Website counter

Wednesday, August 31, 2016

Rekrutmen kandidat parlemen

Oleh : Pipit Apriani
Peneliti ForDE (Forum on Democracy and Election)

Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Di sejumlah negara, rekrutmen orang-orang yang akan menjadi kandidat diatur oleh undang-undang pemilu atau bahkan UUD. 

Di Jerman, the Basic Law Jerman menuntut setiap partai politik untuk mengelola urusan internal partai politik mereka masing-masing  secara demokratis. Pengertian demokratis mencakup berbagai hal termasuk dalam menyeleksi kandidat yang akan diajukan dalam pemilu federal atau negara bagian (Land).

Di Indonesia, seleksi kandidat diserahkan kepada partai politik masing-masing. Di Partai Gerindra, seleksi kandidat terdapat dalam AD/ART-nya. 

Di Finlandia rekrutmen kandidat diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. 

Di banyak negara yang demokrasinya mapan, seleksi kandidat tidak diatur dalam UU seperti Finlandia 

Catatan penulis: Data akan ditambahkan, jika ada informasi terbaru.

Sumber: 
1. AD/ART Partai Gerindra
2. Bernhard Wessels, "Germany" dalam buku Passages to Power: Legislative Recruitmet in Advanced Democracies, edited by Pippa Norris, Cambridge: Cambridge University Press, 1997, hal. 78   

Wednesday, August 17, 2016

By elections atau Pemilu antara

Oleh : Pipit Apriani
Peneliti ForDE (Forum on Democracy and Election)
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ketika seorang anggota parlemen atau legislatif tidak dapat melaksanakan tugasnya, apakah meninggal, mengundurkan diri atau menjadi eksekutif (perdana menteri atau menteri), maka ada peraturan untuk menggantikan anggota tersebut. Di Indonesia peraturan ini dinamakan dengan PAW atau Pergantian Antar Waktu. 

Di sejumlah negara, maka dilakukan pemilu yang dinamakan by elections atau pemilu antara. Negara yang menyelenggarakan by elections salah satunya adalah Myanmar di tahun 2012. Ada 48 kursi parlemen yang kosong, karena anggota legislatif yang bersangkutan menempati posisi sebagai menteri kabinet atau eksekutif. 

Namun, ada juga negara yang tidak menggunakan by elections, salah satunya adalah Indonesia. Indonesia menggunakan PAW yang diatur dalam peraturan KPU. 
  • Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 24 Maret 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 02 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Verifikasi Syarat Calon Pengganti Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Pemilihan Umum Tahun 2009 ()
  • Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2016 tanggal 24 Maret 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Verifikasi Syarat Calon Pengganti Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Hasil Pemilihan Umum
Jerman juga tidak mengenal by elections. Kursi anggota legislatif yang kosong karena aleg tersebut meninggal atau mengundurkan diri akan akan diisi oleh kandidat dari party list yang ada. 
Jerman adalah negara yang menggunakan sistem pemilu MMP (Mixed Member Proportional). Separuh dari anggota parlemen Jerman dipilih dengan sistem pemilu first past the post atau dapil berwakil tunggal. Satu dapil hanya akan diwakili oleh satu orang saja. Dan setiap partai hanya menempatkan satu kandidat saja. Separuh lagi menggunakan sistem pemilu proporsional daftar tertutup atau dapil berwakil banyak. Dapil yang digunakan adalah negara bagian dna kandidatnya disusun berdasarkan nomor urut, inilah yang disebut dengan party list atau daftar partai. Jika ada aleg yang tidak dapat bekerja lagi di Bundestag, apakah dia menang di distrik (yang menggunakan sistem FPTP) atau di dapil negara bagian (yang menggunakan sistem proporsional), maka yang mengisi kursi tersebut  adalah kandidat di nomor urut berikutnya dalam party list.   



Catatan penulis: 
Data akan ditambah, jika ada data dan informasi terbaru.  


Sumber: 
1. https://en.wikipedia.org/wiki/Myanmar_by-elections,_2012 
2. http://paw.kpu.go.id/index.php
3. Sumber: Bernhard Wessels, "Germany" dalam buku Passages to Power: Legislative Recruitmet in Advanced Democracies, edited by Pippa Norris, Cambridge: Cambridge University Press, 1997, hal. 78  

Negara-negara dengan compulsory voting

oleh : Pipit Apriani
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Memberikan suara dalam pemilihan umum tidak menjadi kewajiban di Indonesia setelah pemilu pasca Reformasi. Setidaknya saat ini ada 21 negara yang memberikan kewajiban kepada warga negaranya yang terdaftar sebagi pemilih untuk memberikan suara dalam pemilu yang diselenggarakan di negara tersebut. 

Negara-negara tersebut adalah
1. Argentina, 
2. Austria, 
3. Australia, 
4. Belgia, 
5. Bolivia, 
6. Brazil, 
7. Cyprus, 
8. Republik Dominika, 
9. Mesir, 
10. Yunani, 
11. Guatemala, 
12. Honduras, 
13. Liechtenstein, 
14. Luxemburg, 
15. Panama, 
16. Pilipina, 
17. Singapura, 
18. Swis, 
19. Uruguay, 
20. Thailand, 
21. Venezuela, 

Di Australia, warga negara yang sudah berusia 18 tahun atau lebih diwajibkan oleh undang-undang untuk mendaftar sebagai pemilih dan datang ke TPS untuk memberikan suara dalam pemilu federal, negara bagian dan teritori. Jika tidak mampu memberikan alasan yang masuk akal, maka orang tersebut akan dikenakan denda, bahkan hukuman penjara. 

Di Thailand (saya memantau pemilu Thailand Juli 2011) pemilih yang tidak memberikan suara tidak boleh menjadi caleg pada pemilu selanjutnya dan tidak berhak mengajukan protes kepada lembaga penyelenggara pemilu. 

Argumen untuk compulsory voting atau kewajiban memberikan dalam pemilu adalah:
1. Merupakan tugas warga negara
2. Mendorong partisipasi politik
3. Meningkatkan legitimasi bagi mereka yang terpilih

Mereka yang menentang compulsory voting menganggap bahwa compusory voting tidak demokratis karena memaksa orang untuk memberikan suara, memaksa orang yang memiliki pengetahuan politik minim untuk memilih, dan pada akhirnya menyebabkan banyaknya surat suara yang rusak.

Compulsory voting dan banyaknya surat suara yang rusak perlu diteliti lagi hubungannya dan statistiknya. 

Bahan bacaan: 
http://conflictresearch.org.uk/reports/young-people/Youth-Participation-in-Democratic-Process.pdf

Negara-negara dengan compulsory voting

oleh : Pipit Apriani
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Memberikan suara dalam pemilihan umum tidak menjadi kewajiban di Indonesia setelah pemilu pasca Reformasi. Setidaknya saat ini ada 21 negara yang memberikan kewajiban kepada warga negaranya yang terdaftar sebagi pemilih untuk memberikan suara dalam pemilu yang diselenggarakan di negara tersebut. 

Negara-negara tersebut adalah
1. Argentina, 
2. Austria, 
3. Australia, 
4. Belgia, 
5. Bolivia, 
6. Brazil, 
7. Cyprus, 
8. Republik Dominika, 
9. Mesir, 
10. Yunani, 
11. Guatemala, 
12. Honduras, 
13. Liechtenstein, 
14. Luxemburg, 
15. Panama, 
16. Pilipina, 
17. Singapura, 
18. Swis, 
19. Uruguay, 
20. Thailand, 
21. Venezuela, 

Di Australia, warga negara yang sudah berusia 18 tahun atau lebih diwajibkan oleh undang-undang untuk mendaftar sebagai pemilih dan datang ke TPS untuk memberikan suara dalam pemilu federal, negara bagian dan teritori. Jika tidak mampu memberikan alasan yang masuk akal, maka orang tersebut akan dikenakan denda, bahkan hukuman penjara. 

Di Thailand (saya memantau pemilu Thailand Juli 2011) pemilih yang tidak memberikan suara tidak boleh menjadi caleg pada pemilu selanjutnya dan tidak berhak mengajukan protes kepada lembaga penyelenggara pemilu. 

Argumen untuk compulsory voting atau kewajiban memberikan dalam pemilu adalah:
1. Merupakan tugas warga negara
2. Mendorong partisipasi politik
3. Meningkatkan legitimasi bagi mereka yang terpilih

Mereka yang menentang compulsory voting menganggap bahwa compusory voting tidak demokratis karena memaksa orang untuk memberikan suara, memaksa orang yang memiliki pengetahuan politik minim untuk memilih, dan pada akhirnya menyebabkan banyaknya surat suara yang rusak.

Compulsory voting dan banyaknya surat suara yang rusak perlu diteliti lagi hubungannya dan statistiknya. 

Bahan bacaan: 
http://conflictresearch.org.uk/reports/young-people/Youth-Participation-in-Democratic-Process.pdf