Website counter

Monday, April 30, 2012

Daftar Pemilih di Thailand

Sebelum masuk TPS, pemilih Thailand cukup menunjukkan KTP, baik yang masih berlaku maupun yang sudah kadaluwarsa, atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh pemerintah. Petugas PPS akan mengecek dan mencatat di daftar pemilih yang ada.

Daftar pemilih tidak menjadi masalah di Thailand, karena sistem kependudukan Thailand telah terkomputerisasi berkat 13 angka digit dalam KTP setiap penduduknya. Angka ini juga digunakan di semua dokumen, seperti SIM dan paspor.


Daftar Pemilih di depan District Office, Hat Yai, Electoral Zone 2, provinsi Songkhla

Daftar pemilih, baik untuk advance voting maupun general election digantung di depan kantor pemerintahan mulai dari kantor gubernur, hingga aula desa beberapa hari sebelum hari pemilihan. Dengan demikian orang bisa mengecek nama mereka dengan mudah. Dan jika ada keluhan semisal nama mereka tidak tercantum, maka mereka bisa pergi ke kantor sub district atau district terdekat dan minta dicatatkan.  

Daftar pemilih baik daftar pemilih sementara (DPS) maupun daftar pemilih tetap (DPT) di Indonesia merupakan masalah besar. Keakuratan DPS dan DPT diragukan, karena KIPP Indonesia selalu menemukan adanya penggelembungan jumlah DPT merata di semua wilayah di Indonesia. Banyak pemilih mengeluh bahwa nama mereka tidak tercantum dalam DPS dan DPT, sedangkan bukan rahasia lagi kalau banyak nama orang yang sudah meninggal, balita, non penduduk wilayah tersebut atau bahkan tak ada sama sekali (fiktif) justru ada di dalam DPS dan DPT.

Tujuan pengadaan DPT sebenarnya untuk persiapan logistik pemilu seperti penyediaan surat suara. Kecurangan yang mungkin muncul dari penggelembungan DPT adalah penyelewengan sisa surat suara serta membengkaknya biaya pemilu. Berdasarkan aturan, sisa surat suara harus dimasukkan ke dalam amplop kosong. Tetapi jika sisa surat karena pemilih fiktif, pihak mana yang akan mengambil keuntungan dari hal ini? Biaya pemilu membengkak karena setiap nama dalam DPT, Negara mengucurkan dana sebesar Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah). Kita sama-sama bisa menghitung berapa kerugian negara akibat kelalaian data DPT dan kemana larinya uang tersebut?    

Meski DPS dan DPT di Thailand sudah demikian rapi dan terorganisir, banyak pemilih yang mengeluh karena nama mereka terdaftar di daftar pemilih advance voting bukan pemilu tanggal 3 Juli. Padahal mereka mendaftar advance voting pada saat referendum 2007, karena berada di wilayah lain atau hendak ke wilayah lain pada saat itu. Mereka menyangka bahwa pendaftaran tersebut hanya berlaku tahun itu saja. Jika provinsi beda dan masih terjangkau, mereka mengusahakan pergi ke provinsi tersebut. Tetapi banyak yang tidak pergi memilih karena provinsinya terlalu jauh, bahkan ada yang masih terdaftar di luar negeri. 

Banyak pemilih ingin mengubah dan memindahkan nama mereka, setelah melihat DPS, tetapi kebanyakan tidak tahu caranya. Sebenarnya, sudah ada brosur ECT yang menjelaskan hal tersebut. Tetapi kebanyakan orang tidak atau segan membaca brosur-brosur terkait pemilu. Dan baru menyadari kesalahan ini setelah dateline lewat atau undangan datang, sehingga terlambat untuk mengubahnya.

Catatan :
- Artikel ini dimuat di The Global Review.
- Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.

Sunday, April 29, 2012

Advance voting

Advance voting adalah kebijakan memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memberikan hak pilih sebelum hari H yaitu tanggal 26 Juni 2011. Kebijakan ini digunakan karena banyak orang tidak bisa datang ke TPS pada hari H karena suatu alasan. Indonesia tidak memiliki kebijakan ini.

Pemilih yang berhak mengikuti advance voting ada dua jenis yaitu inside residence dan non residence. Inside residence adalah penduduk yang tercatat di dalam provinsi tersebut, tetapi pada hari pemilihan harus pergi ke luar kota, provinsi tersebut atau ke luar negeri. Non residence adalah penduduk yang tercatat di luar provinsi tetapi bekerja atau kuliah di provinsi di mana mereka berada sekarang.


Tentara berbaris memasuki TPS pada saat Advance Voting, 26 Juni 2011, di distrik Chana, provinsi Songkhla, Thailand Selatan.

Pemilih Advance Voting misalnya tentara dan polisi harus bertugas menjaga keamanan pada hari pemilihan. Guru dan sejumlah orang yang bertugas sebagai petugas KPPS. Pengusaha atau masyarakat umum yang mempunyai janji di luar provinsi bahkan luar negeri. Mahasiswa yang kuliah bukan di provinsinya. Atau sebaliknya, pekerja yang tidak pulang kampung sehingga menggunakan hak pilih di TPS dekat tempat kerjanya.

Pemilih advance voting harus mencatatkan diri di kantor sub district atau semacam kelurahan di mana mereka bertempat tinggal pada tanggal 13-17 Juni. Setelah terdaftar, mereka bisa mengecek daftar pemilih dan mendapatkan undangan mengenai lokasi TPS mereka. TPS untuk non residence biasanya hanya 1-2 TPS untuk setiap provinsi. Sedangkan TPS untuk inside residence ada 1 TPS di setiap distrik.

Beberapa permasalahan dan pelanggaran yang ditemui pada Advance Voting. Banyak orang datang bersamaan di pagi hari, baik sipil maupun tentara dan polisi, sehingga terlihat penumpukan di tempat pengecekan daftar pemilih dan antri yang cukup panjang di depan TPS.

Pelanggaran yang terlihat adalah banyaknya polisi dan tentara membawa senapan laras panjang bahkan hingga di dalam TPS. Padahal ini melanggar konvensi internasional yang menyatakan bahwa TPS seharusnya bersih dari senjata.

Banyak pemilih mengeluh karena nama mereka masih terdaftar dalam daftar pemilih advance voting 4 tahun yang lalu. Sehingga mereka harus datang ke TPS yang jauh dari provinsi mereka tingggal sekarang. Bahkan ada pemilih yang masih terdaftar di luar negeri. Mau tidak mau kebijakan ini akan menghilangkan suara pemilih.

Election Commission of Thailand agaknya kurang berhasil memberitahukan pemilih, bahwa mereka yang pernah terdaftar di Advance Voting di tahun 2007, bisa mendaftar ulang agar nama mereka dipindahkan dari daftar pemilih Advance Voting menjadi General Election.

Note:
Artikel ini dimuat di : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=5813&type=2 .

Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.

Sistem Constituency dan Party List

Pemilu parlemen Thailand tahun 2011 ini memperebutkan 500 kursi yang terdiri dari 375 kursi untuk constituency list dan 125 kursi untuk party list.

Jumlah kursi untuk constituency list sama dengan jumlah konstituensi atau daerah pemilihan yang ada yaitu 375 dapil. Setiap satu konstituensi hanya akan diwakili oleh satu anggota parlemen. Dan satu partai hanya bisa mendaftarkan 1 kandidat di setiap konstituensi. Untuk party list, 1 partai mendaftarkan maksimal 125 kandidat. Hal ini kemudian akan mempengaruhi kampanye. Kandidat constituency list hanya berkampanye di wilayah lokal atau di konstituensinya saja. Sedangkan kandidat party list bebas melakukan kampanye di mana saja.

Dua kandidat dari partai Phue Fa Din, Provinsi Trang, Thailand Selatan, 19 Juni 2011
Meski demikian, kekuatan finansial partai dan berapa banyak kekuatan anggota di daerah tertentu menentukan penyebaran kandidat oleh partai terutama kandidat konstituensi. Seorang kandidat dari party list yang saya interview mengaku hanya berkampanye di beberapa provinsi karena dia memiliki basis pemilih di provinsi tersebut. Namun, partai tersebut tidak menurunkan satupun kandidat konstituensi di provinsi tersebut, karena sudah tahu tidak akan menang melawan kandidat-kandidat partai Demokrat di provinsi tersebut. Di sisi lain, ada calon yang finansialnya kuat sehingga mampu berkampanye di seluruh provinsi di Thailand selatan.

Di lapangan, tidak semua partai berada di semua provinsi. Tahun 2011 ini ada 40 partai yang maju ke pemilu. Tetapi di Songkhla, hanya 8 partai yang bertanding, di Phatthalung 6 partai, di Satun 8 partai dan Trang 7 partai. Dan, tidak semua partai menurunkan kandidat di setiap konstituensi sebuah provinsi. Ini berbeda dengan Indonesia, yang mempersyaratkan bahwa sebuah partai harus memiliki cabang minimal di 22 provinsi.

Batasan sebuah konstituensi didasarkan jumlah populasi di sebuah provinsi dan dibagi 125,000 orang. Konsekuensinya adalah terjadi  perubahan jumlah daerah pemilihan di beberapa provinsi, terutama provinsi-provinsi yang saya pantau. Songkhla berubah dari 3 konstituensi di tahun 2007 menjadi 8 konstituensi di tahun 2011. Phatthalung dari 1 menjadi 3, Satun dari 1 menjadi 2 dan Trang dari 2 menjadi 4.
Pola party list di Thailand serupa dengan sistem pemilu legislatif di Indonesia sampai tahun 2004. Saat itu, semakin kecil nomor kandidat, semakin besar kemungkinan kandidat tersebut menjadi anggota parlemen/DPR sehingga disebut dengan istilah ‘calon jadi’. Yingluck Shinawatra dan Abhisit Vejjajiva merupakan kandidat nomor satu di partai masing-masing. Sehingga mereka adalah nomor jadi.  

Setelah lima ratus anggota parlemen terpilih, maka para anggota parlemen tersebut memilih perdana menteri Thailand yang baru. Cara ini ini mirip dengan Indonesia hingga tahun 2004. Para anggota DPR dan MPR Indonesia duduk bersama dan memilih presiden. Sejak tahun 2004, presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Artikel ini dimuat di : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=5813&type=2

Catatan penulis :
Thailand menggunakan sistem pemilu FPTP atau First Past The Post, sedangkan Indonesia menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka.



Note : Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.

Studi Komparasi Pemilu Parlemen Thailand (Pengantar)

Pemilu parlemen Thailand yang dilaksanakan tanggal 3 Juli 2011 lalu dimenangkan oleh Phue Thai Party. Tidak seperti perkiraan orang, situasi pasca pemilu ternyata berlangsung aman tanpa masalah yang berarti, kecuali di provinsi Deep South (Yala, Narathiwat dan Pattani).

Sebagai lembaga yang bergerak di pemantauan pemilu di Indonesia, KIPP Indonesia (Komite Independen Pemantau Pemilu) juga berpartisipasi dalam misi pemantauan ini baik sebagai LTO (Long Term Observer) dengan durasi kerja 40 hari dan STO (Short Term Observer) dengan durasi pemantauan 12 hari. Misi pemantauan berada dalam koordinasi ANFREL (Asia Network for Free Election) dengan menempatkan 48 pemantau internasional dan beberapa ahli pemilu dari berbagai negara di Asia dan beberapa negara non Asia.


Saya memonitor kampanye kandidat dari Phue Thai Party, 11 Juni 2011 

Banyak hal menarik dari misi pemantauan ini yang bisa dijadikan bahan perbandingan antara pelaksanaan pemilu di Thailand dan Indonesia. Artikel ini tidak selalu merefleksikan situasi Thailand keseluruhan, karena terbatasnya waktu dan lokasi pemantauan. Saya menjadi LTO dalam misi pemantauan ini dengan lokasi pemantauan 4 provinsi di selatan Thailand yaitu Songkhla, Phatthalung, Satun dan Trang.

Hal-hal tersebut akan dijelaskan dalam postingan berikutnya.



Note: Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.



Friday, April 27, 2012

Sistem Perwakilan Proporsional

Saya akan mencoba membahas Sistem Perwakilan Proporsional terlebih dahulu, meskipun urut-urutan dalam sistem pemilu biasanya adalah sistem   Pluralitas – Mayoritarian. Ini karena sebagian besar negara-negara di dunia menggunakan sistem perwakilan proporsional, termasuk Indonesia. Indonesia menganut sistem perwakilan proporsional sejak pertama kali mengadakan pemilu yaitu di tahun 1955 hingga hari ini.
Sistem Perwakilan Proporsional merupakan sistem pemilu yang bertujuan untuk menghasilkan parlemen yang representatif dan proporsional. Proporsional artinya sesuai dengan proporsi yaitu jika sebuah partai mendapatkan suara nasional sebanyak 35%, maka partai tersebut akan mendapatkan 35% kursi di parlemen. Jika partai tersebut mendapatkan suara 10%, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi parlemen sebanyak 10%.
Representatif karena Indonesia adalah negara multi etnik terdiri dari ratusan suku dengan beragam bahasa. Sistem ini memungkinkan para wakil suku bangsa bahkan minoritas terwakili melalui sistem pembuatan sebuah daftar kandidat yang diajukan oleh setiap partai. Daftar kandidat tersebut meliputi berbagai kepentingan pemilih atau masyarakat, sehingga memberikan ruang politik bagi partai untuk membuat daftar yang multi rasial dan multi etnik.
Keluarga sistem perwakilan proporsional terbagi dalam dua sistem pemilu. Sistem perwakilan proporsional dengan daftar (daftar terbuka dan daftar tertutup) dan sistem preferensial. Pemilu Indonesia menganut sistem proporsional daftar terbuka pada 2009, sebelumnya sistem proporsional daftar tertutup. Sri Lanka menganut sistem preferensial baik pada pemilu presiden Januari 2010 maupun pemilu parlemen April 2010.


Pemilukada Kabupaten Sukabumi, 27 Mei 2010, lokasi Pelabuhan Ratu
 Dalam memberikan contoh di Indonesia, saya masih mengacu pada UU no. 10/2008, karena ketika artikel ini ditulis (27 April 2012), Revisi UU terbaru belum dicatat dalam Lembaran Negara meski telah disahkan tanggal 12 April 2012.  
Daerah Pemilihan
Untuk mendapatkan wakil-wakil yang akan duduk di parlemen, sistem perwakilan proporsional membuat daerah pemilihan (dapil) berwakil banyak. Dapil berwakil banyak artinya dari dapil tersebut akan diperoleh sejumlah kandidat yang akan duduk di parlemen. Dapil berwakil tunggal berarti hanya akan ada satu wakil terpilih mewakili daerah pemilihan tersebut di parlemen.
Semakin banyak kandidat yang dipilih dalam suatu dapil, maka semakin proporsional sistem pemilu tersebut. Tahun 2009, Indonesia memiliki 77 daerah pemilihan. Masing-masing dapil berwakil banyak yaitu jumlah kandidat 3–10 untuk DPR (pasal 22 ayat 2), dan 3-12 untuk DPRD (pasal 25 ayat 2).
Konsekuensinya, dalam sistem perwakilan proporsional tidak mungkin bahkan jarang satu kursi didapatkan dalam satu kali penghitungan. Perolehan kursi dihitung berkali-kali. Dalam kasus Indonesia, pengkonversian suara menjadi kursi diatur dalam UU 10/2008 pertama-tama suara partai harus memenuhi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen yaitu 2,5%. dalam Revisi UU yang baru disebutkan 3,5%. Pasal-pasal mengenai pengkonversian suara selanjutnya diatur dalam Bab XII mengenai Penetapan Hasil Pemilu dan Bab XIII mengenai Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih. Mengenai hal ini akan saya jelaskan dalam artikel tersendiri.
Keadilan bagi Partai Kecil
Sistem perwakilan proporsional menjamin proporsionalitas atau keadilan jumlah suara dengan kursi yang didapat. Karena sistem pemilu ini memfasilitasi partai kecil untuk masuk dan memiliki akses ke parlemen sehingga terwakili, meskipun persentase suara yang diperoleh kecil selama masih ada kursi. Kecuali kalau parliamentary thresholds terlalu tinggi atau dapil terlalu kecil.
Padahal ada partai besar yang mendominasi kepemimpinan di provinsi atau distrik tertentu. Dalam sistem pemilu yang lain, partai kecil tidak mungkin mendapat kursi apalagi memimpin situasi, jika satu partai memegang seluruh kursi di provinsi atau distrik tertentu. Hal ini penting, khususnya bagi minoritas dalam sebuah provinsi yang tidak memiliki kekuatan regional yang signifikan bahkan bisa menjadi kekuatan alternatif.
Mengurangi suara terbuang atau hangus.
Sistem perwakilan proporsional dapat memberikan pilihan kepada pemilih, apakah memilih partai politik, kandidat atau keduanya. Jika parliamentary thresholds atau batas ambang parlemen rendah, maka semua suara akan diperhitungkan dalam memilih kandidat sesuai pilihan para pemilih.
Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu, bahwa kedatangan mereka ke TPS dan memberikan suara saat pemilu tidak sia-sia, dan suara mereka diperhitungkan. Masyarakat juga lebih percaya diri bahwa suara mereka akan membuat perbedaan, meskipun kecil.

Mendorong kontinuitas pemerintahan yang lebih besar dan stabilitas politik. 
Dalam masyarakat yang beragam, sistem perwakilan proporsional melibatkan partisipasi masyarakat sehingga akan memberikan keuntungan dalam pengambilan keputusan di negara-negara demokrasi, kalau tidak akan menjadi masalah stabilitas yang krusial.
Pengalaman negara-negara Eropa Barat menunjukkan bahwa sistem perwakilan proporsional lebih baik dibanding sistem pemilu yang lain. Hal ini dapat dilihat dari lamanya usia pemerintahan, partisipasi pemilih dan prestasi di bidang ekonomi. Pembagian kekuasaan antara partai dan kelompok-kelompok kepentingan semakin jelas.
Wakil Perempuan
Sistem perwakilan proporsional memungkinkan kandidat perempuan terpilih lebih besar dibandingkan sistem pluralitas-mayoritarian. Dengan menggunakan daftar kandidat, partai dapat mempromosikan wanita politisi. Pemilih juga dapat memilih kandidat wanita, meskipun pilihannya juga lebih kepada pertimbangan politik daripada masalah gender.
Dalam dapil berwakil tunggal seperti yang terdapat dalam sistem pluralitas – mayoritarian, kebanyakan partai memilih kandidat ‘yang paling diterima secara luas’ dan jarang kandidat tersebut adalah wanita.
Di seluruh dunia, sistem perwakilan proporsional menunjukkan bahwa sistem pemilu ini lebih ramah kepada kandidat wanita daripada sistem FPTP. Karena lebih banyak kandidat wanita yang terpilih dalam sistem ini dibanding sistem pemilu FPTP.
Di tahun 2004, jumlah politisi wanita di parlemen yang terpilih karena sistem perwakilan proporsional 4,3 % lebih tinggi daripada rata-rata semua sistem pemilu parlemen yang hanya 15,2%. Politisi wanita yang terpilih dalam negara yang menggunakan sistem FPTP justru 4,1% lebih rendah dari rata-rata jumlah politisi wanita.

Diolah dari berbagai sumber, antara lain  :
1. Buku Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, 2008
2. UU no. 10/2008

Penulis adalah anggota Divisi Hubungan Luar Negeri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia dan pemantau pemilu internasional di berbagai negara di Asia sejak 2009.


Tuesday, April 24, 2012

Empat Keluarga Besar Sistem Pemilu

Sebenarnya terdapat banyak jenis sistem pemilu dan pemungutan suara. Tergantung dari keinginan masyarakat dan negara tersebut dalam memilih wakil-wakilnya di parlemen. Tetapi, para ahli pemilu dan peneliti masalah kepemiluan membaginya dalam 12 kelompok utama yang masuk ke dalam empat kelompok keluarga sistem pemilu.


Pemilu Presiden Afghanistan, 20 Agustus 2009.
Lokasi : Puli Khumri, Provinsi Baghlan, Afghanistan
Empat keluarga besar sistem pemilu tersebut adalah

I. Sistem pluralitas mayoritarian
Ciri utama dari sistem ini adalah menggunakan sistem distrik berwakil tunggal.
Keluarga sistem pemilu ini memiliki 4 sistem pemilu yaitu
1. First Past The Post atau FPTP
2. Two Round System (Sistem Dua Putaran) atau TRS
3. Alternative Block atau AV
4. Block Vote atau BV
5. Party Block Vote atau PBV

II. Mixed System atau sistem Campuran
Ciri utama dari sistem ini adalah menggabungkan elemen-elemen dari Sistem Pluralitas Mayoritarian dan Sistem Perwakilan Proporsional.
Keluarga sistem pemilu ini memiliki 2 sistem pemilu yaitu
1. Paralel
2. Mixed Member Proportional (Sistem Proporsional Campuran) atau MMP

III. Proportional Representation System atau Sistem Perwakilan Proporsional.
Ciri utama dari sistem ini adalah memberikan ruang bagi perwakilan dari semua partai berdasarkan perolehan suara dalam pemilu. Jika sebuah partai memperoleh 30% suara, maka kursi yang didapatkan partai ini adalah 30% kursi di parlemen. Jika memperleh 60% suara, maka kursi yang didapatkan adalah 60%.
Keluarga sistem pemilu ini memiliki 2 sistem pemilu yaitu
1. Perwakilan proporsional Daftar
2. Single Transferable Vote

IV. Sistem Lain-lain

Di luar keluarga sistem pemilu di atas, terdapat sejumlah sistem pemilu yang tidak termasuk dalam ketiga keluarga sistem pemilu di atas, sehingga dikelompokkan sebagai sistem pemilu Lain-lain.
Keluarga sistem pemilu ini memiliki 3 sistem pemilu yaitu
1. Single Non-Transferable Vote
2. Limited Vote atau LV
3. Borda Count atau BC

Penjelasan lebih detil tentang masing-masing sistem pemilu akan dijelaskan dalam artikel tersendiri.

Note :
Jika sedang mencari ide untu bekerja di rumah, silahkan klik di sini.  


 

Monday, April 23, 2012

Sistem-sistem Pemilu di Dunia (Pengantar)

Setiap kali memantau pemilu di luar negeri, pemantau pemilu internasional selalu mendapat briefing selama beberapa hari sebelum diterjunkan ke lapangan.



Saya sebagai salah satu pemantau internasional dalam pemilu parlemen Thailand 2011.
Foto sendiri, jadi cuma dapat namanya dan gak dapat orangnya, he he he.

Salah satu materi yang diberikan adalah mengenai sistem pemilu yang ada di negara tersebut. Seperti pemilu parlemen Thailand Juli 2011  menganut sistem FPTP (First-Past-The-Post). Sri Lanka menganut sistem proporsional terbuka preferensial atau Single Vote Transferable baik dalam pemilu presiden Januari 2010 maupun pemilu parlemen April 2010. Pemilu presiden Afghanistan Agustus 2009 dan Wolesi Jirga atau pemilu parlemen Aghanistan September 2010 menganut sistem Single Vote Non Transferable yang tidak termasuk dalam kategori sistem pemilu yang sudah ada. Indonesia sendiri menganut sistem proporsional daftar terbuka pada pemilu parlemen 2009 dan sistem proporsional daftar tertutup pada pemilu parlemen 2004. Pemilu parlemen Myanmar November 2010 dan pemilu by-election April 2012 menganut sistem FPTP, seperti halnya Thailand.

Pemahaman mengenai sistem pemilu di negara yang akan dipantau merupakan suatu hal yang mutlak diketahui dan dipelajari, karena nanti akan berkaitan dengan constituency boundary (pembentukan daerah pemilihan atau dapil), berapa banyaknya kandidat dan partai yang berkompetisi di provinsi dan daerah pemilihan tersebut, hingga ke teknis dan dana kampanye serta penghitungan suara hasil pemilihan umum.

Secara garis besar ada 4 kelompok sistem pemilu di dunia :
1. Sistem Pluralitas - Mayoritarian, di dalamnya terdapat sistem First Past The Post (FPTP)
2. Mixed System atau Sistem Campuran
3. Proportional Representation System atau sistem proporsional perwakilan
4. Other atau lain-lain. Disebut demikian, karena sistem ini tidak bisa dikategorikan dalam ketiga kelompok di atas, atau baru muncul akhir-akhir ini. 
Karena luasnya pembahasan setiap kategori, masing-masing kelompok sistem pemilu di atas akan saya jelaskan dalam postingan-postingan berikutnya. 

 Note :
Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.  

Wednesday, April 18, 2012

Mendorong Pemilu yang dapat diakses bagi penyandang cacat

Berdasarkan UUD 45 semua warga negara memiliki hak yang sama, maka penyandang cacat juga memiliki hak yang sama dalam mengakses pemilu. Namun, masih banyak kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan pemilu apalagi terkait dengan pelaksanaan hak penyandang cacat atau difabilitas ini dalam pemilu. 

Dari berbagai diskusi yang diselenggarakan oleh AGENDA (ASEAN General Election Network  for Disabilities Access) berbagai kekurangan dalam pelaksanaan dikemukakan. Sejumlah usulan diajukan untuk perbaikan. Jelas, penyelenggara pemilu Indonesia selama ini sibuk dan terus berkutat pada masalah-masalah klasik seperti DPS, DPT, kampanye, pencalonan, dukungan, money politics dan sebagainya, sehingga keberadaan lembaga seperti AGENDA merupakan hal yang penting, untuk mendorong perbaikan dan hak para penyandang difabilitas dalam bidang politik.

Saya sendiri bergabung dalam organisasi pemantau pemilu sejak 1998, jujur saja selama ini tidak “ngeh” dengan hak para penyandang difabilitas ini. Begitu banyaknya permasalahan pemilu yang harus dipantau, diawasi dan dikawal, sehingga nyaris keberadaan mereka dalam peta kepemiluan terlupakan.

Ketika tahun 2009, saya memulai karir saya sebagai pemantau pemilu internasional, sejumlah pertanyaan yang disediakan oleh lembaga pengundang membuat saya menjadi aware, bahwa penyandang difabilitas juga punya hak sebagai warga negara. Apalagi jumlah mereka makin lama makin banyak, baik karena cacat lahir, cacat karena kecelakaan lalu lintas, atau cacat karena kecelakaan kerja.

Salah satu yang menjadi concern dalam akses pemilu bagi para penyandang difabilitas adalah akses masuk ke dalam TPS. UU kepemiluan dan Peraturan KPU telah menjelaskan mengenai lokasi TPS dan peralatan logistik kepemiluan. Tetapi dalam prakteknya ditafsirkan berbeda-beda oleh KPPS.

Dalam berbagai TPS yang saya pantau di beberapa kabupaten, banyak TPS tidak “ramah” dengan para penyandang difabilitas, khususnya pemakai kursi roda. Di daerah Ciledug, saat pemilukada Gubernur Kab. Banten beberapa waktu yang lalu lokasi TPS bervariasi. Ada sejumlah TPS dibuat di depan rumah warga yang merupakan anggota atau mungkin ketua KPPS. Kalau ini masih lumayan, karena pemakai kursi roda masih bisa masuk. Tetapi yang parah, ada TPS berada di dalam  taman sebuah kompleks, dan bilik suara berada di lokasi yang tinggi dan berundak-undak. Lokasi tersebut bagus untuk pengunjung yang ingin melihat taman dan kompleks perumahan dari atas, tetapi menyulitkan penyandang difabilitas, baik pemakai kursi roda, pemakai kruk atau tuna netra, untuk masuk ke dalam TPS.

Di kabupaten Cianjur, saya menemukan sebuah TPS yang tersembunyi di belakang rumah-rumah penduduk. Untuk masuk ke dalamnya harus melewati banyak rumah orang, turun naik berkelok-kelok mengikuti gang sempit dan jalan tanah. Memang, TPS itu adalah sebuah sekolah, tetapi lokasi masuknya kalau hujan akan menyulitkan orang untuk datang, apalagi penyandang cacat.

Lokasi-lokasi yang menyulitkan pemilih apalagi pemilih penyandang cacat akan dapat menyurutkan minat masyarakat untuk turut serta memberikan suara dalam pemilu. Dan ini menurunkan tingkat partisipasi masyarakat. Padahal, legitimasi sebuah pemilu dan pemilukada juga diukur dari tingginya tingkat partisipasi masyarakat.

Untuk ke depannya, masih banyak kerja-kerja yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, organisasi pemantau pemilu, organisasi penyendang cacat khususnya yang bergerak di bidang akses pemilu bagi penyandang difabilitas.

Artikel-artikel lain mengenai hal ini akan menyusul. :D

Penulis adalah anggota Divisi Hubungan Luar Negeri, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. Pemantau pemilu Internasional di beberapa negara di Asia.

Artikel ini dimuat di :
http://politik.kompasiana.com/2012/04/18/mendorong-pemilu-yang-dapat-diakses-bagi-penyandang-cacat/


Note :
Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.

Saturday, April 7, 2012

Teknik penghitungan suara di Sri Lanka

Ketika pemungutan suara selesai pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, katakanlah jam 13.00 atau jam 15.00 waktu setempat, maka penghitungan suara sudah bisa dilakukan oleh KPPS di TPS masing-masing. Hal tersebut merupakan hal dan pemandangan biasa di Indonesia, di Thailand, bahkan di Afghanistan. Tetapi hal tersebut tidak akan terjadi di Sri Lanka.

Di Sri Lanka, setelah waktu pemungutan suara dilakukan yaitu jam 16.00, petugas TPS akan membungkus kotak suara yang terbuat dari kayu dengan sejumlah plastik dan pita berwarna pink. Pemantau pemilu lokal seperti dari PAFFREL dan CMEV serta saksi partai boleh ikut menempelkan label mereka untuk ‚mengamankan‘ surat suara yang berada di kotak suara tersebut.

PAFFREL dan CMEV adalah organisasi pemantau pemilu di Sri Lanka, semacam KIPP. Hanya dua organisasi ini yang mendapatkan izin memantau hingga ke dalam TPS.

Kotak suara kemudian dibawa ke Counting Center yang biasanya berada di kantor kelurahan. Di sana, kotak suara dari seluruh TPS yang berada di distrik tersebut dibuka dan dihitung bersama-sama. Penghitungan suara di Sri Lanka cukup rumit, karena sistem pemilunya menggunakan sistem preferensial, sebuah sistem turunan dari sistem perwakilan proporsional.

Seorang pemilih bisa memilih lebih dari satu kandidat yang disukainya dengan memberikan angka di dalam kotak di samping nama kandidat. Misalnya kandidat A diberi angka 3, kandidat F diberi angka 1, kandidat C diberi angka 2. Artinya, dari sekian banyak kandidat yang ada, si pemilih lebih suka pada kandidat F, tapi diapun menyukai dan menganggap kandidat A dan C juga layak dipertimbangkan, tetapi di matanya „pesona“ mereka kalah dengan kandidat F.

Petugas penghitungan mula-mula akan menghitung suara yang diperoleh kandidat dengan angka referensi 1, lalu kandidat dengan angka referensi 2 dan seterusnya. Cukup memakan waktu dan melelahkan. Belum lagi kalau hitung-hitungannya kemudian sudah masuk ke dalam perolehan kursi.

Tak seorangpun di luar anggota Returning Officer dan Counting Officer (keduanya setara dengan KPU lokal) boleh memasuki ruangan penghitungan suara. Ruangan ditutup rapat, bahkan jendela ditutup dengan tirai dan kertas gelap. Ini membuat masyarakat, terutama pemantau pemilu baik lokal maupun internasional, curiga akan adanya permainan dalam penghitungan suara. Hal ini terjadi pada pemilu Presiden Januari 2010.

Ketika pemilu parlemen April 2010 ada sedikit perubahan yaitu observer dan saksi partai diperbolehkan masuk, walaupun dibatasi hanya 5 orang saja dan ini pun tidak terjadi di semua Counting Center.

Karena itu, ketika sebulan kemudian saya kembali ke Indonesia dan memantau pemilukada Kabupaten Sukabumi, saya mengirimkan foto-foto pelaksanaan penghitungan suara di Sukabumi kepada teman-teman di PAFFREL untuk menunjukkan betapa terbukanya penghitungan suara dan banyaknya masyarakat sekitar bahkan anak-anak berkumpul di TPS dan antusias menonton penghitungan suara.



Penulis adalah Pengurus Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Divisi Hubungan Luar Negeri dan Pemantau Pemilu Internasional dalam Pemilu Presiden Sri Lanka, Januari 2010 dan Pemilu Parlemen Sri Lanka, April 2010

Tiga Pelanggaran Pemilukada

Pemilu termasuk Pemilukada sepertinya tidak jauh dari pelanggaran. Karena Pemilu dan Pemilukada adalah kompetisi yang hasilnya tidak sekedar kedudukan atau posisi tetapi juga kekuasaan  tidak hanya sebagai kepala daerah, tetapi juga atas sejumlah posisi puncaklain dan kebijakan daerah. Sehingga berbagai cara dilakukan oleh kandidat yang bertanding supaya menang.

Rakyat pemilih bisa bersikap diam saja dan mengamati lalu merasa sakit hati sehingga menjadi tidak peduli dengan pemilu dan pemilukada, atau mengamati dan bertindak. Namun, untuk memilih posisi kedua siapapun memerlukan pengetahuan yang cukup mengenai apa saja yang termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu dan pemilukada.

Ada berbagai acuan dan rujukan untuk mengkategorikan bahwa suatu kegiatan atau tindakan adalah pelanggaran yaitu dengan berbagai UU kepemiluan yang ada di Indonesia. UU Kepemiluan tersebut antara lain UU no. 15/2011 mengenai Penyelenggara Pemilu, UU no.2/2011 mengenai Partai Politik, UU no. 10/2008 mengenai Pemilu Legislatif (sedang dibahas di DPR dan diperkirakan selesai bulan April 2012 ini) dan sejumlah peraturan KPU.

Secara ringkas, pelanggaran pemilukada dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, pelanggaran terhadap peraturan Pemilu dan Pemilukada yang pengaruhnya tidak bisa diukur signifikansinya dengan hasil Pemilu dan Pemilukada. Misalnya: baliho, tanda gambar dalam sosialisasi, pemberian hadiah ketika sosialisasi dan lain-lain.


Kedua, Pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar pemilukada yang luber dan jurdil. Misalnya : adanya money politics, dan ikut sertanya PNS dan birokrasi baik sebagai tim sukses, ikut serta dalam kampanye hingga sosialisasi mengenai calon tertentu saja.

Ketiga, pelanggaran serius terhadap hak konstitusional bakal pasangan calon atau pasangan calon sehingga mengakibatkan bakal pasangan calon kehilangan hak konstitusionalnya. Contoh lain adalah menakut-nakuti atau mengintimidasi kandidat saingan agar tidak ikut berkompetisi atau menjadi calon.

Mahkamah Konstitusi membatasi untuk memeriksa dan mengadili point 2 dan 3 saja.

Rakyat pemilih bisa melaporkan kegiatan atau tindakan yang mengarah ke arah pelanggaran jenis apapun (jika belum paham atau sulit mengkategorikan jenis pelanggaran) kepada PPL (Pengawas Pemilu Lapangan yang bergerak di level Kelurahan), Panwascam (Pengawas Pemilu di level Kecamatan), Panwas (Pengawas Pemilu di level Kabupaten dan Provinsi) atau ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu level Nasional).

Rakyat pemilih juga bisa melaporkan kepada Organisasi Pemantau Pemilu misalnya KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) yang berada di dekat daerah tersebut. Laporan juga bisa dikirim via email ke KIPP Indonesia : kippindonesia@gmail.com, sehingga bisa ditindak lanjuti.

Ayo, saatnya menjadi pemilih aktif.


Penulis adalah Pengurus Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Divisi Hubungan Luar Negeri dan Pemantau Pemilu Internasional.



Tulisan ini dimuat di :
http://politik.kompasiana.com/2012/04/07/tiga-pelanggaran-pemilukada/

Teknik Penghitungan Suara dan Sistem Pemilu

Di Indonesia, Thailand, dan Afghanistan penghitungan dilakukan di TPS. Sehingga saksi partai dan pemantau bisa menyaksikan langsung penghitungan dan mengetahui siapa pemenang di TPS tersebut. Ini lebih “menyenangkan” hati pemilih, karena bisa melihat hasil dari suara yang baru saja dipilih. Meski hal ini tidak menjamin bahwa suara mereka akan diubah di tingkat yang lebih tinggi, sehingga suara harus dikawal di setiap tingkatan penghitungan.

Yang berbeda adalah dalam penghitungan kemenangan dan pengubahan suara atau konversi suara menjadi kursi. Di Thailand dan Myanmar, pemenang dan pemilik kursi di parlemen dapat diketahui secepat mungkin, karena sistem pemilu mereka adalah sistem pemilu First Past The Post atau pluralitas mayoritas. Dalam system ini, dalam satu distrik atau satu dapil hanya akan ada satu pemenang saja. Konsekuensinya, dapil banyak dan kecil.     

Karena itulah, ketika pemilu Thailand Juli 2011 yang lalu, pemenang pemilu dengan cepat diketahui dan PM Yingluck Sinawatra dapat dilantik pada bulan Agustus 2011. Hanya satu bulan sejak pemilu!! Demikian juga dengan pemilu Myanmar, hanya beberapa hari sudah diketahui siapa pemenang pemilu, di antaranya Aung San Suu Kyi.

Di Indonesia, pemenang pemilu di TPS setempat dapat diketahui masyarakat dengan segera. Tetapi final hasil penghitungan suara nasional lama sekali baru bisa diketahui. Apalagi konversi perolehan suara menjadi kursi di parlemen. Bahkan pemilu 2009 dipenuhi dengan kekacauan yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi.

Pertama, adalah harus diakui masih sulitnya transportasi dan komunikasi di banyak wilayah di Indonesia. Kedua, ditengarai adanya kecurangan jual beli suara. Ketiga, sistem pemilu Indonesia.

Sistem pemilu Indonesia adalah sistem perwakilan proporsional dengan besaran dapil 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD. Artinya, setiap provinsi akan diwakili oleh minimal 3 wakil di DPR, maksimal 10 wakil. Konsekuensinya, dalam setiap dapil akan berkompetisi dan memunculkan beberapa wakil yang akan mendapat kursi di DPR atau DPRD.

Kerumitan penghitungan di tingkat TPS ditambah lagi dengan sistem daftar terbuka seperti pemilu di tahun 2009. Setiap partai menempatkan begitu banyak kandidat di setiap dapil. Sehingga dalam penghitungan suara menyulitkan petugas KPPS dan hingga penyelenggara pemilu  level ke atasnya.


Saya berharap, kiranya Pansus DPR memperhitungkan hal-hal seperti ini. Sehingga pemilu tidak membebani masyarakat dan petugas penyelenggara pemilu, serta memungkinkan terjadinya jual beli suara.