Website counter

Tuesday, September 25, 2012

Makalah - Berharap pada Pilkada langsung, Bagian Kedua


Jika ditimbang mudharatnya, jelas keterlibatan pemerintah dalam pilkada jauh lebih mudharat daripada keterlibatan DPRD. Bagi pilkada sendiri, keterlibatan pemerintah jauh lebih mudharat daripada manfaatnya.

Beberapa kasus berikut ini menjelaskan hal itu.
1.  Keterlambatan penetapan PP berakibat keterlambatan pelaksanaan tahapan pilkada di seluruh Indonesia. UU no. 32/2004 disahkan oleh presiden tanggal 13 Oktober 2004. Jika pilkada pertama dilaksanakan pada bulan Juni 2005, maka terdapat tujuh bulan untuk persiapan dan pelaksanaan pilkada.
Waktu yang sesungguhnya tidak terlalu ideal untuk eksperimen pertama sistem pemilu langsung daerah di Indonesia. Waktu tujuh bulan itupun terpotong drastis disebabkan PP yang mengatur pilkada baru ditandatangani presiden pada bulan Januari 2005.
Praktis hampir 3 bulan waktu terbuang begitu saja. Dan dengan sendirinya hanya ada empat bulan waktu yang tersisa untuk melaksanakan pilkada.
Pemerintah tetap mendesak pelaksanaannya, sekalipun beberapa KPUD mulai mencuatkan isu kelayakan waktu pelaksanaan ini, termasuk KIPP Indonesia, telah menyatakan dengan tegas agar seluruh pihak mendiskusikan dengan serius waktu pelaksanaan pilkada tersebut.
Untuk mendesakkan pemikiran itu, KIPP Indonesia melakukan audiensi dengan Komisi II – langsung dipimpin oleh ketua Komisi II Fery Mursyidan Baldan – dengan menggambarkan skema dan alur pelaksanaan pilkada dengan waktu yang sangat mepet. Amat sangat tidak memadai.

2. Alih-alih mendengar kritikan masyarakat, pemerintah malah membentuk desk pilkada. Melalui Surat Ketetapan Menteri no. 120.05-110 tahun 2005, desk ini dinyatakan bertangung jawab atas pelaksanaan pilkada, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Pendirian desk inipun mendapat tentangan keras dari masyarakat. KIPP Indonesia menyatakan hal itu sebagai badan tumpang tindih dengan KPUD dan dapat berpotensi meningkatkan ketegangan psikologis antara Pemda dengan KPUD, inefisiensi, pemborosan anggaran dan berpotensi melanggar undang-undang.
Dan memang seperti dikhawatirkan, desk ini pada akhirnya tidka berfungsi banyak. Hatta sekarang, tak jelas benar apa yang telah dilakukan oleh desk ini, kecuali mendata daerah yang siap pilkada bulan Juni, atau yang akan menunda.

3.  Dana bantuan pemerintah khusus pelaksanaan pilkada bulan Juni, hingga sampai sekarang bulan sebelum jelas nasibnya. Setelah melulu menurunkan nilai bantuan, dari asumsi pertama 70%-30% pemerintah dan daerah menjadi 50%-50%, untuk akhirnya menjadi hanya sekitar Rp 400juta per daerah. Seluruh kebijakan berlangsung sampai menjelang dua bulan sebelum pelaksanaan pilkada.

4. Kegiatan sosialisasi yang diambil alih oleh desk pilkadapun belum dilaksanakan. Padahal, seperti dalam laporan Kompas, kenyataannya masih ada masyarakat tak dapat membedakan antara pilkada dan pilkabe. Jelas sosialisasi yang tidak massif dan merata akan berdampak terhadap pengetahuan masyarakat, dan akan dapat berujung pada partisipasi mereka dalam melaksanakan pilkada atau memberi suara. 

Note :
Ray Rangkuti adalah Direktur Eksekutif KIPP Indonesia 2004.
Makalah dibawakan pada seminar sehari, "Pilkada Langsung dan Momentum Perubahan di Daerah", Selasa 12 April 2005, di Ruang AJB, Gedung F Lt. 2, FISIP UI, Depok.

Bagian kedua....
Bagian lainnya menyusul....



Berharap pada Pilkada langsung


oleh : Ray Rangkuti

Pilkada bukan pemilu. Begitulah UUD 1945 memandang proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sekalipun pilkada sama sekali tak berbeda dengan praktek pemilu lainnya – bahkan jika melihat redaksi susunan UUnya tak dapat dihindari kesan bahwa UU Pilkada hanya mengcopy UU Pemilu lainnya – tetapi pembuat UUD lebih merasa tepat menempatkan pilkada sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah.

Dan oleh karena itu, peraturan pilkadapun tidak lepas dari ketentuan yang digariskan oleh pemerintah yang akhirnya ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (PP). Tepatnya PP nomor 6 tahun 2005. Inilah sumber hukum kedua yang mengatur pelaksanaan pilkada setelah UU nomor 32 tahun 2004.

Karena paradigma pelaksanaan pilkada bukan bagian dari pemilu nasional, maka lembaga yang melaksanakan pilkada juga bukan merupakan lembaga yang selayaknya mengelola pemilu nasional.

Karena sifatnya yang lokal, maka sudah semestinya lembaga penyelenggara pilkada pun merupakan lembaga yang bersifat lokal. Maka dikenallah istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dalam hal ini diamanahkan oleh UU kepada KPU daerah yang dibentuk oleh UU no. 12 tahun 2003. Di sinilah awal kontradiksi terjadi.

Sekalipun upaya hukum untuk merevisi kejanggalan-kejanggalan UU ini telah dilakukan melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tetapi hasil yang diharapkan tidak memadai. Alih-alih membebaskan dan mempertegas status pilkada, putusan MK malah menimbulkan kebingungan baru.

Oleh dasar pandangan bahwa pilkada semestinya diselenggarakan oleh lembaga yang benar-benar independen, maka kewajiban KPUD untuk bertanggungjawab kepada DPRD – sebagaimana diatur dalam pasal 57 ayat (1) UU no. 32/2004 dihapuskan, tetapi tetap membiarkan pemerintah bercokol di dalam pilkada.

Lebih dari sekedar bercokol, pemerintah bahkan memiliki hak untuk mengatur, mengevaluasi dan memberi masukan atas pelaksanaan pilkada. Alasan MK membiarkannya karena dinyatakan sebagai “perintah UU”. Padahal keterlibatan DPRD dalam pilkada juga merupakan perintah UU. 

Mengapa ada dua kebijakan berbeda dalam satu keputusan dengan pertimbangan hukum yang sama. 


Note :
Ray Rangkuti adalah Direktur Eksekutif KIPP Indonesia 2004.
Makalah dibawakan pada seminar sehari, "Pilkada Langsung dan Momentum Perubahan di Daerah", Selasa 12 April 2005, di Ruang AJB, Gedung F Lt. 2, FISIP UI, Depok.

Bagian pertama ....
Bagian lainnya menyusul .....

Sunday, September 23, 2012

Mengawal Verifikasi Faktual Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2014


PRESS RELEASE BERSAMA
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)


Tahapan verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu 2014 di tingkat provinsi, kabupaten/kota, tinggal menghitung hari. Paska keputusan Mahkamah Konstitusi terkait seluruh calon peserta pemilu harus diverifikasi, sangat dimungkinkan beberapa partai politik, bahkan yang sudah mendapatkan kursi di parlemen sekalipun, tidak mempersiapkannya secara maksimal, dikarenakan tidak memperkirakan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sehingga kondisi infra struktur dan supra struktur partai politik tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta pemilu 2014.



Di tengah kondisi itu, dengan sumber daya penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota dan jajarannya maupun pengawas pemilu di Kabupaten/Kota dan jajarannya secara kuantitas mengalami keterbatasan. Terdapat beberapa titik rawan pelanggaran dan kecurangan pada tahapan verifikasi faktual ini, di antaranya:

1.  Terjadinya kompromi politik
Partai politik yang sudah mendapatkan kursi di parlemen, diindikasikan tidak mempersiapkan diri secara maksimal baik infra maupun supra struktur kepartaian, terutama di tingkat bawah, sehingga rawan kompromi politik, baik dengan penyelenggara, pengawas, maupun antar partai, terutama dengan partai-partai pendatang baru yang juga berharap lolos di verifikasi faktual.
2.  10% sampling objek verifikasi faktual
Adanya kekhawatiran partai politik calon peserta pemilu hanya memaksimalkan dokumen faktualnya di daerah yang termasuk 10% yang menjadi obyek sampling saja, sehingga 90%nya tidak dipersiapkan. Dengan demikian jauh lebih besar wilayah yang tidak dipersiapkannya.
3.  Pembajakan kader partai politik
Banyaknya partai politik yang mendaftar ke KPU dan lolos verifikasi pendaftaran, ternyata tidak sedikit juga yang mempunyai irisan dengan partai-partai yang sudah ada (sempalan), hal itu sangat memungkinkan adanya tarik menarik kader, baik kepengurusan maupun keanggotaan, terutama pada tataran struktur partai di kecamatan dan di kelurahan.

Dengan kondisi di atas, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) setelah menganalisis titik-titik rawan dalam tahapan ini, akan mengawal tahapan ini dengan melakukan PEMANTAUAN proses verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu di 260 kabupaten/kota di seluruh 33 provinsi.

Jakarta, 23 September 2012


Yusfitriadi (Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Jojo Rohi (Wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP))

PRESS RELEASE: Gubernatorial Election of DKI Jakarta Second Round


PRESS RELEASE 
KOMITE INDEPENDEN PEMANTAU PEMILU
INDEPENDENT COMMITTEE FOR ELECTION MONITORING
(KIPP) JAKARTA

Prior to Gubernatorial Election of DKI Jakarta Second Round 

Less than in 48 hours, people of DKI Jakarta will decide who will be their upcoming leader for the next 5 year. There are many interesting things to study in order to improve democracy in Indonesia, especially in Jakarta.  

The political tension is recently getting higher and fiercely prior to second round voting day. It needs the maturity of all stakeholders in this situation: the commitment to win, as well to loose, not only among the candidates, but also to the winning teams and their supporters. The election shall conduct free and fair and in the conducive situation. If there is dispute on election results, it shall be determined through constitutional way in Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi).        

Some concerns of KIPP Jakarta :

1. Prior to Voting Day:

The voters should have the invitation letters (Form C6-KWK.KPU) to cast vote maximum 1 day before voting day (19th September). On the First Round election, the letters arrived in the hand of voters just on voting day!

The voters were not confident to go to poll stations without invitation letters, even they asked themselves, whether they have rights to cast vote. Some voters didn’t go at all. 

Voters who didn’t get the invitation letter, they have the rights to vote, as long as their names are on the list of DPS  and DPT . Invitation letter is not the absolute requirement to cast vote. 

Money politics close to voting day can vary in some forms: cash, in kind, or promises of facilities. Due to that matter, KIPP Jakarta appeals people of DKI Jakarta NOT to receive the money and NOT to vote the candidate. Money politics is a flaw in democracy. Do not receive the money. Do not vote the candidate. We are against money Politics.  

2. On voting Day:

a. Frauds on voting day:
• Some people wearing certain symbols, attributes, marks gather 
  around the poll station. This can influence voters  
  psychologically. 
• Voters do not dip the finger on ink. 
• Voters take picture of his or her ballot paper.
• The poll officer says or counts falsely (double or multiple) for a certain candidate when counting 
• Intimidation to voters and observers. 
• The poll officers guide the voters to vote a certain candidate. 

b. The neutrality of KPUD  and Panwaslu  is a must. 
c. Lack of supervision of KPUD and Panwaslu during implementation on the field. 

3. Post Voting Day:
a. The change of result by EMB officers. 
b. The result dispute should be done through constitutional way, not through mass mobilization.

Invitation letter of mine

KIPP Jakarta will deploy 250 observer in 250 - 300 Poll stations. Most of observers are station observers and 20 mobile observers who will observe some allegedly fraud-sensitive poll stations.  

Due to the matters above, KIPP Jakarta:
1. Appeals to all eligible voters in DKI Jakarta to use their rights to vote on 20th September and to take a part to observe the cycle of this upcoming gubernatorial election: prior to voting day, on voting day and post voting day. 

2. Warns all officers of election management body both KPPS  as well PPL   and their superiors to be neutral. The unneutrality of election management body can damage the democracy system in Indonesia. 

3. Urges respective officers such as Satpol PP and election supervisory body to take off street banners and any materials related to campaign materials at least H-1 (one day before voting day).   

4. Highly appreciates KPU Provinsi DKI Jakarta that forbids the use of camera cell phone or any other documentation means in poll booths. It is to prevent people do money politics through picture of his or her vote on poll booth. 
However, this decision should be widespread disseminated among KPPS officers and correctly implemented. On the First Round many KPPS officers didn’t care about this and allowed people to take camera cell phone in poll booths. 

5. Appeals to two candidates and their winning teams NOT to conduct provocative activities on post election that can produce instability situation, if they find some allegedly disputes.  The electoral law arranges already the mechanism of dispute solution.

6. Reminds to survey institutions to be careful when they publish quick count results and its conclusion, in order NOT to create instability in the society. 

7. Asks all the society components to guard this gubernatorial election so that the election will be free, fair and peaceful and to respect the result.  

This press release is a moral responsibility of KIPP Jakarta as one element of civil society that concerns to the implementation of free, fair, direct, secret, peaceful and democratic gubernatorial election. 

Jakarta, 18th September 2012.

Sincerely yours,
Komite Independen Pemantau Pemilu
KIPP Jakarta

  
Wahyudinata
Chairman


Wednesday, September 19, 2012

Menjelang Pelaksanaan Pemungutan Suara Pilgub DKI Jakarta Putaran II


PERYATAAN SIKAP
KOMITE INDEPENDEN PEMANTAU PEMILU
(KIPP) JAKARTA

Menjelang Pelaksanaan Pemungutan Suara Pilgub DKI Jakarta Putaran II

Kurang dari 48 jam lagi masyarakat DKI Jakarta akan menentukan siapa pemimpinnya untuk 5 tahun yang akan datang, banyak hal yang sudah dilalui, dan hal ini menjadi pembelajaran politik yang menarik untuk menjadi bahan kajian, guna perbaikan demokrasi di Indonesia pada umumnya dan DKI Jakarta khususnya.

Eskalasi politik yang makin meningkat menjelang pemungutan suara putaran kedua, membutuhkan kedewasaan semua pihak dalam menyikapinya, komitmen siap menang dan siap kalah, bukan hanya formalitas kandidat, namun hal tersebut harus ditransformasikan kepada masyarakat yang paling bawah, sehingga pelaksanaan pemilukada di Provinsi DKI Jakarta bisa berjalan dengan Jurdil dan Kondusif, jika terjadi perselisihan hasil dikemudian hari, hendaklah menempuh jalan yang konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi sehingga agar ketenangan masyarakat tetap terjaga.

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian KIPP Jakarta:
1.       Menjelang Pemungutan Suara:
a.       Distribusi undangan pemilih seharusnya sudah sampai kepada pemilih maksimal pada H-1 pemungutan suara. Pada putaran pertama masih terdapat undangan pemilih yang baru didistribusikan pada hari pelaksanaan pemungutan suara. Hal ini menjadi tanda tanya pemilih akan kah mereka berhak memilih atau tidak, bahkan ada pemilih yang tidak datang ke TPS dikarenakan merasa tidak berhak memilih dikarenakan tidak adanya undangan untuk memilih.
b.      Kepada pemilih yang belum mendapatkan undangan untuk melakukan pemilihan, selama mereka tahu dan yakin nama mereka pernah terdaftar di DPS atau DPT kami menghimbau agar tetap datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, karena undangan pemilih bukan  syarat yang harus dimiliki pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.
c.       Politik uang menjelang pemungutan suara bisa bermunculan dengan berbagai macam modus, dari pembagian uang langsung sampai iming-iming kemudahan dan fasilitas, untuk hal ini kami menghimbau kepada pemilih DKI Jakarta agar tidak mengambil uangnya dan tidak memilih kandidat tersebut, karena perbuatan tersebut merupakan pidana pemilu dan sangat mencederai demokrasi. Jangan Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya. Tolak Politik Uang Sekarang Juga.
2.       Hari Pemungutan Suara:
a.       Modus-modus kecurangan pada pelaksanaan pemungutan suara:
-          KPPS mengarahkan pemilih.
-          Mempengaruhi pemilih dengan berkerumun di sekitar lokasi TPS dengan menggunakan simbol / atribut / ciri-ciri tertentu.
-          Tidak mencelupkan jari kedalam penanda (tinta).
-          Dokumentasi hasil pencoblosan suara.
-          Duplikasi perhitungan pada saat perhitungan suara.
-          Intimidasi terhadap pemilih dan pemantau.
b.      Netralitas Penyelenggara harus tetap terjaga baik itu KPUD maupun Panwalu.
c.       Kurangnya pengawasan dari panwaslu dan KPUD dilapangan.
3.       Pasca Pemungutan Suara:
a.       Pengubahan hasil suara oleh penyelenggara.
b.      Perselisihan hasil harus diselesaikan dengan cara-cara konstitusional bukan dengan cara mobilisasi opini maupun dukungan masyarakat.
Sebagai bentuk partisipasi masyarakat, kami dari KIPP Jakarta akan menurunkan 250 relawan pemantau kami di TPS yang akan memantau sekurang-kurangnya 250 sampai dengan 300 TPS dengan pola penempatan relawan tetap yang akan memantau proses pemungutan suara dari awal sampai akhir dan mengerahkan relawan bergerak (mobile) untuk memantau secara acak beberpa lokasi yang kami anggap rawan dan berpotensi terjadinya kecurangan.

Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, kami:
1.       Menghimbau kepada seluruh pemilih di Provinsi DKI Jakarta agar menggunakan hak pilihnya pada 20 September yang akan datang dan turut serta melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap seluruh proses tahapan pemilukada, baik menjelang pemungutan suara, pada hari pemungutan suara dan setelah pemungutan suara.
2.       Memperingatkan dengan keras kepada Penyelenggara baik kepada KPPS dan PPL sampai jajaran diatasnya untuk bersikap netral, karena ketidaknetralan penyelenggara, dapat merusak sistem demokrasi di Indonesia.
3.       Mendesak kepada pihak-pihak terkait, baik itu Satpol PP maupun petugas pengawas pemilu untuk segera menurunkan spanduk-spanduk dan alat peraga apapun, baik yang berupa ajakan, himbauan serta dukungan yang dapat mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya yang masih banyak terdapat dilingkungan masyarakat, paling lambat H-1 pemungutan suara.
4.       Mengapresiasi tindakan KPU Provinsi DKI Jakarta yang melakukan langkah-langkah antisipatif dengan pelarangan penggunaan HP Kamera maupun alat pendokumentasian hasil didalam bilik suara, guna meminimalisir potensi jual beli suara, namun hal ini harus benar-benar disosialisasikan kepada petugas dilapangan, karena pada putaran pertama masih ditemukan pemilih yang berusaha mendokumentasikan hasilnya dibilik suara tanpa ada peringatan atau teguran sama sekali dari petugas pemungutan suara.
5.       Meminta kepada kedua pasangan calon dan tim sukses pasangan calon, agar tidak melakukan aktivitas-aktivitas provokatif yang dapat menimbulkan keresahan dimasyarakat jika ditemukan perselisihan hasil dikemudian hari, karena mekanisme perselisihan hasil sudah diatur didalam Undang-undang.
6.       Mengingatkan kepada teman-teman di lembaga survey  untuk dengan teliti dan seksama dalam mengeluarkan hasil survey maupun hasil hitung cepat mereka kepada publik, sesaat setelah selesainya pemungutan suara, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dimasyarakat.
7.       Mengajak seluruh komponen masyarakat untuk sama-sama mengawal  pemilukada agar bisa berjalan dengan aman, damai dan jujur, serta menghormati hasil siapapun pemenangnya.

Demikian pernyataan ini dibuat sebagai tanggung jawab moral KIPP Jakarta, sebagai salah satu unsur masyarakat sipil yang mempunyai kepedulian terhadap pelaksanaan Pilkada yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil, Aman dan Demokratis.

Jakarta, 18September 2012.

Hormat Kami
Komite Independen Pemantau Pemilu
KIPP Jakarta



Wahyudinata
Ketua

0856-1850098



Friday, September 7, 2012

PERNYATAAN KOALISI PEREMPUAN INDONESIA


PERNYATAAN KOALISI PEREMPUAN INDONESIA


PERUBAHAN PERATURAN KPU, BERPOTENSI MELEMAHKAN KOMITMEN PARPOL UNTUK MENJAMIN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI POLITIK



Koalisi Perempuan Indonsia Untuk Keadilan dan Demokrasi menghargai komitmen dan upaya  Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mendorong partai politik calon peserta pemilihan umum menjamin sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota melalui penerbitan Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 8 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, Dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.


Koalisi Perempuan Indonsia Untuk Keadilan dan Demokrasi juga dapat memahami bahwa KPU harus melakukan perubahan terhadap  Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 8 Tahun 2012,  sebagai konsekuensi logis dari Keputusan Mahkamah Konsitusi No 52 /PUU-X/2012, atas perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu keputusan Mahkamah Konsitusi No 52 /PUU-X/2012 adalah 
membatalkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” hal ini berarti semua partai politik calon peserta Pemilihan Umum harus melalui proses pendaftaran, verifikasi dan penetapan sebagai peserta Pemilinan Umum. Oleh Karenanya, Koalisi Perempuan Indonesia dapat menerima diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 8 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, Dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, sebagai tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Namun Koalisi Perempuan Indonesia menyayangkan perubahan dan penambahan ayat (2a) dalam Pasal 16 Peraturan KPU, yang berbunyi: "Dalam hal syarat keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak terpenuhi, partai politik membuat surat pernyataan sebagaimana formulir Model F-13 Parpol."

 
Dalam Pandangan Koalisi Perempuan Indonesia, ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2a) berpotensi melemahkan Partai Politik untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Oleh Karenanya Koalisi Perempuan Indonesia menyesalkan adanya ketentuan Pasal 16 ayat (2a) dalam Peraturan KPU No 12 Tahun 2012. Karena dengan adanya ketentuan tersebut, partai politik tidak berupaya secara serius meningkatkan keterwakilan Perempuan dalam kepengurusan partai di tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota dan cenderung memilih mengisi Formulir Model F-13 Parpol.


Untuk Mengapresiasi kepada Partai Politik yang serius memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam jajaran dan tingkatan kepengurusannya, serta untuk menjamin hak atas informasi publik dan melakukan Pendidikan Politik bagi masyarakat,  Koalisi Perempuan Indonesia meminta KPU agar :


1.    Menjamin dan memastikan, bahwa Formulir Model F 13 paropl, yang telah diisi oleh Partai Politik dapat diakses secara mudah oleh publik,  sehingga masyarakat –termasuk organisasi perempuan yang peduli pada peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dapat mengidentifikasi partai politik mana saja yang memiliki dan yang tidak memiliki komitmen terhadap peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik.


2.    Membuat Rekapitulasi/olah data Keterwakilan Perempuan dalam
Kepengurusan Partai Politik berbasis pengisian Formulir Model F 13 parpol, yang telah diisi oleh Partai Politik, sehingga dapat diketahui dengan jelas berapa prosentase dari jumlah dan tingkatan kepengurusan yang dimiliki oleh tiap-tiap partai politik yang memenuhi keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota


3.    Mengumumkan hasil olah data Keterwakilan Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik berbasis pengisian Formulir Model F 13 parpol, tersebutke dalam media massa dan media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum.


Dengan data dan Informasi tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia akan menyampaikan kepada seluruh anggota dan Konstituen Koalisi Perempuan Indonesia yang berada di 25 Propinsi di Indonesia, bahwa : Partai Politik yang paling baik dalam menjamin keterwakilan perempuan adalah partai yang layak untuk dipertimbangkan, ketika perempuan akan menggunakan hak pilihnya.




Jakarta, 6 September 2012


Dian Kartikasari
Sekretaris Jenderal

Informasi lebih lanjut :

Mike V Tangka   (081332929509)
Dewi Komalasari (081808339596)
Octavia         (08997901828)