oleh : Ray Rangkuti
Pilkada bukan pemilu. Begitulah UUD 1945 memandang proses
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sekalipun pilkada
sama sekali tak berbeda dengan praktek pemilu lainnya – bahkan jika melihat redaksi
susunan UUnya tak dapat dihindari kesan bahwa UU Pilkada hanya mengcopy UU Pemilu lainnya – tetapi pembuat
UUD lebih merasa tepat menempatkan pilkada sebagai bagian dari pelaksanaan
otonomi daerah.
Dan oleh karena itu, peraturan pilkadapun tidak lepas dari ketentuan
yang digariskan oleh pemerintah yang akhirnya ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah (PP). Tepatnya PP nomor 6 tahun 2005. Inilah sumber hukum kedua yang
mengatur pelaksanaan pilkada setelah UU nomor 32 tahun 2004.
Karena paradigma pelaksanaan pilkada bukan bagian dari pemilu nasional,
maka lembaga yang melaksanakan pilkada juga bukan merupakan lembaga yang
selayaknya mengelola pemilu nasional.
Karena sifatnya yang lokal, maka sudah semestinya lembaga penyelenggara
pilkada pun merupakan lembaga yang bersifat lokal. Maka dikenallah istilah
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dalam hal ini diamanahkan oleh UU
kepada KPU daerah yang dibentuk oleh UU no. 12 tahun 2003. Di sinilah awal
kontradiksi terjadi.
Sekalipun upaya hukum untuk merevisi kejanggalan-kejanggalan UU ini
telah dilakukan melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tetapi hasil yang
diharapkan tidak memadai. Alih-alih membebaskan dan mempertegas status pilkada,
putusan MK malah menimbulkan kebingungan baru.
Oleh dasar pandangan bahwa pilkada semestinya diselenggarakan oleh
lembaga yang benar-benar independen, maka kewajiban KPUD untuk bertanggungjawab
kepada DPRD – sebagaimana diatur dalam pasal 57 ayat (1) UU no. 32/2004
dihapuskan, tetapi tetap membiarkan pemerintah bercokol di dalam pilkada.
Lebih dari sekedar bercokol, pemerintah bahkan memiliki hak untuk mengatur,
mengevaluasi dan memberi masukan atas pelaksanaan pilkada. Alasan MK membiarkannya
karena dinyatakan sebagai “perintah UU”. Padahal keterlibatan DPRD dalam
pilkada juga merupakan perintah UU.
Mengapa ada dua kebijakan berbeda dalam satu keputusan dengan pertimbangan hukum
yang sama.
Note :
Ray Rangkuti adalah Direktur Eksekutif KIPP Indonesia 2004.
Makalah dibawakan pada seminar sehari, "Pilkada Langsung dan Momentum Perubahan di Daerah", Selasa 12 April 2005, di Ruang AJB, Gedung F Lt. 2, FISIP UI, Depok.
Bagian pertama ....
Bagian lainnya menyusul .....
No comments:
Post a Comment