Di tengah ancaman bom dan
kekerasan oleh kaum militan termasuk Taliban, antusiasme pemilih di Pakistan
dalam pemilu parlemen 2013 cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari
antrian yang cukup panjang di seluruh negeri. Banyak pemilih yang datang sejak
pagi, meski tidak terlalu menumpuk. Tetapi
kemudian mereka kecewa, karena setelah mengantri, prosedur pengecekan identitas
dengan daftar pemilih cukup lama dan tidak jarang terjadi, setelah mengantri
cukup lama, ternyata mereka mengantri di TPS yang salah!
Daftar
pemilih di Pakistan kali ini, selain memuat nama dan alamat pemilih, juga memuat
foto. Setelah petugas menemukan nama pemilih dan sesuai dengan foto yang
tertera, pemilih harus memberikan cap jempol di dalam kolom sebelah foto. Petugas
lalu memberikan tanda tinta di jari di bawah kuku, tanda sudah dicek dan
memberikan suara. Petugas yang berbeda kemudian akan memberikan 2 lembar kertas
suara (nasional dan provinsi), pemilih menuju bilik suara, menstempel kertas
suara, melipat lalu memasukkan ke dalam kotak suara sesuai dengan warna,
selesai.
Mengecek
satu nama membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi kemudian menyamakan foto
yang ada di CNIC (Computerized National Identity Card) dan daftar pemilih. Pertama, petugas di TPS bukanlah orang
setempat, sehingga tidak familiar dengan nama pemilih. Penempatan petugas bukan
orang lokal dilakukan untuk menghindari adanya kerja sama yang mengarah kepada
kecurangan dan menghindari ancaman keselamatan kepada petugas TPS jika petugas
tersebut menolak kerja sama dengan penguasa lokal atau tokoh penting di daerah
tersebut.
Kedua, satu TPS atau satu bilik suara melayani 300-600 orang
dengan satu petugas yang bertugas untuk pengecekan identitas, penstempelan
sidik jari dan pemberian tanda tinta di jari. Bandingkan dengan Indonesia, satu
petugas untuk pengecekan identitas dan satu petugas untuk pemberian tanda tinta
di jari. Tidak ada foto serta penstempelan sidik jari di dalam daftar pemilih.
Ketiga, tidak ada pemberitahuan dari ECP (Election Commission
of Pakistan) level lokal seperti kepala desa (pemilih di pedesaan) atau Union
Council (di perkotaan), pemilih harus memilih di TPS mana. Tidak ada penempelan
daftar pemilih di depan TPS atau di depan polling station yang biasanya
berlokasi di sekolah) untuk mengecek sendiri dan kepastian TPS yang tepat. Sehingga
pemilih harus berkeliling dari satu TPS ke TPS yang lain untuk mencari TPS yang
tepat. Sejumlah presiding officer (Ketua TPS) kemudian
berinisiatif untuk menuliskan serial number pemilih dari nomor sekian ke nomor
sekian di TPS tersebut. Tetapi pemilih bahkan polling
agent (wakil dari kandidat atau partai politik tidak mengetahuinya).
Maka
yang terjadi adalah kerumunan massa di berbagai tempat, baik di luar polling station maupun di depan TPS. Oh ya, TPS di Pakistan adalah per
bilik suara, bukan per ruangan. Jadi di dalam satu ruangan, bisa terdapat satu
bilik suara, bisa juga tiga bilik suara. Satu bilik suara, ada 3 petugas, salah
satunya adalah petugas pengecekan identitas tersebut. Jadi bisa dibayangkan
ricuhnya keadaan, jika sebuah ruangan kelas memiliki 3 bilik suara, berarti
ruangan tersebut harus melayani 900-1800 pemilih dalam satu hari.
Keempat, polling agent atau wakil dari kandidat atau partai politik biasanya
bertugas untuk mengawasi proses pemungutan suara, apakah petugas TPS bertindak
sesuai dengan peraturan dan terakhir mencatat hasil penghitungan suara. Tetapi
di Pakistan, polling agent lebih
bertugas untuk membantu pemilih menemukan TPS yang tepat dan jika mungkin
mengarahkan pemilih untuk memilih partainya. Kampanye dalam ruangan TPS!
Jadi, dalam ruangan yang kecil dan
sudah ramai tersebut ada beberapa pihak yang melakukan hal yang sama yaitu
mengecek identitas dan TPS yang tepat. Jika ada 5 polling agent dan dikerumuni oleh 3 orang, ada 15 orang berkerumun
dan ditambah lagi kerumunan di depan petugas TPS yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment