Website counter

Tuesday, October 1, 2013

Kemenangan partai Tamil dan Sumpah Pemuda

Mereka yang berpendapat bahwa bahasa merupakan suatu hal yang sepele harus berpikir ulang.  Pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka yang berlangsung selama 30 tahun dan berakhir tahun 2009 merupakan salah satu buktinya. 

Partai Tamil National Alliance (TNA) menang telak dalam pemilu parlemen provinsi di Provinsi Utara Sri Lanka yang dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013 lalu. TNA berhasil mendapatkan 30 kursi dari 38 kursi yang ada. Meskipun kekuasaan parlemen provinsi terbatas dan masih di bawah kekuasaan presiden, kemenangan ini membuka satu babak baru dalam demokrasi di provinsi utara tersebut, juga rekonsiliasi bagi rakyat Tamil dan Sri Lanka lainnya yang menderita dalam konflik bersenjata. Pemimpin TNA Rajavarothiam Sampanthan berkata bahwa kemenangan ini merupakan „kesempatan bagi setiap orang untuk berfikir secara jernih tentang masa depan“. 

Secara politik, jelas rakyat Tamil membutuhkan level derajat yang lebih tinggi dalam pemerintahan, meski menang, Tamil melalui TNA harus bernegosiasi lagi secara intensif dengan Colombo. Selama ini Tamil merasa sebagai masyarakat kelas dua di Sri Lanka. 

Saya di depan sebuah TPS di Mannar District, Provinsi Utara Sri Lanka dengan pemilih
Pemilu parlemen provinsi ini merupakan pemilu yang pertama setelah 30 tahun, dan dijanjikan oleh pemerintah Sri Lanka sejak 10 tahun yang lalu, tetapi karena berbagai hal baru bisa dilaksanakan tahun ini. Pemilu ini dlaksanakan di bawah pengamatan dan komunitas internasional untuk rekonsiliasi antara minoritas Tamil dan mayoritas Sinhala yang mengontrol Sri Lanka dalam pemerintahan dan militer. 

Awal mula kekerasan antar etnik
Tahun 1944, J.R.Jayawardane mengajukan ke parlemen bahwa Sinhala harus menjadi satu-satunya bahasa resmi di Sri Lanka. Tak lama kemudian dia mengubah proposal tersebut dengan memasukkan bahwa Tamil juga harus menjadi bahasa resmi di Sri Lanka. Sejumlah kelompok Sinhala fanatik menolak hal tersebut. S.W.R.D.Bandaranayake memanfaatkan isu ini dalam kampanyenya: jika terpilih, dia akan menjadikan Sinhala sebagai satu-satunya bahasa resmi di Sri Lanka dalam waktu 24 jam. Dan dia memenangkan pemilu.  
Sementara isu tersebut diperdebatkan di parlemen, di wilayah Galle kedua kubu berkumpul dan timbul konflik. Anggota parlemen Tamil diceburkan ke danau, sebagian dipukuli. Bahkan orang Sinhala yang mirip orang Tamil juga dipukuli. Usulan menjadikan bahasa Tamil sebagai bahasa resmi selain bahasa Sinhala diajukan berulang-ulang di Parlemen dan hasilnya maju mundur. Terkadang disetujui, tetapi karena desakan kelompok fanatik, dibatalkan. Bahkan menjadikan bahasa Tamil sebagai bahasa regional, bahasa yang digunakan di wilayah Utara dan Timur juga ditolak.  

Kebijakan bahasa Sinhala sebagai bahasa resmi satu-satunya di Sri Lanka menyingkirkan Tamil yang bekerja sebagai pegawai pemerintah. Mereka terpaksa harus belajar bahasa Sinhala dan ujian dalam bahasa Sinhala. Karena keterbatasan kosa kata Sinhala, mereka tidak mendapatkan promosi dan kenaikan gaji tahunan. Ujian masuk universitas hanya tersedia dalam bahasa Sinhala, bahkan kendaraan diberi nomor dan angka hanya dalam alfabet Sri, alfabet Sinhala. Dengan demikian, tertutup kemungkinan bagi Tamil untuk menjadi pegawai negeri. Bagi Tamil yang tidak menguasai dan tidak belajar bahasa Sinhala, pilihan satu-satunya adalah menjadi petani. 

Wilayah Utara Sri Lanka dimana mayoritas Tamil berada merupakan wilayah yang gersang dan kering, sehingga sulit bertani. Maka Tamil  melirik wilayah Timur yang lebih subur dan banyak didiami oleh Tamil juga. Tetapi Sinhala sudah mengkolonisasi wilayah Timur. Rasa marah dan frustrasi kemudian mendorong Tamil menyerang prosesi keagamaan perayaan Wesak Poya (Waisak pada bulan purnama) yang mengakibatkan kerusuhan. DS Senanayake, pemimpin gerakan Temperance ditangkap. 

Tahun 1956, banyak toko milik orang Tamil dibakar, ini bisa jadi menjadi salah satu alasan kenapa LTTE membalas dengan menyerang orang Muslim dan toko milik orang Muslim di wilayah Timur. Orang Muslim diketahui pro Sinhala. Karena balas dendam dan pembakaran ini, orang Muslim kemudian mengungsi ke Puttalam yang terletak di North Western Sri Lanka. 

Juli 1983, the Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) mulai melakukan sejumlah pemberontakan. Tujuan mereka adalah membentuk negara Eelam yang terpisah dari negara Sri Lanka. Negara Eelam tersebut terdiri dari wilayah Utara dan Timur Sri Lanka. Setelah negosiasi yang cukup alot dalam tahun 2002-2005 akhirnya LTTE menyerah dan bergabung kembali dengan Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka berjanji untuk memberikan sejumlah posisi pemerintahan kepada Tamil dan salah satunya adalah pemilu parlemen provinsi. Tanggal 21 September 2013 merupakan tonggak bersejarah bagi Sri Lanka dan khususnya Tamil, karena pemilu tersebut merupakan pemilu parlemen provinsi pertama setelah 30 tahun.

Sumpah pemuda Indonesia
Ketika saya memantau pemilu parlemen provinsi tersebut, sejumlah orang Sri Lanka baik Sinhala, Muslim dan Tamil bertanya bahasa apa yang digunakan di Indonesia. Saya menjelaskan bahwa Indonesia memiliki ratusan suku dan ratusan bahasa lokal, tetapi Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai lingua franca atau bahasa pemersatu. Jadi dari ujung Sabang sampai ujung Papua, semua orang bisa berbicara dan mengerti bahasa Indonesia. Semua dokumen ditulis dalam bahasa Indonesia, termasuk buku sekolah, walaupun sehari-hari mereka tetap berbicara dalam bahasa lokal mereka. Dan mereka terperanjat, karena selama ini mereka bertempur habis-habisan puluhan tahun karena mempertimbangkan apakah bahasa Tamil menjadi salah satu bahasa resmi Sri Lanka atau tidak.

Dalam hal ini kita wajib mengucapkan terima kasih yang tak terhingga bagi para pemuda-pemuda Indonesia yang tercerahkan di awal abad 20. Berbagai peristiwa perjuangan melawan Belanda yang sporadis menyadarkan mereka bahwa untuk memenangkan kemerdekaan mereka harus bersatu dan melupakan perbedaan yang ada, salah satunya dalah bahasa. 

Selamat kepada Sri Lanka yang berhasil menyelenggarakan pemilu parlemen provinsi dengan aman dan selamat tanpa insiden yang berarti. 


Artikel ini telah dimuat di :

Northern Provincial Election Day Statement by PAFFREL

The polls for the provincial council elections in the Central, North Western and Northern provinces closed at 4 pm today and were generally peaceful.  Polling took place in eight electoral districts in the three provinces based on the 2012 electoral register in which a total of 4,328,263 voters were eligible to exercise their franchise.   These elections were significant due to the Northern Provincial Council elections being held for the first time and being subjected to national and international scrutiny.  There was considerable enthusiasm to be seen amongst voters in the North, which is an encouraging sign of the progressive restoration of democratic spirit amongst the people in post-war Sri Lanka.

the long queue on ED, Mannar District

 On Election Day, PAFFREL deployed 3500 stationary observers, 750 mobile observers, and 8 international observers from the Asian Network for Free Elections (ANFREL).  In addition our observation teams were supported by nearly 50 lawyers who volunteered their services on the day of elections.  The election observing process was supported by 116 divisional coordinators at divisional secretariat level.

PAFFREL received a total of 106 complaints on Election Day of which 40 complaints were from the Central Province, 32 complaints from the North Western Province and 34 complaints from the Northern Province.  Some of these complaints have yet to be verified, and our findings will be included in our final report.   Violations reported to us included an incident in which there was shooting in the air and assault of political rivals in Kandy and the burning of an opposition polling agent’s house in Mullaitivu.  

Altogether, there were pre-polls 495 complaints of which 117 were about violence and threats of violence.    There were also attacks on party campaign offices. There were 36 assaults which led to the hospitalization of 43 individuals.  Intra party violence was common.   The Northern Province was relatively free from violence, though not from intimidation.   There were 90 complaints of misuse of state resources and 244 complaints of other violations of election laws.

Among the complaints that PAFFREL was able to verify, the most serious in terms of their impact on the democratic process were the incidents in the Northern Province.  Our observers received several complaints of incidents of military personnel getting involved in the election process.   The complaints included the military campaigning for a few selected candidates in a few selected areas, advising voters


for whom to vote and not vote, and an attack on the residence of a prominent opposition TNA candidate on the night before the elections.  One of PAFFREL’s volunteers, a lawyer attached to one of our five Complaints Units in the Northern Province, who rushed to the scene was assaulted and had to be hospitalized.

PAFFREL’s international observers noted prior to the election that, “The direct participation of the military remains the most contentious concern of the public, the opposition parties/candidates as well as civil society organizations including members of the clergy.”    However, the northern army commander denied any involvement of the military in the on-going election when our international observers sought clarification from him on the matter.   A senior police officer in the Northern Province accused the TNA and Tamil media of spreading stories to our international observers.

On the day of the election there were further serious violations of election law when small groups of military personnel in civilian attire congregated outside polling stations which had an intimidating impact on onlookers and voters alike.  When our observers asked them what they were doing, they said there were observing the polling in order to preserve the peace.  Another violation reported to us by our observers was the repeated broadcast by a local television station claiming, falsely, that a TNA candidate had crossed over and joined the government alliance.  We also condemn the physical attack on the election observers of another organization by members of the ruling alliance.

In all three provinces, there was blatant abuse of governmental resources of campaigning, including government staff officers, their offices and vehicles. On positive side, we wish to commend the Election Commissioner who tried his best in the circumstances to do whatever was in his capacity, but he lacked the wherewithal to ensure the necessary outcome.  We also acknowledge that some senior members of the government and party leaders, as well as many police officers, made sincere attempts to control the abuse of election laws.  Their failure points to the need for institutional reform, and a change in the political culture which PAFFREL is committed to work towards.  

We also call on the government to investigate the specific attacks on candidates and election observers that took place during the course of the election.



Rohana Hettiarachchie

Executive Director