa untuk melaksanakan pilkada.
Pemerintah
tetap mendesak pelaksanaannya, sekalipun beberapa KPUD mulai mencuatkan isu
kelayakan waktu pelaksanaan ini, termasuk KIPP Indonesia, telah menyatakan
dengan tegas agar seluruh pihak mendiskusikan dengan serius waktu pelaksanaan
pilkada tersebut.
Untuk
mendesakkan pemikiran itu, KIPP Indonesia melakukan audiensi dengan Komisi II –
langsung dipimpin oleh ketua Komisi II Fery Mursyidan Baldan – dengan menggambarkan
skema dan alur pelaksanaan pilkada dengan waktu yang sangat mepet. Amat sangat
tidak memadai.
2. Alih-alih
mendengar kritikan masyarakat, pemerintah malah membentuk desk pilkada. Melalui
Surat Ketetapan Menteri no. 120.05-110 tahun 2005, desk ini dinyatakan
bertangung jawab atas pelaksanaan pilkada, baik di tingkat nasional maupun di
tingkat lokal.
Pendirian
desk inipun mendapat tentangan keras dari masyarakat. KIPP Indonesia menyatakan
hal itu sebagai badan tumpang tindih dengan KPUD dan dapat berpotensi
meningkatkan ketegangan psikologis antara Pemda dengan KPUD, inefisiensi,
pemborosan anggaran dan berpotensi melanggar undang-undang.
Dan memang
seperti dikhawatirkan, desk ini pada akhirnya tidka berfungsi banyak. Hatta
sekarang, tak jelas benar apa yang telah dilakukan oleh desk ini, kecuali
mendata daerah yang siap pilkada bulan Juni, atau yang akan menunda.
3. Dana
bantuan pemerintah khusus pelaksanaan pilkada bulan Juni, hingga sampai
sekarang bulan sebelum jelas nasibnya. Setelah melulu menurunkan nilai bantuan,
dari asumsi pertama 70%-30% pemerintah dan daerah menjadi 50%-50%, untuk
akhirnya menjadi hanya sekitar Rp 400juta per daerah. Seluruh kebijakan
berlangsung sampai menjelang dua bulan sebelum pelaksanaan pilkada.
4. Kegiatan
sosialisasi yang diambil alih oleh desk pilkadapun belum dilaksanakan. Padahal,
seperti dalam laporan Kompas, kenyataannya masih ada masyarakat tak dapat
membedakan antara pilkada dan pilkabe. Jelas sosialisasi yang tidak massif dan
merata akan berdampak terhadap pengetahuan masyarakat, dan akan dapat berujung
pada partisipasi mereka dalam melaksanakan pilkada atau memberi suara.
Note :
Ray Rangkuti adalah Direktur Eksekutif KIPP Indonesia 2004.
Makalah dibawakan pada seminar sehari, "Pilkada Langsung dan Momentum Perubahan di Daerah", Selasa 12 April 2005, di Ruang AJB, Gedung F Lt. 2, FISIP UI, Depok.
Bagian kedua....
Bagian lainnya menyusul....
No comments:
Post a Comment