Website counter

Thursday, March 28, 2013

Caleg pencari kerja dan kualitas sumber daya manusia di bidang kepemiluan di Indonesia

Sebuah berita di media online pagi ini cukup menarik perhatian saya. "1.700 caleg Gerindra mendaftar karena iklan di media". Partai Gerindra membuka iklan di beberapa media massa untuk merekrut bakal calon anggota legislatif di Pileg 2014. Dari total 2.744 orang yang mendaftar, sebanyak 1.700 mendaftar karena iklan.

Dari sekian banyak yang telah mendaftar dan akan menjalani psikotes, Gerindra menetapkan kebijakan bahwa nantinya komposisi caleg Gerindra 50 persen adalah kader. dari seluruh bakal calon anggota legislatif itu kemudian akan diverifikasi dan diseleksi untuk ditetapkan sebagai Daftar caleg Sementara (DCS) yang diserahkan kepada KPU. Selain interview ada psikotes yang akan dilakukan terhadap ribuan calon. 

Ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan dari berita ini: 
1. Menurut saya mereka adalah caleg pencari kerja, dan sepertinya tidak tahu apa dan pekerjaan apa Anggota DPR/DPRD dan DPD apalagi spesifikasi kerjanya. Saya khawatir, para caleg dari iklan ini hanya tahu bahwa betapa enaknya menjadi anggota DPR/DPRD, duduk di ruangan besar dan mewah, kursi empuk, dapat gaji besar dan mobil yang nyaman. 

Tahukah mereka kerja anggota DPR/DPRD? Secara ringkas dan sederhana, bahasa Inggris untuk anggota DPR/DPRD salah satunya  adalah lawmaker atau pembuat undang-undang. Pahamkan mereka bagaimana membuat undang-undang? Pahamkah mereka membaca undang-undang? 

Pekerjaan anggota DPR/DPRD lainnya adalah menseleksi dan menentukan pimpinan-pimpinan lembaga negara. Tahukah para caleg tersebut mengenai kualifikasi untuk tugas ini?


2. Hal ini menunjukkan bahwa pengkaderan di banyak partai politik di Indonesia tidak berjalan sebagaimana harusnya. Tidak ada ideologi partai yang diajarkan dan diwariskan turun temurun dari petinggi partai kepada pengurus dan kader-kader di bawahnya. Tak heran, jika banyak kader dan pengurus partai loncat ke partai lain ketika partai lain menawarkan fasilitas yang lebih memuaskan. 

Dan ketika pendaftaran caleg dimulai, partai baru mulai bergerak mencari caleg, salah satunya dengan iklan, karena kader mereka tidak mencukupi atau kualitasnya tidak memenuhi standar mereka. 

Apalagi ketika para partai politik dihadapkan dengan salah satu pasal di UU kepemiluan yaitu UU no. 8/2012 bahwa caleg yang diajukan harus berisi 305 caleg perempuan. Maka caleg perempuan yang muncul adalah "caleg asal colek". Yang penting perempuan, maka dimasukkalah ke dalam daftar caleg mereka.


Beberapa waktu lalu saya mengumumkan sejumlah posisi sebagai tenaga ahli kepemiluan, konsultan dan trainer kepemiluan untuk wilayah nasional dan regional Asia. Beberapa orang mengirim CV tanpa pengalaman di bidang kepemiluan, sekalinya ada, levelnya petugas KPPS. 


Ketika mendaftar sebagai komisioner Bawaslu nasional awal 2012 lalu, saya ketar ketir untuk ikut mendaftar, mengingat beratnya tugas sebagai komisioner. Kalau tidak didorong beberapa tokoh pemilu level nasional, saya tidak berani mendaftar, karena tidak pede.

Di tempat penyerahan berkas di Kemendagri, saya bertemu seorang ibu rumah tangga kerjanya telemarketing (free lance) di sebuah bank, pengalaman kepemiluannya sebagai pemantau di sebuah organisasi pemantau pemilu yang saya tahu betul bubar setelah pemilu 1999 selesai. Kerja pemantauannya pun cuma 1 hari dan itupun hanya tahun 1999 saja.

Ada lagi kakek-kakek pensiunan yang ngotot maunya menyerahkan ijasah sarjana saja, dengan alasan, kalau cari kerja yang diminta cuma ijasah terakhir, padahal yang diminta panitia adalah ijasah lengkap dari SD-universitas, karena terkait rekam jejak calon. Belum lagi cerita lainnya dan apalagi di lembaga penyelenggara pemilu di level bawahnya....

Pelaksanaan Pemilu memang kerja kolektif yang membutuhkan banyak orang. Kalau untuk level di bawah seperti KPPS, PPL atau PPS bolehlah orang yang baru, meski saya tau banyak juga di antara KPPS, PPL dan PPS adalah orang yang sudah berpengalaman di bidang tersebut dalam beberapa pemilu. 

Tetapi untuk level di atasnya, haruslah orang yang berpengalaman dalam beberapa level administrasi kepemiluan. Karena itu saya mendorong kepada teman-teman yang sudah bertugas menjadi KPPS, PPS dan PPL untuk mau pindah ke level yang di atasnya, menjadi KPUD Kabupaten/Kota atau panwaslu Kabupaten/Kota dan tentu saja dengan meng-update pengetahuan kepemiluannya dari berbagai sumber.  




Bahan bacaan :

Friday, March 22, 2013

Mari melihat Timur Tengah dengan cara yang berbeda


Meski banyak orang Islam di Indonesia, tapi pengetahuan kita tentang Timur Tengah sepertinya dan sebenarnya sangat terbatas. Pengetahuan-pengetahuan tentang Timur Tengah terkunci di bilik-bilik pesantren dan yang keluar ke masyarakat umum hanya yang terkait dengan agama saja, baik peraturan, larangan maupun kesakralan agama. Orang kemudian takut mendiskusikannya, karena khawatir disebut kafir atau bid’ah.

Even though most Indonesians are moslem, but our knowledge about Middle East countries is very limited. The knowledge is locked and discussed only among pesantren walls (traditional Islamic school and dormitory) and what spread out to the public is only about the Islam regulation, Islam forbids, Islam punishment and the sacred of them. People are then afraid to discuss further, otherwise they will be called as "kafir" or "bid'ah". 

Apalagi kemudian, masuk ke negara-negara Timur Tengah tidak terlalu mudah bagi orang Indonesia, misalnya kita mau ke Arab Saudi, harus dengan visa haji atau umroh dan harus dengan pasangan mahram, itupun ada musimnya. 

Additionally, it's a bit difficult to go to middle east countries for Indonesians. For example, if we want to go to Arab Saudi, it should be for hajj or umroh pilgrim with special visa, and with our own legal partner, especially for women, it is prohibited to go there alone or by herself. Women should be escorted by the husband. And we can't go there anytime.

Mereka yang pernah ke sana atau tahu tentang Timur Tengah merasa paling tahu tentang Timur Tengah, meski hanya dari satu sumber saja. Begitu ada sumber lain yang berbeda dengan sumbernya, maka mereka pun terganggu. Dan mengecam, bahwa itu untuk menjelek-jelekkan Islam.

People who ever been there, think that they are the only persons who know everything about middle east countries, though they know only from one source, or even their own experience. It is actually no big problem, everybody has their own reaction to their experience. The problem is when they find that there is another different, or totally different reactions and view from another source like theirs, they will feel disturbed and react, "It is to mischief Islam".

I was in burqa in a women apparel shop at Puli Khumri market, Prov. Baghlan, Afghanistan, September 2010 

Ketika saya ke Afghanistan dan bercerita sedikit tentang Afghanistan, karena memang cuma sebentar di sana sehingga yang bisa diceritakan cuma sedikit, banyak orang yang terkaget-kaget karena suasana Afghanistan jauh berbeda dengan yang ada di media massa. Catatan: Afghanistan sebenarnya masuk ke Asia Tengah. Tetapi banyak orang Indonesia, termasuk saya, menganggap Afghanistana daah bagian dari Negara Timur Tengah.

When I was back from Afghanistan and talked a bit about Afghanistan, its people, its situation, its landscape, many people were surprised because it is so different like what mass media talked. Note: Afghanistan actually belongs to Central Asia, not middle east, but many people, include I, think it is middle east countries. 

Mari kita lihat Timur Tengah dari berbagai perspektif sehingga lebih obyektif.
Let's see middle east countries from different perspectives, from different sources, from different reactions to be more objective.

Friday, March 15, 2013

Peta Kekuatan Faksi Demokrat Menjelang Kongres


Partai Demokrat mau tidak mau harus menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menunjuk ketua umum menggantikan Anas Urbaningrum yang telah mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang. KLB harus dilakukan karena terkait dengan pendaftaran caleg yang akan dimulai pada 9 April 2013 mendatang. Pendaftaran caleg melalui Daftar caleg Sementara (DCS) harus dilakukan dengan tanda tangan dari Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai.

Ada tiga faksi yang disebut-sebut akan bertarung untuk menjadi pucuk pimpinan Demokrat. Ketiga faksi itu muncul seperti saat Kongres Partai Demokrat pada 2010 lalu. Kali ini faksi yang muncul ke permukaan adalah  faksi Marzuki Alie, Anas Urbaningrum dan Cikeas.

Faksi Marzuki Alie, berpendapat bahwa calon kuat dan yang paling cocok untuk menggantikan posisi Anas Urbaningrum sebagai ketua umum adalah Marzuki Alie. Menurut Achsanul, yang dibutuhkan Demokrat saat ini adalah ketua umum yang sudah paham medan, dari internal dengan demikian mengerti secara psikologi struktur DPP. Sebagai informasi, Pak Marzuki mantan sekjen ketika masuk ke DPC sudah paham. Sehingga jika nanti terpilih sebagai ketua umum, bisa langsung bekerja, tanpa perlu konsolidasi serta mempelajari.

Faksi Anas Urbaningrum spertinya akan mencalonkan Saan Mustopa yang  berstatus sebagai wakil sekjen dalam kepengurusan 2010-2015. Saan Mustopa juga merupakan aktivis HMI yang selama ini jaringannya sangat berpengaruh di Partai Demokrat. Saan yang juga anggota Komisi III DPR, tidak membantah dirinya mendapat dukungan DPC dan DPD Partai Demokrat untuk maju menjadi ketum. Saan sendiri hingga saat ini memang selalu intens berkomunikasi dengan DPC dan DPD Partai Demokrat.

Faksi Cikeas dikabarkan akan memunculkan beberapa nama. Dari internal partai, ada nama Sekjen Demokrat Edhie Baskoro (Ibas) dan Sekretaris Dewan Pembina Jero Wacik. Jero adalah politikus senior Demokrat. Dia pun terlihat malu-malu saat ditanya soal akan majunya menjadi ketua umum dalam KLB nanti. Sementara calon dari luar yang direstui Cikeas adalah Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo, Djoko Suyanto, dan Gita Wirjawan. 

Thursday, March 14, 2013

Boundary constituencies demarcating for Indonesian General election 2014


KPU Determined 2,361 
Boundary Constituencies of  
DPRD Province and DPRD District/Municipality


Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) or Election Commission of Indonesia determined boundary constituencies or daerah pemilihan (short is ‘dapil’) for Parliament of Province (DPRD) and Parliament of District/Municipality (DPRD Kabupaten/Kota) across Indonesia on Wednesday (9/3/2013). Total number of dapil DPRD is 259 dapil and DPRD Kabupaten/Kota is 2.102 dapil.

In upcoming general election 2014, there are more dapils for Parliament of Province (DPRD) and Parliament of District/Municipality (DPRD Kabupaten/Kota) compared election 2009. The increase of population is caused the seats in one dapil exceed maximum 12 seats. 

DKI Jakarta as capital has 10 dapils with 106 seats for DPRD Province.


In general election 2009, there were 217 dapils for Parliament of Province (DPRD) and 1,851 dapils for Parliament of District/Municipality. West Jawa and North Sumatera were two provinces with the most dapils for Parliament of Province (DPRD) in Indonesia. They had 12 dapils with 100 seats each.

Central Java had 10 dapils and East Java Timur had 11 dapils, each has 100 seats for Parliament of Province (DPRD). Other provinces that had the less dapils were Central Kalimantan, North Maluku and West Papua Barat had 5 dapils with 45 seats each.

One of Commissioner of KPU RI, Ferry Kurnis Rizkiyansyah, said that in some provinces like Papua and West Papua the vast area and distribution of population are the significant differences  between one dapil and other dapil. The population is so dense in one area and in another place people live evenly. This can’t be avoided, because the determining of seat allocation refers to population. 

Ferry clarified that KPU designed dapils with consideration of all principles of constituency boundaries demarcation referred to KPU Regulation Nr 5/2013. KPU is very independent in demarcating. The process started from KPU Provinces and involved public participation. KPU National examined the results again to check all the aspects, whether it followed the principles of demarcating and determining of dapils. 

According to KPU Regulation Nr 5/2013, there are 7 principles of constituency boundaries demarcating: vote equality, fidelity to proportional electoral system, integrity of area, proportionality, in the same area scope, the cohesivity and sustainability.  

In average, most dapils have allocation seat between 6 – 12 seats.  KPU gives priority to dapils with many seats in order that the percentage of seats of any political parties get, will be the same with the vote they get in election. 

However, there are some provinces that have more dapils, means the allocation seats for them are 3-4 seats, it is minimum. It is happened in the provinces that has many islands or geographically is difficult to access. 

In upcoming general election 2014 there are 2,112 seats of Parliament of Province (DPRD) and 16,895 seats of Parliament of District/Municipality (DPRD Kabupaten/Kota) will be competed by political parties. We hope that the competition will be free and fair, with more promoting vision and mission,  in order to have a qualified election.  

Tuesday, March 12, 2013

Daerah Pemilihan Pemilu Legislatif 2014


KPU Tetapkan 2.361 Dapil DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Senin, 11 Maret 2013

Jakarta, kpu, go, id- Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah menetapkan daerah pemilihan (dapil) untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, Rabu lalu (9/3). Jumlah dapil DPRD Provinsi sebanyak 259 dan DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 2.102 dapil.

Ketua KPU RI Husni Kamil Manik mengatakan secara nasional terjadi penambahan dapil DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dibanding pada pemilu 2009. “Penambahan dapil terjadi karena pertambahan jumlah penduduk sehingga jumlah kursi di satu dapil melebihi batas maksimal 12 kursi,” terang Husni, Senin (11/3).

Pada pemilu 2009 jumlah dapil untuk DPRD Provinsi sebanyak 217 dapil dan DPRD Kabupaten/kota sebanyak 1.851 dapil. Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan dua provinsi dengan dapil DPRD Provinsi terbanyak di Indonesia yakni 12 dapil dengan jumlah kursi 100.

Selain itu, Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapat alokasi kursi 100 dengan jumlah dapil masing-masing 10 dan 11 dapil. Sementara DPRD Provinsi dengan jumlah dapil yang paling sedikit yakni Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Papua Barat, masing-masing lima dapil dengan 45 kursi.

Komisioner KPU RI Ferry Kurnis Rizkiyansyah menambahkan di beberapa daerah di Indonesia seperti Papua dan Papua Barat terdapat perbedaan yang signfikan antara luas wilayah satu dapil dengan luas dapil yang lain. Sebab penyebaran penduduk di kawasan tersebut tidak merata tetapi menumpuk di satu tempat.
Itu tidak dapat dihindari karena penyebaran penduduk kita tidak merata, sementara penentuan dapil itu
berdasarkan alokasi kursi dengan mengacu pada jumlah penduduk," ujarnya.

Ferry menegaskan KPU mendesain dapil dengan mempertimbangkan semua prinsip-prinsip penataan dan penetapan dapil yang sudah dituangkan dalam peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2013.
"KPU sangat independen dalam penentuan dapil. Prosesnya sudah dimulai dari KPU daerah dengan melibatkan partisipasi publik. Kemudian kita kaji lagi di pusat dengan melihat semua aspek dan prinsip-prinsip penataan dan penetapan dapil," ujarnya. 

Sesuai PKPU Nomor 5 Tahun 2013 ada tujuh prinsip penataan dan penetapan dapil yakni kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integritas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas dan kesinambungan.
Secara umum, kata Ferry, jumlah dapil di setiap daerah berkisar antara 6 sampai 12 kursi. KPU mengutamakan dapil dengan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik setara mungkin dengan perolehan suara yang diperolehnya.
"Namun ada beberapa daerah yang dapilnya jadi mekar, satu dapil kursinya sangat minimal hanya 3 dan 4 kursi. Hal seperti itu terjadi di daerah-daerah kepulauan atau daerah yang secara geografis sulit diakses sehingga untuk menjaga integritas wilayah perlu dapilnya dibuat menjadi lebih mekar," ujarnya.

Pada pemilu 2014 mendatang terdapat 2.112 kursi DPRD Provinsi dan 16.895 kursi DPRD Kabupaten/Kota yang akan diperebutkan partai politik peserta pemilu. "Kita berharap peserta pemilu berkompetisi secara sehat dengan mengedepankan visi dan misi sehingga pemilu berkualitas yang kita cita-citakan dapat terwujud," ujarnya. 

Sumber : website KPU Indonesia  

Saturday, March 9, 2013

Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2013


Siaran Pers Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2013:
“JANJI ADALAH JANJI: Cabut Peraturan Perundang-undangan Diskriminatif untuk Akhiri Kekerasan, Diskriminasi, dan Pemiskinan Perempuan”
 
 
Di Indonesia, kekerasan, diskriminasi, dan pemiskinan perempuan masih menjadi potret buram memprihatinkan. Dalam hal kekerasan misalnya, tahun 2011, Komnas Perempuan mencatat 119.107 kasus. Pada 2010, tercatat 105.103 kasus di lingkup domestik, publik, dan negara. Belum lagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya seperti tragedi perkosaan Mei 1998 dan pembantaian 1965. Diskriminasi dan pemiskinan sistemik terhadap perempuan juga masih terjadi, mulai dari masih adanya pembedaan pengupahan, hingga belum terciptanyanya sistem yang mendukung perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya dalam pembangunan.
Situasi ini turut dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada perempuan, bahkan menciptakan dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diskriminatif akibat pembakuan peran suami dan istri yang tidak setara, diskriminasi batas usia menikah dan aturan poligami terbatas. Pemberlakuan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melanggar hak asasi perempuan karena mengkriminalkan perempuan.
Tidak hanya itu. Komnas Perempuan mencatat 282 Perda yang mendiskriminasi perempuan dalam bentuk: pembatasan hak kebebasan berekespresi dalam produk hukum daerah tentang aturan berbusana; pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum akibat kriminalisasi dalam kebijakan daerah tentang prostitusi; penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum lewat kebijakan daerah tentang khalwat; pengabaian hak atas perlindungan lewat kebijakan daerah tentang PRT migran. Pemberlakuan Perda tersebut telah memicu kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Di Langsa, Aceh, seorang perempuan diperkosa Polisi Syariat ketika korban ditahan. Pada 2012, karena malu atas stigma negatif, seorang perempuan remaja bunuh diri setelah menjadi korban salah tangkap akibat pemberlakuan Perda. Korban lainnya, meninggal pada tahun 2008, akibat depresi atas peristiwa salah tangkap pemberlakuan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Sejumlah Perda mengatur mengenai peran serta masyarakat telah menciptakan kelompok “polisi moral” yang tidak segan menggunakan kekerasan. Secara luas, pemberlakuan Perda dan produk hukum daerah lainnya terbukti mengingkari hak asasi perempuan, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan mendiskriminasi perempuan. Mana Janji Negara untuk melindungi perempuan?
Pemerintah Indonesia seharusnya berpegang pada komitmennya dalam ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW) pada UU No 7 Tahun 1984 untuk setidaknya “membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang,untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap perempuan (Pasal 2 huruf f); dan “mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan (Pasal 2 huruf g). Indonesia sudah seharusnya melaksanakan salah satu rekomendasi Komite CEDAW dalam Concluding Observation menanggapi Laporan Periodik Indonesia ke-6 dan ke-7 (2012) tentang Pelaksanaan Konvensi CEDAW yaitu untuk mencabut kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Sejalan dengan seruan PBB pada Hari Perempuan Sedunia 2013 yang menyuarakan “Promise is Promise: Time for action to end violence against womenINSTITUT PEREMPUAN menuntut:
  1. Pemerintah dan DPR merevisi UU yang diskriminatif terhadap perempuan, khususnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, agar sejalan dengan prinsip dan penghormatan hak asasi perempuan.
  2. Pemerintah dan DPR mencabut UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi serta peraturan perundang-undangan lainnya yang diskriminatif terhadap perempuan.
  3. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi dan membatalkan Perda-Perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
  4. Pemerintahan Daerah mencabut Perda dan produk hukum daerah lainnya yang diskriminatif terhadap perempuan.
 
 
Bandung, 7 Maret 2013
Demi keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan,
INSTITUT PEREMPUAN
 
 
R. Valentina Sagala, SE., SH., MH.
Chairperson of Executive Board
 

International Women's Day March 8, 2013


Press Release INSTITUT PEREMPUAN- Women’s Institute INDONESIA
International Women's Day March 8, 2013:"PROMISE IS A PROMISE: Repeal Discriminatory Legislation to End Violence, Discrimination against Women, and Impoverishment of Women"

In Indonesia, violence against women
, discrimination against women and  impoverishment of women is still a crucial problem. In 2011, National Commission on Violence Against Women recorded 119 107 cases. In 2010, there were 105,103 cases in the sphere of domestic, public, and state. Not to mention the cases of human rights violations such as rape tragedy in May 1998 and the massacre of 1965. Discrimination against women and systemic impoverishment of women are still faced by women, from discrimination of equal pay of women and men, to the lack of supporting system for women to fully achieved their women’s human rights.

One of the caused of this situation is laws that dehumanize women and even create and perpetuate violence against women. The enactment of Law No. 1 Year 1974 on Marriage for example, which is discriminatory due to the standardization of the unequal role of husband and wife, discrimination inminimum age of marriage, and limited polygamy. The enactment of Law No. 44 Year 2008 on Pornography violates women's human rights by criminalizing women.
 
Not to mention, the National Commission on Violence Against Women records 282 regional/local laws and regulations that discriminate against women in the forms: restrictions on the right to freedom and expression in the law that regulates women’s dress; reduction of the right to protection and legal certainty due to the regional policy on criminalization of prostitution; elimination of the right to protection and legal certainty through regional policy about prohibition of khalwat; neglection of protection through regional policy on migrant domestic workers, etc. Enabling these legislations has sparked violence and discrimination against women. In Langsa, Aceh, Sharia police raped a woman when the victim was arrested on suspicion of khalwat. In 2012, because of embarrassment over the negative stigma, an Acehnese woman teenager committed suicide after being victimof false arrest imposed by Qanun (Local Regulation) on Khalwat. Other victim, died in 2008 because of depression over false arrest incident of theapplication of Tangerang Regulation No. 8 Year 2005 on the Prohibition of Prostitution. A number of laws governing public participation have created the "moral police" who do not hesitate to use violence, victimizing womenBroadly, the enforcement of laws and legal products other areas are proving to deny women's human rights, legal uncertainty, and discriminate against women.

The Indonesian government should stick to its commitment to the ratification of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) in Law No. 7 Year 1984 to at least "take all appropriate measures, including legislation, to modify or abolish existing laws, regulations, customs and practices which constitute discrimination against women (Article 2 paragraph f), and "To repeal all national penal provisions which constitute discrimination against women" (Article 2 paragraph g). Indonesia should implement one of the recommendations of CEDAW Concluding Observation responded to Indonesia Periodic Report to the 6th and 7th (2012) on the implementation of CEDAW is “to repeal alldiscriminatory laws against women.
 
In line with the United Nations calls on the International Women's Day 2013 that voiced "Promise is Promise: Time for action to end violence against women", we, INSTITUT PEREMPUAN - WOMEN’S INSTITUTE demands:
  1. Indonesian Government and Parliament to revise all laws and regulations that discriminate against women, especially Law No. 1 Year 1974 on Marriage, as in line with the principles and respect for women's human rights.
  2. Indonesian Government and Parliament repeal Law No. 44 Year 2008 on Pornography as well as other laws and regulations that discriminate against women.
  3. Indonesian Government through the Ministry of Internal Affairs strongly evaluates and cancels all regional/local laws and regulations that discriminate against women.
  4. Local Government in all area of Indonesia repeal all regional/local laws and regulations that discriminate against women.

Bandung
INDONESIA, March 7, 2013
For justice, equality, and humanity,
INSTITUT PEREMPUAN – WOMEN’S INSTITUTE


R. Valentina Sagala, SE., SH., MH.
Chairperson of Executive Board

Thursday, March 7, 2013

Advokasi bagi pemilih

Advokasi adalah kerja pendampingan dan pembelaan kepada masyarakat yang merasa haknya diabaikan dan didiskriminasi oleh undang-undang atau penyelenggara pemerintahan. 

Dalam kepemiluan, advokasi adalah mendampingi dan membela pemilih yang haknya diabaikan, didiskriminasi bahkan dikebiri oleh undang-undang dan penyelenggara pemilu. 

Hak yang diabaikan, didiskriminasi misalnya tidak dicatat dalam  daftar pemilu, tidak mendapatkan undangan atau kartu pemilih, tidak diizinkan untuk memilih, intimidasi dan sebagainya.

Bisa saja si pemilih mengadvokasi dirinya sendiri, misalnya dengan melaporkan hal tersebut kepada petugas yang berwenang, misalnya ketua KPPS, petugas PPL (Petugas Pengawas Lapangan) dan level yang lebih tinggi lagi. 

Tetapi jika pemilih merasa tidak dibantu atau tidak memahami prosedur dan sebagainya, atau justru merasa terintimidasi setelah melaporkan kasusnya, maka mereka bisa meminta bantuan kepada organisasi pemantau pemilu yangakan mengorganisir sejumlah pengaduan masyarakat. 

Dalam hal ini, organisasi pemantau pemilu atau organisasi bantuan hukum melakukan advokasi kasus yaitu membela atau melakukan proses pendampingan bagi orang atau kelompok yang tidak mampu membela dirinya atau kelompoknya. 

Organisasi pemantau pemilu  harus mengenal persoalan lebih mendalam untuk mendapatkan analisis yang tajam dan sistematis. Organisasi advokasi harus bisa melihat masalah yang ada tidak secara parsial atau sudut pandang tertentu saja. 

Pada kasus tertentu, kerja advokasi bisa jadi hanya sebatas mensosialisasikan sebuah kasus atau isu dan menjadikannya keprihatinan publik yang kemudian nantinya akan terwujud pada satu perubahan dalam peraturan atau bahkan undang-undang.