Ketika dibentuk pada awal tahun
1996, Komite Independen Pemantau Pemilu dipandang sebelah mata oleh banyak
orang serta dicibir oleh pejabat pemerintah. Sebab, saat itu kontrol
pemerintah amat dominan, dan pemilihan umum berlangsung hanya sebagai kosmetik
politik belaka. Namun, kegigihan mereka mengatasi tekanan pemerintah, membuat
KIPP kini menjadi organisasi swadaya masyarakat yang paling siap memantau
pelaksanaan pemilihan umum mendatang.
Berdiri pada akhir bulan Januari 1996, KIPP
merupakan gabungan dari sejumlah lembaga swadya masyarakat dan
individu-individu yang menginginkan pelaksanaan pemilihan umum yang lebih bebas
dan adil pada tahun 1997.
|
Aksi di depan Gedung DPR - MPR RI, Semanggi tahun 1999 |
Kehadirannya disambut positif oleh banyak kalangan,
terutama kaum akademisi, serta pers. Cendekiawan Muslim Dr. Nurcholis Madjid
(kini mengetuai Tim 11 yang menyeleksi partai-partai politik peserta pemilu)
duduk sebagai ketua Badan Pertimbangan Nasional, bersama pengacara Dr. Adnan
Buyung Nasution (yang belakangan menjadi konsultan hukum bagi IPTN dan kini
duduk dalam Tim 11), mantan Gubernur DKI yang juga anggota Petisi 50 Ali
Sadikin (kini aktif dalam Barisan Nasional), dosen FISIP UI Arbi Sanit serta
Zumrotin, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia.
Ditolak dan Diserang
Sayangnya, gagasan yang tumbuh dari bahwa ini
ditolak oleh pemerintah. Kepala Staf Sosial Politik ABRI pada waktu itu, Letjen
TNI Syarwan Hamid (kini Menteri Dalam Negeri), serta asistennya di bidang
sosial politik, Mayjen TNI Suwarno Adiwidjojo (kini anggota Majelis
Pertimbangan Partai Amanat Nasional), menegaskan keberadaan KIPP tidak
diperlukan. Sementara Menteri Pertahanan Keamanan waktu itu, Jenderal TNI Edy
Sudradjat (kini Ketua Umum DPP Partai Keadilan dan Persatuan) menyebutnya sebagai
tidak konstitusional. Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama
K.H. Abdurahman Wahid (kini aktif berkampanye untuk Partai Kebangkitan Bangsa),
menolak untuk bergabung karena, "hal ini sangat sensitif."
Tidak cukup dengan serangan melalui media massa,
aparat keamanan juga menganggu sejumlah kegiatan KIPP, termasuk pembentukan
cabang serta pelatihan di daerah-daerah. Sejumlah aktifisnya ditangkap dan
dimintai keterangan oleh polisi. Namun demikian, KIPP berhasil merekrut 12 ribu
relawan dan mendirikan cabang di 47 kota di 16 propinsi dan dua cabang di luar
negeri, yaitu di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Berlin, Jerman.
Berkibar
Pada pemilihan umum 1997, KIPP memang tidak bisa
melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana yang diharapkannya. Namun, kegigihan
Mulyana Kusumah, Goenawan Muhammad, dan kawan-kawan mereka lainnya menjadikan
KIPP sebagai monumen perlawanan bagi pelaksanaan pemilihan umum tahun 1997 yang
tidak jujur dan tidak adil.
Dalam situasi yang jauh lebih kondusif seperti saat
ini, KIPP dengan cepat meluaskan ruang geraknya dengan melatih ratusan ribu
tenaga sukarela untuk mengawasi penghitungan suara di sekitar 300 ribu tempat
pemungutan suara di seluruh Indonesia. Masyarakat juga dididik untuk memandang
pemilihan umum sebagai urusan mereka, bukan semata urusan pemerintah, sehingga
bisa lebih proaktif dalam mencegah dan mengadukan segala kecurangan yang
terjadi.
|
Deklarasi KIPP Kalimantan Tengah, Januari 1999 |
Berbeda dengan dua tahun lalu, kini KIPP berkibar
sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang paling siap untuk memantau
pemilihan umum mendatang, dengan ditopang dana oleh banyak sumber, termasuk
dari United Nations Development Program. Sekjennya, Mulyana W. Kusumah, yang
biasanya berdiri berseberangan dengan pemerintah, sekarang diminta oleh Ketua
Lembaga Pemilihan Umum, yaitu Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, untuk duduk
dalam Komite Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum, atau yang juga
dikenal sebagai Tim 11.
Jaringan yang telah dibuat KIPP sampai sat ini
telah menjangkau 23 propinsi. Menurut Standarkiaa, salah seorang anggota
presidium KIPP mengatakan bahwa mereka akan menerapkan sampling area serta
merencanakan membuat penghitungan cepat, tabulasi suara secara paralel di
wilayah Jawa dan Bali. KIPP merupakan satu-satunya lembaga yang berpengalaman melaksanakan
pemantauan pemilu di Indonesia. Lembaga ini menyusun modul pelatihan untuk
pemantauan pemilu, meskipun masih perlu disesuaikan dengan perkembangan
terbaru. Menurutnya pula, diperlukan standar pemantauan yang sama di antara
para lembaga pemantau pemilu yang sekarang banyak bermunculan. Wandy N
Tuturoong, anggota presidium KIPP berpendapat, agar lembaga-lembaga pemantau
pemilu bersama-sama membentuk semacam clearing house untuk menyatukan temuan
mereka di lapangan, sebelum mengumumkan kepada masyarakat.
KIPP juga mengusulkan peradilan khusus untuk
menyelesaikan secara hukum sengketa dan kasus-kasus pelanggaran pemilu seperti
penyalahgunaan wewenang pejabat untuk kepentingan partai politik tertentu.
Menurut Sirra Prayuna, salah seorang anggota presidium KIPP, peradilan khusus
ini bahkan bisa diberi wewenang untuk memutuskan apakah pemilihan umum di suatu
desa atau wilayah administratif pemerintahan di atasnya perlu diulang atau
tidak. Karena lembaga independen pengawas pemilu secara formal tidak memiliki
kewenangan menentukan absah-tidaknya pemilu.
Divisi advokasi KIPP telah memperoleh dukungan dari
70 advokat dan pengacara untuk menangani kasus-kasus legal dalam
penyelenggaraan pemilu.
Dalam pelatihan training for trainers yang
diselenggarakan KIPP pada hari Sabtu (13/2), mantan Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Sarwono Kusumaatmaja mengatakan perlunya kesamaan persepsi umum mengenai
asas jujur dan adil dalam pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Perbedaan persepsi
asas jujur dan adil ini akan menjadi ancaman tersendiri bagi pelaksanaan dan
hasil-hasil pemilu. Pembentukan kesamaanpersepsi mengenai asas jurdil dapat
dilakukan dengan menyusun data lengkap mengenai permasalahan yang terjadi dalam
pemilu terdahulu. Anatomi permasalahan umum disusun dan antisipasi untuk
menghadapinya.. Syaratnya harus ada pengertian dasar yang disepakati bersama
serta ukuran etika yang jelas.
Dalam pernyataan sikapnya, KIPP menuntut pemerintah
tidak membuat keputusan yang melawan arus dalam penyelenggaraan pemilu, dengan
menempatkan orang-orang yang diragukan kredibilitasnya dan kapabilitasnya dalam
KPU. Pemerintah juga didesak segera mengganti wakil pemerintah itu dengan orang
yang memiliki kemampuan dan keberpihakan pada gerakan reformasi, dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat serta membuka kases seluasnya kepada
masyarakat untuk menentukan wakil pemerintah. Sementara untuk mendapatkan wakil
parpol yang berkualitas dalam KPU, para parpol harus menetapkan mekanisme
demokratis dalam menentukan wakilnya.
Tulisan ini dibuat oleh pengurus KIPP Nasional pada tahun 1999, menjelang pemilu pertama setelah masa reformasi.