Sebuah berita di media online pagi ini cukup menarik perhatian saya. "1.700 caleg Gerindra mendaftar karena iklan di media". Partai Gerindra membuka iklan di beberapa media massa untuk merekrut bakal calon anggota legislatif di Pileg 2014. Dari total 2.744 orang yang mendaftar, sebanyak 1.700 mendaftar karena iklan.
Dari sekian banyak yang telah mendaftar dan akan menjalani psikotes, Gerindra menetapkan kebijakan bahwa nantinya komposisi caleg Gerindra 50 persen adalah kader. dari seluruh bakal calon anggota legislatif itu kemudian akan diverifikasi dan diseleksi untuk ditetapkan sebagai Daftar caleg Sementara (DCS) yang diserahkan kepada KPU. Selain interview ada psikotes yang akan dilakukan terhadap ribuan calon.
Ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan dari berita ini:
1. Menurut saya mereka adalah caleg pencari kerja, dan sepertinya tidak tahu apa dan pekerjaan apa Anggota DPR/DPRD dan DPD apalagi spesifikasi kerjanya. Saya khawatir, para caleg dari iklan ini hanya tahu bahwa betapa enaknya menjadi anggota DPR/DPRD, duduk di ruangan besar dan mewah, kursi empuk, dapat gaji besar dan mobil yang nyaman.
Tahukah mereka kerja anggota DPR/DPRD? Secara ringkas dan sederhana, bahasa Inggris untuk anggota DPR/DPRD salah satunya adalah lawmaker atau pembuat undang-undang. Pahamkan mereka bagaimana membuat undang-undang? Pahamkah mereka membaca undang-undang?
Pekerjaan anggota DPR/DPRD lainnya adalah menseleksi dan menentukan pimpinan-pimpinan lembaga negara. Tahukah para caleg tersebut mengenai kualifikasi untuk tugas ini?
2. Hal ini menunjukkan bahwa pengkaderan di banyak partai politik di Indonesia tidak berjalan sebagaimana harusnya. Tidak ada ideologi partai yang diajarkan dan diwariskan turun temurun dari petinggi partai kepada pengurus dan kader-kader di bawahnya. Tak heran, jika banyak kader dan pengurus partai loncat ke partai lain ketika partai lain menawarkan fasilitas yang lebih memuaskan.
Dan ketika pendaftaran caleg dimulai, partai baru mulai bergerak mencari caleg, salah satunya dengan iklan, karena kader mereka tidak mencukupi atau kualitasnya tidak memenuhi standar mereka.
Apalagi ketika para partai politik dihadapkan dengan salah satu pasal di UU kepemiluan yaitu UU no. 8/2012 bahwa caleg yang diajukan harus berisi 305 caleg perempuan. Maka caleg perempuan yang muncul adalah "caleg asal colek". Yang penting perempuan, maka dimasukkalah ke dalam daftar caleg mereka.
Beberapa waktu lalu saya mengumumkan sejumlah posisi sebagai tenaga ahli kepemiluan, konsultan dan trainer kepemiluan untuk wilayah nasional dan regional Asia. Beberapa orang mengirim CV tanpa pengalaman di bidang kepemiluan, sekalinya ada, levelnya petugas KPPS.
Ketika mendaftar sebagai komisioner Bawaslu nasional awal 2012 lalu, saya ketar ketir untuk ikut mendaftar, mengingat beratnya tugas sebagai komisioner. Kalau tidak didorong beberapa tokoh pemilu level nasional, saya tidak berani mendaftar, karena tidak pede.
Di tempat penyerahan berkas di Kemendagri, saya bertemu seorang ibu rumah tangga kerjanya telemarketing (free lance) di sebuah bank, pengalaman kepemiluannya sebagai pemantau di sebuah organisasi pemantau pemilu yang saya tahu betul bubar setelah pemilu 1999 selesai. Kerja pemantauannya pun cuma 1 hari dan itupun hanya tahun 1999 saja.
Ada lagi kakek-kakek pensiunan yang ngotot maunya menyerahkan ijasah sarjana saja, dengan alasan, kalau cari kerja yang diminta cuma ijasah terakhir, padahal yang diminta panitia adalah ijasah lengkap dari SD-universitas, karena terkait rekam jejak calon. Belum lagi cerita lainnya dan apalagi di lembaga penyelenggara pemilu di level bawahnya....
Pelaksanaan Pemilu memang kerja kolektif yang membutuhkan banyak orang. Kalau untuk level di bawah seperti KPPS, PPL atau PPS bolehlah orang yang baru, meski saya tau banyak juga di antara KPPS, PPL dan PPS adalah orang yang sudah berpengalaman di bidang tersebut dalam beberapa pemilu.
Tetapi untuk level di atasnya, haruslah orang yang berpengalaman dalam beberapa level administrasi kepemiluan. Karena itu saya mendorong kepada teman-teman yang sudah bertugas menjadi KPPS, PPS dan PPL untuk mau pindah ke level yang di atasnya, menjadi KPUD Kabupaten/Kota atau panwaslu Kabupaten/Kota dan tentu saja dengan meng-update pengetahuan kepemiluannya dari berbagai sumber.
Bahan bacaan :
No comments:
Post a Comment